Advertisement
Ilustrasi Dunning-Kruger Effect (sumber: safalniveshak.com) |
pojokseni.com - Bayangkan ketika ada ujian dan dosen kalian mengadakan ujian lisan untuk mengukur sebatas mana pemahaman Anda. Lalu, tiba-tiba ia bertanya, berapa Anda mau nilai? Dosen Anda memberikan pilihan antara A, B dan C, sebelum memberikan pertanyaan untuk tes kemampuan dan pemahaman Anda.
Kemudian, di dalam hati Anda, Anda mulai mempertimbangkan di antara tiga nilai tersebut. Sedangkan mata kuliah yang diambil adalah bukan salah satu dari kemampuan kalian. Bahkan bisa dikatakan, Anda justru kurang memahami mata kuliah tersebut, karena mata kuliah itu sangat jauh dari minat atau passion Anda. Anggap saja, ketika mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia bertemu dengan mata kuliah Statistik atau Kalkulus. Atau, mahasiswa jurusan Matematika bertemu dengan mata kuliah Filsafat.
Maka, apa pilihan nilai yang Anda akan ambil sebelum ujian dimulai? Kalau Anda mengambil C, maka Anda tipe orang yang tidak mau mengambil risiko. Kalau Anda mengambil B, maka Anda termasuk tipe yang malam tadi mencoba belajar keras semampunya dan tahu batas kemampuan diri. Tapi, ada banyak yang percaya diri mengambil nilai A.
Lalu ketika memaparkan pemahamannya, maka si dosen berkata, "Hanya dengan kemampuan segini, Anda mau nilai A?"
Ketika seseorang tadi mengambil nilai A, maka hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia terlalu percaya diri alias overconfidence. Tentunya, kalimat dosen tadi bisa meruntuhkan kepercayaan dirinya.
Kemungkinan kedua, ini yang berbahaya, disebut Dunning-Kruger Effect.
Tentang Over Confidence dan Dunning-Kruger Effect
Kasus di atas hanya sebagian kecil dari masalah psikologis yang kemudian disebut Dunning-Kruger Effect. Dunning-Kruger Effect adalah masalah serius dan jauh lebih parah dari "overconvidence".
Anda pernah melihat semacam reality show di televisi yang berisi tantangan-tantangan tertentu sampai akhirnya memanjat tali ke atas gunung. Acara berlabel "Ninja" tersebut selalu memulai wawancara singkat dengan peserta yang akan menghadapi tantangan-tantangan yang ada di hadapannya.
Yah, nyaris 100 persen peserta berkata, "saya akan melewati tantangan ini," atau "saya pasti bisa." Jawaban tersebut bisa saja menunjukkan bahwa peserta itu overconfidence atau peserta itu memang ingin menyemangati diri sendiri.
Tapi, tetap ada kemungkinan ketiga, yakni Dunning-Kruger Effect yang berarti mereka tak sadar kelemahan diri, kekurangan diri dan mengira dirinya sama baiknya dengan para ahli.
Dunning-Kruger Effect sangat berbahaya, jauh lebih berbahaya ketimbang "hanya" overconfidence. Karena Dunning-Kruger Effect adalah bias kognitif ketika seseorang yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan alias tidak kompeten tapi ia mengalami superioritas ilusif. Akibatnya, ia bahkan merasa dirinya jauh lebih hebat dari orang lain yang justru ahli di bidangnya.
Seperti ini misalnya, salah satu survey di Amerika menyebutkan bahwa 97% dari peserta survey sangat yakin bahwa mereka mampu mengendarai kendaraan (anggap saja motor atau mobil) sama kompetennya dengan seorang pengemudi yang ahli. Tentunya, hasil survey tersebut sangat berbanding terbalik dengan angka 60% dari seluruh pengendara di Amerika pernah mengalami kecelakaan lalu lintas lebih dari satu kali.
Dunning-Kruger Effect yang Kerap Menimpa Seniman
Entah kenapa Dunning-Kruger Effect memang kerap ditemukan di negeri kita tercinta. Para netizen misalnya, akan berpendapat melebihi para ahli. Mereka berpendapat tentang ekonomi, membantah pendapat seorang ahli ekonomi. Begitu juga berceloteh tentang politik, mereka bahkan tak segan membantah pendapat ahli politik.
Seni menjadi salah satu bidang yang kerap dihiasi oleh orang-orang yang mengidap Dunning-Kruger Effect. Ketika seniman mengira dirinya masuk dalam kategori ahli padahal ia bahkan tidak berkompeten, maka seniman tersebut akan tuli terhadap kritikan, juga merasa kualitas artistik dan estetik dari karyanya sudah selevel dengan karya para ahli.
Paling sering ditemukan adalah ketika seseorang dengan percaya diri bernyanyi sepenuh hati. Semua orang melihat dan mendengar bahwa suaranya pas-pasan, banyak fals, dan tidak menguasai satu pun teknik bernyanyi, tapi ia bahkan begitu percaya diri dengan kemampuannya. Bahkan, ia bermimpi suatu saat akan menjadi seorang penyanyi papan atas.
Dunning-Kruger Effect membuat seseorang tak mampu melakukan penilaian terhadap kelemahan dirinya. Ia menganggap semua kritikan yang datang sebagai hinaan, lalu dengan percaya diri kembali menunjukkan diri tanpa ada perubahan kualitas.
Sekilas Tentang Sejarah Dunning-Kruger Effect
Dunning (David Dunning) dan Kruger (Justin Kruger), dua psikolog yang mengembangkan teori terhadap kasus psikologis ini awalnya melihat seorang perampok bank bernama McArthur Wheeler di tahun 1999. Perampok tersebut menyiram wajahnya dengan perasan air jeruk (lengkap dengan 'pulpy'-nya). Ternyata alasannya adalah, ia terlalu yakin dengan eksperimennya bahwa tak akan ada seorangpun yang mengenali dirinya bila disiram air jeruk.
Kedua psikolog itu meyakini bahwa hal konyol tersebut bukan dikarenakan IQ jongkok, atau kebodohan McArthur. Yah, itu lebih karena percaya diri yang keterlaluan. Sampai akhirnya ia tak mampu melihat kelemahan dan kekurangan dari eksperimen "air jeruk" tersebut.
Seorang yang mengidap Dunning-Kruger Effect akan sangat sulit mengenali kekurangan dan ketidakcakapannya. Bila ada orang yang dengan jujur memberi kritikan atas karyanya, maka ia akan keras hati. Penyebabnya adalah, ia tidak tahu dan tidak mampu mengenali "aspek buruk" yang dimaksud, hasilnya ia tak mengakui kekurangan dirinya.
Hanya ada dua cara untuk "mengobati" diri dari Dunning-Kruger Effect. Pertama, mulailah dengarkan evaluasi dari orang lain terhadap diri Anda. Kedua, jangan pernah berhenti belajar dan membaca.
Pertama kali, mungkin akan sangat sulit mendengarkan kritik orang lain, meski kritik tersebut sangat konstruktif bagi Anda. Bila Anda bertemu seorang ahli, maka sudah saatnya Anda bertanya untuk mengetahui sebatas mana kompetensi dan pengetahuan kita.
Cara kedua adalah jangan pernah berhenti belajar dan membaca. Karena dengan berhenti membaca dan belajar, itu menunjukkan bahwa diri Anda menganggap semua sudah beres. Anda akan merasa diri Anda seorang ahli, meski sebenarnya Anda tak tahu sebatas mana pengetahuan yang Anda miliki.
Dengan belajar dan membaca, Anda akan mencoba mencari sintesis. Sintesis adalah perpaduan dari thesis (apa yang Anda ketahui, apa yang Anda yakini selama ini) dengan antithesis (informasi baru yang berlawanan dengan apa yang selama ini Anda yakini). Ketika itu akan muncul pertanyaan, apakah aku selama ini salah? Atau apa yang kubaca ini yang keliru?
Hal tersebut membuat Anda kembali mempertanyakan kadar pengetahuan dan kemampuan Anda sendiri. Lalu, Anda akan mencoba berpikir kritis, mencari deduksi sendiri hingga akhirnya meyakini banyak hal. Termasuk, menyadari kemampuan diri.
Membaca dan terus belajar juga menjadikan kita tahu bahwa pengetahuan kita masih sebatas mana dan masih terlalu banyak hal yang harus kita pelajari di bumi ini untuk mencapai level "ahli". Bahkan, seorang "ahli" juga masih akan mempelajari dan terus berlatih meningkatkan kemampuan dirinya setiap hari. Kenapa yang masih belum kompeten justru sudah terlalu percaya diri?