Advertisement
Pojokseni.com - Selama pandemi, terhitung sejak bulan Februari 2020 hingga saat ini menjelang akhir Januari 2021, berarti sudah nyaris satu tahun saja kita terkurung pandemi. Dan itu berarti, nyaris semua lini menjadi lumpuh.
Apa solusi yang ditawarkan? Khusus untuk seniman pertunjukan, ada satu kata yang "dianggap" sebagai jawaban dari segala permasalahan. Virtual! Yah, pertunjukan langsung (live performance) akhirnya beralih ke virtual.
Apakah pertunjukan virtual itu telah menjadi live performance? Apakah penonton dan seniman sudah puas-puas saja dengan ketiadaan interaksi langsung baik mata maupun tubuh, baik audio maupun visual seperti yang selama ini sering terjadi?
Akhirnya, para seniman yang begitu merindukan panggung memilih berkontemplasi. Sebagian memilih tetap berlatih meningkatkan kemampuan diri. Meski tak tahu kapan akan kembali lagi dibuka layar yang menyelubungi panggung selama ini.
Sedangkan seniman lain, malah meningkatkan kuantitas produksi yang "cepat dan instan". Tidak begitu butuh lama latihan dan bisa diunggah lebih dari satu video per hari. Maka saban hari di media sosial berisi video baca puisi, atau main musik lagu pop, atau bernyanyi "cover".
Ada juga beberapa seniman lainnya yang mencoba berimprovisasi. Menampilkan sesuatu yang sebelumnya tak pernah atau tak sempat mereka ciptakan. Tapi lagi-lagi, menontonnya secara virtual membuat pertunjukan itu sulit untuk bisa disaksikan secara sempurna.
Mungkin saja pertunjukan teater menjadi tumbuh subur, hanya saja menontonnya seperti menonton televisi. Tak ada bedanya nonton teater (live virtual) dengan nonton televisi. Akhirnya, bila pandemi tak juga berakhir, panggung kan punah dan beralih sepenuhnya ke layar kaca.
Musisi yang Jualan Kaset Pun Rindu Panggung
Bagi seorang musisi misalnya, berada di atas panggung konser adalah sebuah kehidupan. Pandemi membuat mereka kehilangan itu. Kehilangan sorak sorai penonton yang menyanyikan lagu-lagunya. Kehilangan energi dari lompatan para penonton ketika lagu up-beat diperdengarkan.
Padahal, musisi menjual lagunya yang sudah direkam. Namun, nyawa sebuah lagu justru baru terlihat kentara ketika dinyanyikan secara langsung.
Musisi kehilangan panggung itu, selama pandemi. Justru di YouTube, para penyanyi "cover" yang tumbuh subur. Padahal, musisi masih lebih diuntungkan ketimbang seniman teater atau tari misalnya. Mereka masih bisa tampil di layar kaca dengan sejumlah protokol kesehatan yang ketat. Bukankah setidaknya, dengan didukung oleh sound system yang canggih, masih ada interaksi "audio".
Bagaimana dengan Pemerintah?
Ini bagian terlucu. Pemerintah akan terus berteriak, "tetaplah produktif meski di tengah pandemi!" Yah, para seniman diminta untuk tetap produksi sendiri. Namun sialnya, nanti kesulitan sendiri untuk menjual tiketnya.
"Alihkan pertunjukan langsung ke pertunjukan virtual!"
Itu teriakan mereka. Maka seniman mencoba produktif. Tapi setelah dilihat-lihat, hanya ada satu pihak yang paling diuntungkan dengan meningkatnya produktivitas seniman di era pandemi.
Tidak lain, mereka adalah provider. Penyedia internet! Penayang butuh internet, dan penonton juga butuh internet.
Bila sebelumnya, pentas teater membutuhkan dana produksi yang cukup besar untuk artistik, mulai dari dekorasi panggung, tata cahaya, kostum, make up dan sebagainya. Ditambah, bayaran untuk aktor, kru dan sebagainya.
Maka di era pandemi ini, semuanya meningkat dan membengkak dengan tambahan membeli kamera berkualitas tinggi, mikrophone yang bisa merekam suara dengan jernih, laptop yang bukan laptop "kentang" alias punya spesifikasi tinggi, serta aliran internet yang sekencang topan.
Sialnya lagi, tak seluruh bagian di Indonesia punya sinyal internet yang kencang. Beberapa daerah di Indonesia, justru "sepoi-sepoi".
Satu produksi grup teater yang tertatih-tatih itu belum tentu akan menguntungkan bagian produksi. Tapi provider sudah pasti dapat untung! Tuh, seniman telah berjasa memperkaya provider di setiap produksi terbaru mereka. Asyik kan?
"Berjuanglah, terserah kalian beruntung atau tidak, terpenting provider kita tetap untung."
Ajaib kan?
Yah, ketika kondisi seperti ini, memang sabar adalah pilihan yang terbaik. Tuhan menegur negeri ini dengan bertubi-tubi. Bukan hanya pandemi, tapi pesawat terjatuh, Kalimantan diguncang gempa dan Sulawesi dilanda banjir.
Memang betul, seakan tak habis-habis malapetaka yang menimpa negeri ini. Tapi, bila mengingat tak sampai beberapa bulan lalu, kita harus mengumpat keputusan pemerintah untuk tetap menggelar pemilihan umum kepala daerah. Keputusan yang menyakitkan hati, mengingat masalah di negeri ini sudah semakin kusut dihantam pandemi.
Bagaimana perhatian pemerintah pada seniman kita? Tak perlulah diharapkan. Seniman kita yang mendapatkan penghargaan atas karyanya akan diapresiasi oleh pemerintah. Tapi sayangnya, selalu terlebih dulu diapresiasi oleh "pemerintah negara lain".
Jadi, mau mengharapkan apa? Yah sudah, berkarya sajalah. Untungkan saja provider, meski grupmu buntung. Tak perlulah pedulikan pendapat negara terhadap karya-karya dan jerih payahmu. Latihan aja dulu.