Dua Macam Eksistensialis: Eksistensialis "Agama" dan "Atheis" -->
close
Adhyra Irianto
18 February 2021, 2/18/2021 03:10:00 AM WIB
Terbaru 2021-02-17T20:14:01Z
BeritaMateri Teater

Dua Macam Eksistensialis: Eksistensialis "Agama" dan "Atheis"

Advertisement

Sartre: Pemikir Eksistensialis "Atheis"
 

pojokseni.com - Bicara tentang filsafat memang cukup rumit. Bicara tentang eksistensialis, kerumitannya bertambah dengan adanya dua jenis yang (secara kasat mata) tampak saling berbenturan. Jean-paul Sartre menyebutnya sebagai ekstensialis Kristen (di era kekinian kerap pula disebut eksistensialis agama) dan kemudian eksistensialis atheis.


Kita bisa mempertemukan pemikiran Karl Jesper misalnya (Eksistensialis Kristen) yang akan saling berhadap-hadapan dengan pemikiran Heidegger (Eksistensialis atheis). Sekarang kita akan memulai pembahasan ini dengan apa persamaan dari keduanya? Sehingga harus tetap disebut "eksistensialis"?


Keduanya, baik "beragama" maupun tidak, sama-sama meyakini bahwa eksistensi datang mendahului esensi. Pernyataan Sartre yang kemudian oleh pelajar filsafat dianggap sebagai manifesto eksistensialisme. Sekarang, kita mulai dari apa sebenarnya arti dari pernyataan "eksistensi datang mendahului esensi" tersebut?


Manifesto: Eksistensi Datang Mendahului Esensi


Salah satu contoh yang kerap disodorkan adalah "pabrik pisau kertas" atau agar lebih Indonesia, kita ganti dengan "pabrik gunting". Jadi, jauh sebelum gunting itu ada atau selesai diproduksi dan benar-benar sudah berbentuk "gunting", terlebih dulu ada konsepsi tentang gunting itu yang dibuat. Semua ide, formula termasuk bentuk dan warna sudah dipikirkan terlebih dulu, sebelum guntingnya benar-benar dibuat. Tidak ada yang mencoba membuat sebuah benda yang belum terkonsep lebih dulu. Dan itu berarti, konsepsi terhadap suatu benda (esensi) datang mendahului benda itu sendiri (eksistensi).


Inilah yang kemudian menjadi premis dari pemikiran para filsuf sebelumnya, bahwa esensi datang mendahului eksistensi. Konsep dalam dunia ide jauh lebih dulu hadir, baru manusianya "ada" (eksis). Namun, para pemikir eksistensialis menentang hal itu dengan manifesto "Eksistensi datang mendahului esensi".


Maka, timbul pertanyaan, apakah benar penciptaan setiap manusia itu memiliki tujuan yang sama? Apabila dibandingkan dengan "gunting" misalnya, yang seluruh produknya memiliki konsepsi yang universal.  Kemudian, siapakah pemilik konsep "penciptaan manusia" itu?


Untuk pertanyaan pertama, sudah terjawab sepanjang perjalanan waktu.


Jadi, manusia dalam tahap "konsepsi" adalah manusia dengan bentuk, watak dan sebagainya yang berlaku universal. Maka hal itu berarti baik manusia yang terlahir di gua, di hutan, di desa dan kota semuanya memiliki definisi fundamental serta kualitas yang sama. Maka hal itu terbantahkan di suatu hari, karena manusia ternyata memiliki keunikan sendiri-sendiri. Tidak ada "penyamarataan" sebagaimana produk pada umumnya. Karena manusia memiliki watak yang berbeda, sifat, karakteristik sampai tingkat pemikiran yang berbeda. Semuanya sangat dipengaruhi oleh genetika, lingkungan dan pengalaman atau pembelajaran.


Jadi, dua manusia yang kembar identik lalu diletakkan di lingkungan berbeda, diberikan pengalaman dan pembelajaran berbeda, selanjutnya mereka pun akan menjadi dua makhluk berbeda.


Sedangkan untuk pertanyaan kedua, maka jawaban untuk "siapa pemilik konsep" tersebut, adalah Tuhan. Maka pandangan atheisme sejak abad ke-18 yang sudah menolak ide tentang Tuhan akhirnya menolak juga ide tentang konsep milik Tuhan. Hal itu mendasari para penganut atheisme menolak paham "esensi datang mendahului eksistensi" dan pada akhirnya merumuskan bahwa "eksistensi datang mendahului esensi".


Manusia harus "ada" terlebih dulu, baru ia bisa menunjukkan esensinya. Untuk contoh yang paling simpel, bayi misalnya, ia "ada" sebagai seorang bayi, yang jadi pusat perhatian, atau kasih sayang dan dijaga sepenuh hati. Ia harus hadir terlebih dulu sebagai anak kecil untuk bisa menunjukkan esensi yang berbeda dengan "bayi". Ia juga harus hadir terlebih dulu sebagai "remaja" agar ia bisa dibedakan dengan "anak kecil" dan begitu seterusnya. Selanjutnya akan jadi lebih kompleks, karena manusia harus menjadi "sesuatu" untuk menunjukkan esensinya sebagai "manusia".


Namun, sebagaimana judul artikel kali ini, nyatanya bahwa eksistensialis tidak hanya terdiri dari para atheis, tapi juga pemeluk agama. Nah, bagaimana pandangan para "pemeluk agama" terkait eksistensialis?


Eksistensialis Atheis dan Eksistensialis Agama


Untuk penganut eksistensialis atheistik, semacam Jean-paul Sartre misalnya, maka wajar saja kalau mereka berpendapat bahwa eksistensi harus lebih dulu daripada esensi. Penyebabnya jelas, karena tidak ada "kehidupan" sebelum "hidup", tidak ada pemilik konsepsi penciptaan, juga tidak ada "esensi" kalau belum ada "eksistensi".


Manusia pertama kali akan berhadapan dengan dirinya sendiri ketika "turun" ke bumi. Dengan kata lain, seorang manusia baru akan mendefinisikan "esensi" dirinya ketika dia sudah terlebih dulu "ada". 


Jadi, manusia itu bukanlah "apa yang ia inginkan" karena itu masih dalam tahap konsep. Manusia itu adalah "apa yang ia inginkan dan menjadi nyata". Atau, "apapun ia dan ia menerima siapa dirinya", apabila "apa yang inginkan tidak jadi terwujud".


Dalam konsep tersebut, maka manusia memberikan esensi pada dirinya sendiri. Manusia itu bukan apapun, kecuali apa yang ia buat, dan tampak dari dirinya sendiri. Harapan, impian dan cita-cita adalah konsepsi seorang manusia, tapi bukan menunjukkan siapa dirinya.


Seorang yang seumur hidupnya menjadi petani, namun bercita-cita sejak lama ingin jadi pilot, serta seorang yang seumur hidupnya menjadi petani, dan bercita-cita sejak lama ingin jadi petani tidak akan tampak begitu berbeda bagi dunia. Karena "eksistensi" mereka, bukan karena apa yang mereka konsepkan tentang diri mereka sendiri.


Di sini pertemuan dan persamaan antara eksistensialis atheis dengan eksistensialis agama. Yah, manusia adalah apa yang ia buat pada dirinya sendiri, apa yang ia buat sehari-hari dan apa yang telah ia capai dalam hidupnya. Bukan apa yang ia cita-citakan, atau apa yang ia harapkan.


Hanya saja, bila dalam eksistensialis atheis, ide tentang "Tuhan" sebagai pemilik konsepsi tersebut ditolak. Sedangkan dalam eksistensialis agama, penolakannya bukan dalam pengertian figuratif yang berarti "Tuhan itu tidak ada".  Tapi, mereka memang hanya menolak ide "esensi datang lebih dulu dari eksistensi".


Dengan kata lain, para penganut eksistensialis agama menolak bahwa Tuhan telah memiliki konsep terhadap manusia, lalu manusia diciptakan berdasarkan konsep tersebut. Mereka justru berpendapat bahwa Tuhan mengatur "sistem" atau aturan. Kemudian, semuanya akan berjalan dengan sendirinya, dan menentukan arahnya sendiri-sendiri berdasar sistem itu.


Jadi, manusia diciptakan namun diberi "kebebasan" (untuk lebih jelas, baca artikel tentang Kebebasan Adalah Hukuman menurut Sartre) untuk menentukan esensi dirinya. Setiap kebebasan akan berjalan beriringan dengan tanggung jawab. Itu berarti, semakin bebas Anda maka semakin berat tanggung jawab yang Anda pikul atas kebebasan tersebut.

Ads