Advertisement
pojokseni.com - Sebuah karya seni yang muncul dan hadir di tengah-tengah masyarakat, nyatanya tidak semuanya adalah "hiburan" semata. Ada bobot dari setiap karya seni yang memengaruhi penilaian estetis.
Bagi banyak orang, seni bernilai subjektif. Hal itu hanya dipengaruhi oleh "rasa" atau "selera". Misalnya seseorang tidak suka lagu dangdut, maka seindah apapun karya lagu dangdut tidak akan pernah indah bagi dia. Namun, dalam persepsi estetis yang digunakan dalam penilaian bobot suatu karya seni, subjektivitas tadi tidak begitu digunakan. (Baca lebih lengkap tentang persepsi estetis)
Japi Tambajong menulis terkait penilaian estetik. Karya seni digolongkan menjadi dua, yakni seni yang muazam (mulia atau terhormat) dan seni yang mubazir. Bagaimana kreteria seni yang muazam dan mubazir tersebut?
Sebelumnya, terkait dengan istilah bobot seni, apakah itu? Seringkali para penulis kritik seni mengungkapkan tentang "bobot" ini. Entah, terkait muatannya, pesannya, capaian artistiknya hingga hal-hal lain terkait karya seni tersebut.
Bobot seni sangat tidak berkaitan dengan "selera". Mahakarya Samuel Beckett misalnya, justru sangat tidak disukai oleh pengamat, kritikus dan akademisi seni di Paris ketika pertama kali dipentaskan. Namun, dunia terhenyak ketika naskah tersebut dipentaskan di salah satu penjara di Amerika dan berhasil membuat ratusan narapidana dan tahanan berkontemplasi.
Maka sudut pandang apa yang digunakan untuk melihat bobot dari karya seni tersebut? Hal yang paling sering kita lihat adalah bobot satu karya seni disandarkan pada keindahan moral, susila, akali dan alamiah karya seni tersebut. Meski tidak benar 100 persen, namun hal-hal tersebut sering menjadi patokan penilaian estetik.
Namun, karya seni dinilai dari intisarinya. Karya seni dilihat dari sebagaimana dan sedalam apa (bahkan setidakmasuk akal apa) seorang seniman merespon realitas yang ada di sekitarnya. Hasil kerja yang tulus dan serius tentunya akan memberikan keindahan moral, susila, akali, alamiah dari karya seni yang diciptakan.
Kembali lagi ke seni yang mulia/terhormat dan seni yang mubazir. Bagaimana suatu karya seni bisa masuk kategori mulia (muazam) atau sia-sia (mubazir). Istilah lain yang sering kita dengar adalah karya seni bernilai tinggi dan karya seni rendahan.
Seni Muazam (Seni yang Mulia/Terhormat)
Secara umum, kita bisa menyebut karya seni menjadi sebuah karya seni yang mulia dikarenakan ada tanggung jawab etik dan estetik yang dipenuhi oleh seniman dalam proses kekaryaannya.
Tanggung jawab etik berkaitan dengan sikap nasionalisme, kecintaan pada sesama manusia, hubungan sosial dan keinginan berkarya untuk bangsanya. Seni memang bebas, namun ternyata masih memiliki tanggung jawab etis yang akan menjadikan seorang seniman secara sukarela menjadikan dirinya (lewat seni) berbakti untuk Tuhan, negeri dan masyarakat. Sedangkan bagi yang atheis, pertanggung jawaban seni tadi ialah secara teoritis sesuai dengan rumusan logika yang dipegangnya sendiri.
Sedangkan tanggung jawab estetis, terkait dengan keindahan, kepatuhan, dan kesempurnaan artistik. Karya yang dibuatnya merupakan hasil perenungan yang dalam, pembelajaran yang tidak sebentar, serta pembacaan yang teliti. Tanggung jawab estetis juga terkait dengan penguasaan teknik, skill dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang seniman.
Seni harus merdeka, itu awalnya atau pondasinya. Karena seni adalah "ranah universal" jadi tidak bisa atau tidak boleh dikerjakan dalam tekanan sesuatu, misalkan politik dan sebagainya.
Tanggung jawab estetis juga terkait dengan muatan atau bobot seni yang dibahas di atas. Sejauh mana penggalian terhadap suatu tema, yang merupakan respon dari realitas sekitar seniman, baik lingkungan, sosial dan realistas kosmik.
Seni yang Mubazir
Japi Tambajong menyebut bahwa dari semua karya seni, seni musik adalah salah satu yang paling sulit menghindari "seni yang mubazir" ini. Di industri musik, musik pop Indonesia banyak menelurkan karya seni yang mubazir.
Alasannya, mulai dari bangunan artistik karya tersebut yang sepertinya memang tidak memerlukan perenungan lebih, penyelaman dan sebagainya. Kedua, penguasaan teknik yang juga lemah termasuk untuk segi elementer (semacam nada, irama dan harmoni). Dan ketiga, unsur pendukung juga tidak diperhatikan, semacam lirik dan sebagainya.
Seni pop ini merupakan "hasil karya kapitalisme" yang dimanfaatkan awalnya oleh Amerika Serikat untuk menghasilkan banyak keuntungan dari karya seni. Karena pemusik dari akademik tidak bisa menghasilkan keuntungan bagi negara, maka dihadirkanlah seni pop ini agar bisa laku karena lebih banyak orang yang menyukainya.
Mirisnya, ketika Amerika sudah mulai serius menggarap musik pop, kita sebut saja Queen dengan musik pop yang "serius", atau Rick Wakeman atau deretan musisi aneka genre memulai dengan musik pop yang "serius", justru di Indonesia kebalikannya. Industri musik (seni pop) di Indonesia justru hadir sebagaimana gejala musik pop hadir di Amerika awal abad ke-20.
Jadi bisa dirumuskan semacam ini, seni yang mubazir itu adalah seni yang landasan estetiknya tidak kuat, secara fisik terlihat sebagai seni tapi di dalamnya kosong melompong. Bangunan artistiknya tidak dimulai dari sebuah perenungan yang dalam, pembacaan yang teliti dan pembelajaran yang serius. Hasilnya, juga tidak diperlukan perenungan yang dalam untuk "menikmati" karya seni ini.
Karya seni yang mubazir ini tidak akan tahan dengan kritik. Akan jauh terlihat menjadi sia-sia, ketika seorang pengamat mencoba menelisiknya.