Daya Metafisis Alam: Dimensi Mimetik Estetika Tiongkok -->
close
Pojok Seni
26 March 2021, 3/26/2021 06:26:00 PM WIB
Terbaru 2021-06-05T06:26:01Z
ArtikelBeritaEstetika

Daya Metafisis Alam: Dimensi Mimetik Estetika Tiongkok

Advertisement

pojokseni.com - Banyak yang mengatakan bahwa seni di Tiongkok adalah ekspresi batin dari para senimannya. Namun, seperti dituliskan Martin Suryajaya dalam bukunya Sejarah Estetika, nyatanya seni di Tiongkok masih memberikan ruang bagi dimensi mimetik seni. 


Perbedaannya adalah, dalam dimensi mimetik di seni Tiongkok bukanlah "meniru" bentuk empiris dari objek-objek yang bisa kita lihat atau sentuh secara empiris. Objek yang ditiru adalah hal-hal lain yang justru lebih abstrak dan elusif. Contoh yang paling sering ditemukan adalah daya metafisis alam, hingga penggambaran watak dari manusia.


Hal itu disebabkan akar seni dari budaya Tiongkok kuno adalah praktik spritual. Biasanya, tujuan dari praktik "dukun" tersebut adalah mengusir roh jahat atau hal lain yang bisa menyebabkan kesialan, hingga nasib buruk.


Salah satu peninggalannya adalah kata "Wu" yang saat ini berarti tarian. Dulunya, kata "wu" ini berarti "dukun". Hal itu tampak pula dari kebanyakan tari dalam budaya Tiongkok kuno memang ditujukan sebagai praktik pengusiran roh jahat.


Karena itu, muncul hipothesis bahwa budaya Tiongkok kuno berawal dari ritual agama kuno mereka. Namun, kembali lagi ke proses mimetik seni yang berkaitan dengan perkembangan seni tersebut, sangat erat dengan alam. Mulai dari hukum alam, sampai akhirnya daya metafisis alam yang ditirukan dalam karya seni.


Bahkan huruf, kata, dan bahasa juga merupakan tiruan alam sebagaimana dinyatakan oleh Xu Shen, seorang pemikir Tiongkok yang hidup di sekitar tahun 58 SM. Kitab Yijing, salah satu kitab kuno di Tiongkok juga sempat membahas bahwa perkakas, baik untuk pertanian, perkebunan, hingga perburuan, dibuat dengan meniru alam. Vitruvius menyebutkan bahwa manusia-manusia di era terdahulu bahkan membuat rumah dengan meniru cara hewan membuat sangkar.


Sedangkan dalam lukisan khas Tiongkok kuno, wajah yang ditampilkan ternyta bukanlah representasi aktual dari fisik sosok yang digambarkan. Justru yang lebih tampak adalah wataknya (secara alegoris). Persona menjadi jauh lebih penting ketimbang gambaran fisik seseorang.


Karena kesenian ditujukan untuk menggambar watak, maka kesenian di Tiongkok kuno memiliki fungsi lain (tambahan). Fungsi seni yang dimaksud adalah mengubah watak menjadi lebih baik. Inilah yang kemudian disebut sebagai fungsi sosial seni berdasarkan estetika Tiongkok kuno, hingga hari ini. 


Pendapat Wang Ch'ung misalnya, mengatakan bahwa seni klasik Tiongkok diciptakan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial yang dimaksud adalah untuk menyelaraskan perasaan manusia dengan kodratnya.


Namun, pemikir Tiongkok kuno yang terkenal lainnya, Mo Tzu memiliki pandangan lain terhadap seni. Baginya, seni di Tiongkok, seperti musik, tarian, upacara, dan sebagainya, adalah hal yang tidak perlu dipelajari oleh siapapun. Karena manusia harus bekerja sebagaimana kodratnya. 


Pegawai negeri harus mengabdi pada negara dan melayani rakyat. Petani harus ke sawah dan memenuhi kebutuhan pangan negara. Pedagang harus memastikan rakyat bisa mendapatkan barang yang mereka inginkan kapanpun juga. Dokter juga harus memastikan kesehatan masyarakat terjaga.


Sedangkan seni justru membuat rakyat akan kehabisan tenaga untuk bekerja dan  mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya. Lalu, negara akan mengeluarkan biaya besar untuk membiayai seni, sedangkan sumbernya berasal dari pajak masyarakat yang sudah terlalu lelah untuk bekerja. Karena itulah, mungkin Mo Tzu ingin mengatakan bahwa kesenian biarkan menjadi ranahnya para pekerja seni. Kesenian menjadi pekerjaan para seniman, dan tidak perlu semua orang dipaksa untuk belajar seni.

Ads