Advertisement
pojokseni.com - Dalam menulis naskah drama, menurut Lajos Egri, seringkali penulis abai pada detail-detail kecil yang justru menjadikan cerita yang dibuatnya menjadi terkesan klise. Semuanya bermula dari konsepsi, dalam hal ini Lajos Egri membandingkan seorang penulis dengan pembuat meja kayu.
Seringkali kita mendengarkan penulis-penulis populer memberikan motivasi semacam ini untuk penulis pemula;
"Menulis saja dulu, nanti ikuti saja alurnya dan cerita Anda akan jadi sendiri."
Atau, kutipan seorang penulis yang cukup populer:
"Ketika menulis cerita (misteri) saya juga tidak tahu siapa pelakunya dan bagaimana cara dia membunuh, jadinya saya terus menulis bersama tokoh untuk mencari siapa pelaku sebenarnya."
Sayangnya, menurut Lajos Egri, hal tersebut sangat konyol. Bagaimana bisa seorang penulis tidak mengetahui cerita yang akan ditulisnya? Kemudian, karena itulah seorang penulis akan abai pada satu hal yang menjadikan karyanya menjadi klise.
Lajos Egri menyebutkan bahwa seorang pembuat meja kayu akan mampu mempresentasikan apa yang akan dia buat. Berapa meter panjangnya, juga lebarnya, serta tingginya. Karena itu, dia bisa memperkirakan berapa jumlah kayu yang dibutuhkan, serta berapa jumlah paku, alat apa saja yang diperlukan, dan pada akhirnya bisa menaksir berapa modal yang akan dikeluarkan.
Akan sangat konyol dan justru akan merugi, apabila pembuat meja kayu tersebut tidak menyiapkan konsep awal, rancangan, dan rencana pembuatan. Bisa jadi, ia akan kekurangan bahan, kekurangan modal, atau yang lebih parahnya justru hasil yang akan ia buat nantinya bukan sebuah meja.
Egri menyebutkan bahwa banyak penulis pemula sialnya melakukan kesalahan tersebut. Mereka menulis, tanpa merancang dengan baik apa yang akan ditulisnya, bagaimana setiap watak dan karakternya, juga setiap sebab dari kejadian yang terjadi. Hasilnya, sebuah tulisan yang klise, terkesan dipaksakan, atau justru tulisan itu tidak kunjung selesai.
Detail yang Sering Terlewatkan oleh Penulis Pemula
Detail Pertama: Tiga dimensi manusia
Barang atau materi, memiliki tiga dimensi yakni panjang x lebar x tinggi. Sebenarnya, manusia juga memiliki tiga dimensi yang sama. Namun untuk sosok manusia di dalam sebuah cerita, tiga dimensi yang dimaksud Lajos Egri adalah fisiologis, psikologis, dan sosiologis.
Ketiga hal ini yang akan membuat dua orang anak kembar identik sekalipun akan memiliki perbedaan tertentu. Fisiologis tentunya akan berkaitan dengan fisik serta apa yang tampak, terdengar, tercium, terasa, tervisualisasikan, dan apapun yang ditangkap oleh panca indra manusia dari seseorang.
Tentunya, hal yang disebut sebagai dimensi fisiologis manusia mulai dari rambut, wajah, bentuk tubuh, tinggi badan, suaranya, cara berjalan, kebiasaan kecil yang sering terulang, dan sebagainya. Setiap detail manusia akan memberikan dampak tertentu. Seperti, misalnya Anda memberikan detail "mata panda" di karakter yang Anda buat, maka si tokoh akan tergambar sebagai sosok yang sering begadang dan kurang tidur. Hal itu juga akan mengarahkan pada jalannya cerita yang lebih banyak berlatar di malam hari.
Dimensi psikologis, alias kejiwaan tentunya akan berkait dengan karakter, kejiwaan, sikap, sifat, dan sebagainya. Tapi, setiap dimensi psikologis yang Anda terapkan pada karakter yang Anda buat mesti punya alasan yang jelas dan tegas. Pernah ada satu cerita (teenlit) yang membuat seorang tokoh introvert, tertutup, serta selalu diam. Namun, tokoh tersebut diceritakan memiliki ayah dan ibu yang sangat penyayang, ramah dan baik pada orang lain. Sedangkan teman-temannya juga ramah dan baik pada si karakter tersebut. Maka karakternya yang introvert menjadi pertanyaan bagi pembaca, bukan?
Terakhir dimensi sosiologis, alias pengaruh dari lingkungan sekitar yang berdampak pada karakter seseorang. Di mana ia sekolah, bekerja di mana, lingkungan seperti apa tempat ia tinggal, berapa penghasilan keluarganya, dan sebagainya. Semuanya yang dibuat akan berpengaruh pada sifat dan karakter dari tokoh yang dibuat.
Bayangkan saja, seorang gadis yang terlahir di tengah hutan rimba dengan seorang gadis yang terlahir di tengah perumahan padat penduduk. Apakah mereka berbeda? Jelas sangat berbeda. Nah, sekarang coba lihat bagaimana film yang mengangkat cerita rakyat daerah seperti "Timun Emas" misalnya, ketika ada seorang gadis yang terlahir dan dibesarkan di tengah hutan rimba belantara, penuh hewan buas, dan harus kuat dan siap bertarung untuk bertahan hidup. Kenapa bisa si "timun emas" itu lemah gemulai, lembut, dan tangannya halus? Di mana ia tinggal? Itu salah satu contoh kesalahan "membangun karakter berdasar given circumstance (suasana terberi)", sedikit mengutip terminologi Stanislavsky.
Seorang siswa yang sekolah di "sekolah mahal" akan memiliki karakter yang berbeda dengan seorang siswa yang sekolah di sekolah biasa, meskipun penghasilan keluarga mereka sama. Begitu juga seorang anak yang hidup dari keluarga dengan rata-rata penghasilan Rp10 juta per bulan, dengan anak yang hidup dari keluarga dengan rata-rata penghasilan Rp3 juta per bulan. Semua hal tersebut akan membangun wataknya, sehingga setiap manusia akan memiliki keunikan sendiri-sendiri.
Detail Kedua: Perubahan watak
Manusia, baik pemikirannya maupun kejiwaannya akan senantiasa dinamis. Bila ada seseorang yang mencintaimu hari ini, bisa jadi ia akan membencimu esok hari. Perubahan-perubahan tentunya dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
Selain itu, ada satu hal yang bisa kita percayai. Bahwa manusia itu tidak selamanya baik, juga tidak selamanya buruk. Tidak ada manusia yang baik 100 persen, juga tidak ada manusia yang buruk 100 persen. Misalnya, kita lihat bagaimana di dalam film Parasite yang meraih Oscar tahun 2019 silam. Apakah Anda bisa memberikan keterangan siapa tokoh antagonis di dalam film tersebut?
Kenyataannya adalah, dunia memang seperti itu. Seseorang wanita yang terkenal begitu penakut, tidak pernah berani bersuara, namun ketika anaknya akan diculik atau dilukai, maka ia akan berubah menjadi singa petarung yang galak. Bahkan kejadian seperti itu bisa membuat perubahan watak terjadi secara tiba-tiba. Kemudian, apakah Anda sering mendengar seseorang yang tidak pernah membunuh seumur hidupnya, tiba-tiba membunuh? Yah, mungkin karena banyak faktor, bisa jadi dendam, ekonomi, asmara, politik, dan sebagainya. Itu menjadi contoh yang "radikal" untuk perubahan signifikan dalam waktu singkat dikarenakan faktor tertentu.
Apakah ada manusia yang tidak berubah? Ketika ia masih SD, ia adalah seorang yang cengeng. Maka sampai tua nanti, ia akan tetap cengeng? Atau ada seorang manusia yang begitu pemberani, maka sampai mati ia akan tetap berani dengan segala hal? Seorang yang penakut akan tetap penakut meski apapun yang terjadi di hidupnya? Pertanyaan terakhir, bisakah Anda memberikan contoh manusia yang bisa Anda riset secara langsung, dan buktikan bahwa ia benar-benar 100 persen baik, atau manusia yang 100 persen buruk?
Tidak ada manusia seperti itu. Manusia yang seumur hidupnya berisi kebencian, tentunya ia juga mencintai sesuatu. Entah itu anaknya, kucing peliharaannya, tanamannya, atau setidaknya dirinya sendiri. Manusia yang selalu menyendiri, setidaknya pernah mencintai seseorang. Dan sebagainya, intinya bahwa manusia itu dinamis dan terus berubah, seiring perubahan zaman. Apakah Anda terpikir saat ini melihat seorang anak bayi berumur 2 tahun sedang asyik bermain gadget? Apakah pernah terpikir oleh orang tua di tahun 1980-an, misalnya?
Detail Ketiga: Sebab dan akibat
Ada sebuah pembunuhan, semuanya diceritakan detail baik; siapa pelakunya, bagaimana cara ia membunuh, apa alat yang digunakan, apa motif pembunuhannya, dan sebagainya.
Tapi sialnya, ia menggambarkan pelaku sebagai seorang yang "aneh", punya kepribadian ganda, bisa santai saja ketika satu persatu bukti ditemukan polisi, yah itu hanya menunjukkan satu hal bahwa pelaku tersebut sudah membunuh berkali-kali dan psikopat. Apakah semua pembunuh seperti itu?
Di dunia nyata, seseorang bisa membunuh karena beberapa hal. Misalnya karena dendam, atau bisa juga karena ingin menyelamatkan diri, atau bisa juga karena "khilaf" dan sebagainya. Bisa jadi mereka bukanlah pembunuh, namun memilih membunuh daripada ia yang terbunuh.
Kemudian, ketika polisi mulai menyelidiki kasus dan satu persatu barang bukti ditemukan, kenapa manusia yang "khilaf" ini bisa sedemikian santainya?
Atau, misalnya seorang yang jatuh cinta. Entah kenapa, cinta selalu hadir dalam satu momentum tertentu, dan tiba-tiba. Di awalnya mungkin saling ejek, atau membenci, lalu tiba-tiba cinta. Itu terlalu klise.
Kita anggap saja cinta itu seperti benih tanaman, yang ketika muncul pertama ia sangat kecil. Maka harus ada proses "penyiraman", "pemupukan", "perawatan", "penyiangan", dan sebagainya sampai tumbuh menjadi "pohon yang besar". Ketika sudah menjadi pohon yang besar, wajar saja kalau angin besar pun tak mudah untuk merobohkannya, bukan? Tapi, bukan berarti pohon tersebut tidak bisa roboh bukan? Apalagi kalau datang "orang ketiga" yang kemudian menebang batang tersebut dengan gergaji.
Namun pemaparan di atas hanya sebagian kecil dari apa yang dipaparkan Lajos Egri dalam buku Art of Dramatic Reading. Akan sangat baik bila Anda membaca lagi apa saja tuntunan menulis naskah drama yang indah (bisa juga digunakan untuk membuat novel atau cerpen) dan tidak klise.
(Buku Lajos Egri berjudul Art of Dramatic Reading ini bisa Anda beli di berbagai toko online terpercaya seharga Rp95.000, untuk pembelian di Bukalapak, Anda membeli lewat pranala ini >> Buku Art of Dramatic Reading di Bukalapak)