Advertisement
Pojokseni.com - Denyut teater modern di Indonesia memang baru lahir di abad ke-20. Sebelumnya, sebuah naskah drama yang ditulis pada abad ke-19, nyatanya adalah karya Douwes Dekker yang ditulis pula dalam Bahasa Belanda.
Abad ke-20, ketika teater modern lahir di Indonesia bentuknya masih campur aduk. Ada pertunjukan musiknya, ada penarinya, dan yang paling khas adalah tidak ada naskah. Pertunjukan bersifat spontanitas dan mengandalkan kemampuan improvisasi dari para aktornya. Sebelum pertunjukan, sutradara dan aktor memperbincangkan tentang alur cerita kemudian para aktor yang mengembangkan sendiri cerita tersebut di atas panggung.
Pembaharuan dimulai dari Sumpah Pemuda di bulan Maret tahun 1928. Dimulai dari itu, maka penggunaan Bahasa Indonesia mulai meluas. Dampaknya, muncul nama-nama pengarang yang menulis naskah berbahasa Indonesia semacam Sanoesi Pane, Armijn Pane, Roestam Effendi, M Yamin, sampai ke tahun 1950-an yang memunculkan nama-nama seperti Slamet Mulyana, Aoh Karta Hadimadja, Achdiat KM, Rusandi Kartakusuma, Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang dan sebagainya.
Tahun 1960-an, generasi berikutnya menjadi nama-nama yang memiliki pengaruh ke teater masa depan Indonesia. Sebut saja nama WS Rendra, atau Iwan Simatupang, atau Subagio Sastrowardojo, Motingo Busye dan nama-nama lainnya.
Pembagian Angkatan Teater Modern di Indonesia
Angkatan teater Indonesia dibagi menjadi tiga, yakni angkatan permulaan (dimulai dari tahun 1920-an ke 1940-an), lalu angkatan pertumbuhan (dimulai dari tahun 1940-an sampai 1960-an) dan angkatan penalaran (dari tahun 1960-an ke atas).
Angkatan Permulaan
Angkatan Permulaan teater modern di Indonesia dimulai di tahun 1920-an. Bentuk pertunjukannya bisa dibilang sebuah tontonan yang hanya bersifat hiburan semata. Biasanya bentuk pertunjukannya spektakuler dengan banyak pemain dan kru yang terlibat.
Sejarah mencatat dua kelompok penting di era tersebut antara lain Oreon yang dipimpin oleh TD Tio Jr dan Dardanella yang dipimpin oleh A. Piedro.
Angkatan ini menunjukkan ciri khas sebagaimana teater modern awal di Indonesia. Bentuk pertunjukan yang "gado-gado" serta tanpa ada naskah.
Angkatan Pertumbuhan
Dimilai dari tahun 1940-an, angkatan pertumbuhan teater modern Indonesia. Angkatan ini ditandai dengan penggunaan naskah untuk pertunjukan teater. Mulai dari naskah-naskah biasa dan ringan, sampai mencoba naskah yang serius bahkan tonggak-tonggak teater dunia. Mulai dari naskah Yunani, sampai era Elizabethan, dan mencoba membawa naskah-naskah sendiri berbahasa Indonesia.
Angkatan ini juga ditandai dengan berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang didirikan oleh Usmar Ismail, Sitor Situmorang, Wiratmo Soekito dan Asrul Sani. Di Surabaya, berdiri Bintang Surabaja pimpinan Njo Tjeong Sen, dan ada juga teater Maya yang membawakan karya-karya Usmar Ismail. Nama teater Terang Bulan pimpinan The Teng Tjoen juga hadir dan memberikan warna pada angkatan di dua dasawarsa ini.
Angkatan Penalaran
Angkatan berikutnya dimulai dari tahun 1960-an yang akhirnya dianggap memberikan pengaruh besar pada perkembangan teater modern di Indonesia. Teater di era ini mendudukkan pondasi teater Indonesia, yang merupakan hasil persilangan antara teater tradisional Indonesia dengan teater kontemporer di Barat, khususnya Eropa.
Muncul berbagai bentuk baru, teater eksperimental dan berbagai jenis aliran-aliran teater post realis. Beberapa grup yang harus dicatat pada periode ini adalah Studiklub Teater Bandung yang menghadirkan nama-nama seperti Jim Lim, Suyatna Anirun, Fred Wetik dan Saini KM. Kemudian, di Bogor berdiri Federasi Teater Kota Bogor yang diinisiasi oleh Taufik Ismail.
Teguh Karya (Steve Lim) mendirikan Teater Populer yang kemudian memunculkan nama-nama seperti Slamet Rahardjo, Tuty Indra Malaon dan Nano Riantiarno (yang kemudian mendirikan Teater Koma). WS Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang kemudian memberikan ide "urakan" melawan "kemampanan".
Dari Bengkel Teater Rendra, nama-nama seperti Azwar AN, Putu Wijaya, Arifin C Noer dan sebagainya juga mendirikan teater mereka sendiri. Azwar AN dengan teater Alam, Putu Wijaya dengan Teater Mandiri, dan Arifin C Noer dengan Teater Kecil.
Masih banyak lagi nama teater yang hadir di era penalaran tersebut. Bahkan teater remaja (tingkat SMA) dan teater kampus (tingkat mahasiswa) juga hadir dan ikut mewarnai perkembangan teater modern di Indonesia.