Advertisement
Sebuah lukisan indah karya pelukis baru yang namanya sedang naik daun, terpampang indah di sebuah gedung perusahaan besar. Lukisan berukuran 2x2 meter dengan gambar beberapa orang yang sedang bercengkerama sekaligus berbelanja di pasar subuh. Perusahaan besar itu memajang lukisan tersebut dengan bangga, sebagai harga diri dari perusahaan tersebut. Hal itu wajar saja, karena ternyata harga lukisan yang sedang tergantung itu cukup membuat kening berkerut, Rp450 juta.
Karya maestro lukis memang mahal, karena ide dan perasaan estetis ketika melihat karya itu. Kualitas karya bisa dikatakan sangat tinggi, kata para kritikus. Jadi, harga segitu justru masuk kategori "murah" untuk mahakarya seorang pelukis ternama.
Namun di bagian lain, tapi masih di negeri yang sama, sebuah lukisan yang tak kalah indah dihargai Rp200 juta. Teknik yang digunakan mungkin hampir sama, idenya juga tentang pasar subuh, namun pelukisnya belum punya nama. Tidak banyak yang kenal dengan nama pelukis itu.
Usut punya usut, semua kisah ini bermula tak seindah yang dibayangkan. Ternyata pelukis tersebut merasa sangat bahagia karena lukisannya dibeli oleh seseorang dengan harga Rp6 juta. Pembeli itu meminta kuitansi pembayaran dan meminta pelukis menulis angka Rp25 juta sebagai harga lukisannya.
Anggap saja pelukis itu bernama Fulan dan pembeli itu bernama Culas. Si Culas menyebutkan bahwa dengan menulis angka Rp25 juta, maka si Fulan akan mendapatkan pencitraan bahwa ia adalah pelukis ternama. Harga lukisan seorang pelukis baru bisa dibeli seharga Rp25 juta tentunya bukan karya sembarangan. Si Fulan sepakat dan akhirnya ia membiarkan saja si Culas membeli karyanya tersebut. Si Culas melihat-lihat lagi lukisan Fulan yang lain dan akhirnya jatuh cinta pada lukisan yang baru dua hari kemarin diselesaikan.
Maka lukisan yang baru itu juga dibeli. Fulan menawarkan angka Rp10 juta untuk lukisan berukuran 2x2,5 meter tersebut. Culas menawarnya menjadi Rp7,5 juta. Hasil tawar menawar bertemu di angka Rp8 juta. Lukisan itu lepas, dan lagi-lagi Fulan diminta membuat kuitansi seharga berbeda, yakni Rp35 juta.
Sekarang, Fulan sedang bahagia. Di tangannya ada uang sebesar Rp14 juta yang bisa membuatnya cukup berfoya-foya dalam beberapa waktu ke depan. Sedangkan Culas yang membawa karyanya sedang tersenyum "culas".
Pencucian Uang dengan Modus Membeli Lukisan
Culas adalah seorang kolektor lukisan, dan ia memanggil seorang rekannya. Rekannya kebetulan seorang pemilik perusahaan suplier barang impor bernama perusahaan Y yang saingan dengan perusahaan X. Perusahaan X ini adalah perusahaan yang disebut paling awal, di mana di ruang lobinya ada sebuah lukisan indah seharga Rp450 juta.
Rekannya datang menemui Culas. Direktur perusahaan Y ini ternyata tertarik dengan lukisan berukuran 2x2,5 m yang dibawa Culas. "Ini pasti pas ada di ruang lobi perusahaanmu, gimana?"
"Karya siapa ini? Apakah berkualitas bagus, sama atau lebih baik dari lukisan di ruang lobi perusahaan X itu? Dan, berapa kau jual lukisan ini?"
Culas dengan keren menjelaskan filosofi, teknik dan profil pelukis yang membuat lukisan tersebut. Direktur tertarik dan akhirnya tawar menawar angka berakhir di angka Rp200 juta.
"Yang jelas, secara kualitas lukisan ini malah di atas lukisan yang ada ruang lobi perusahaan X," kata Culas.
Namun, direktur tak datang membawa uang hari itu. Esok harinya, ia mengirimkan asistennya bernama Ngikut untuk melakukan pembayaran. Ngikut dipilih karena ia juga seseorang yang mencintai lukisan dan pernah belajar atau mendalami melukis di masa mudanya. Ngikut malah diminta khusus oleh direktur untuk menaksir harga tersebut, apakah memang layak dibeli seharga Rp200 juta.
Sampai di kediaman Culas, Ngikut akhirnya mengenali lukisan tersebut. Itu adalah lukisan Fulan, temannya ketika sama-sama belajar melukis dulu. Dia akhirnya menekan Culas dengan tudingan penipuan.
"Aku tahu dengan pasti siapa Fulan. Dengan siapa ia belajar, kadar keilmuan dan kualitas karyanya. Kau menipu kami!"
Culas sempat panik, namun akhirnya bisa menguasai dirinya. Ia berkongsi dan mencapai kesepakatan jahat dengan Ngikut. Lukisan itu akhirnya dijual dengan harga Rp125 juta, namun di kuitansi harganya tetap Rp200 juta.
Maka Culas dan Ngikut sama-sama mendapat keuntungan berkali-kali lipat daripada pelukisnya, Fulan. Namun, Fulan dengan senang hati menerima itu semua. Karena, lain waktu Culas menelepon lagi, kali ini ia siap membeli lukisannya seharga Rp20 jutaan.
Berkelang 10 Tahun Setelah Pencucian Uang Bermodus Jual Beli Lukisan
Lepas 10 tahun, Fulan sudah menjadi seorang pelukis kenamaan dan juga sukses secara material. Harga lukisannya rata-rata sampai ratusan juta dan Culas adalah satu-satunya jalur pembelian.
Namun, muncul banyak pelukis baru dengan aliran baru yang lebih menarik. Maka perusahaan-perusahaan tersebut mulai mengganti lukisan mereka dan menjual lukisan yang sudah lama tergantung di ruang lobi.
Lagi-lagi, Culas adalah penyambungnya. Ia membeli semua lukisan itu dengan harga, yah rata-rata Rp5-7 juta. Kata dia, lukisan ini sudah ketinggalan zaman. Di era kebaruan, capaian artistik juga semakin tinggi. Lukisan semacam itu akan sulit menjualnya.
Para direktur mengira waktu sudah berlalu cepat, dan mungkin memang harga lukisan itu sudah terus turun dimakan waktu. Maka lukisan karya Fulan mulai bertebaran di mana-mana, dijual dengan harga Rp5 juta. Lalu, lukisan Fulan terbaru, padahal sudah punya nama dan teknik yang lebih baik, terpaksa juga ikut turun.
Sedangkan Culas, yah, ia tetap tidak dirugikan. Begitupula seseorang yang ikut mencuci uang perusahaan dengan pembelian lukisan. Lukisan yang merupakan capaian artistik dari seorang Fulan, dibuat dengan perenungan yang dalam, menghabiskan bertahun-tahun untuk melatih kemampuan dan kepekaan, jadi alat bagi orang lain untuk mengeruk keuntungan.
Cerita di atas hanya fiksi belaka. Namun, hal yang diceritakan merupakan kejadian yang benar-benar terjadi. Lalu, dari cerita di atas, siapa yang paling dirugikan? Tidak ada yang lain, yah si Fulan. Pelukis malang yang dikeruk habis-habisan.