Tiga Premis untuk Pertunjukan Waktu Tanpa Buku oleh Kala Teater -->
close
Pojok Seni
09 December 2020, 12/09/2020 04:27:00 PM WIB
Terbaru 2020-12-09T09:27:43Z
BeritateaterUlasan

Tiga Premis untuk Pertunjukan Waktu Tanpa Buku oleh Kala Teater

Advertisement
Pertunjukan Waktu Tanpa Buku sutradara Shinta Febriany oleh Kala Teater


Premis Pertama;


Musik mengiris membuka pertunjukan yang menampakkan ruang redup dan kosong yang menggambarkan suasana kelam.


Lalu enam aktor; Nurul Inayah, Dwi Lestari Johan, Mega Herdiyanti, Nirwana Aprianty, Sukarno Hatta dan Yasser Adam berjalan memasuki ruang itu sambil memutar-mutarkan badannya dengan mengambil poros di tubuh masing-masing. Gerakan antara sesama aktor acak saja tapi terlihat rapih, memenuhi ruang pertunjukan yang tak seberapa luas itu. Mereka bergumam sambil membuang kertas-kertas yang lalu berserakan di lantai. Properti ini menjelaskan salah satu peristiwa penting dalam cerita tentang bacaan dan semua hal yang mengandung unsur bacaan dicerabut dalam peristiwa kelam tahanan politik Urugay di masa pemerintahan kediktatoran yang membungkam oposisi terutama dari Partai Komunis Uruguay dan kelompok gerilyawan Tupamaro. Masa kelam di Uruguay ini berlangsung 12 tahun lamanya, dimulai tahun 1973 ketika Juan Maria Bordaberry naik ke tampuk kursi presiden melalui sebuah kudeta.


Suasana pembungkaman itu juga tergambar dalam wajah enam aktor yang dibebat benang-benang wol merah pada seluruh permukaan kepala, menutupi wajah --menyisakan mata dan mulut-- di babak pertama pertunjukan. Hal yang menarik perhatian saya adalah kekhasan strategi artistik pertunjukan Kala, yakni sebisa mungkin aktor membawa dan mengatur propertinya di panggung. Sepanjang pengetahuan saya terhadap produksi Kala Teater strategi artistik tersebut cukup sering dilakukan. Hal khusus di pertunjukan Waktu Tanpa Buku ini adalah dibantu Meditatif Films untuk merekam gambar dan memberi unsur sinematiknya. Mungkin untuk memenuhi konsep pertunjukan teater film yang diinginkan penyelenggara.


Begitu pula dengan properti kursi yang dibawa masuk ke ruang pertunjukan oleh aktornya. Dengan meminjam koreografi tari, kursi-kursi itu dibawa masuk ke ruang pertunjukan sekaligus membuat properti ini tidak sekadar berfungsi sebagai tempat duduk melainkan juga berfungsi sebagai latar ruang keluarga saat adegan menampilkan tokoh ayah, ibu, dan anak berdialog juga menjadi latar waktu saat adegan tokoh ayah menceritakan ingatan di penjara yang kejam itu. Sekali lagi ini menjelaskan pertunjukan ini bukan sekadar dramatic reading yang sempat dipilih sebagai strategi mementaskan pertunjukan naskah Waktu Tanpa Buku seperti dikemukakan konsultan teater film Wawan Sofwan yang saya baca dari sebuah portal berita saat konferensi pers pertunjukan Waktu Tanpa Buku--. Strategi awal tersebut dipilih dikerjakan oleh lima sutradara perempuan di Indonesia ini mengingat waktu untuk mempersiapkan pementasan ini tidak cukup banyak. 


Mengapa strategi artistik Kala Teater menjadi menarik bagi saya? Memang strategi artistik Kala Teater ini kerap saya lihat dalam pertunjukan-pertunjukannya yang saya duga sebagai siasat panggung dan juga sebagai cara meretas jarak antara aktor dan benda-benda dalam pertunjukan. Namun untuk pertunjukan dengan konsep teater film ini bukankah memungkinkan secara waktu dan kesempatan untuk menaruh benda-benda lebih awal? Juga dengan konsep itu bukankah memungkinkan meminjam perangkat sinematik untuk menguatkan pesan seperti sudut pandang kamera atau close up gambar? Tetapi pertunjukan Kala Teater masih cukup patuh pada konsep teater. 


Adegan-adegan ditampilkan dengan gerak konstan aktornya, contohnya adegan aktor-aktor berjejar sambil berjalan menyamping dan membungkukkan badan lalu semacam berpidato dengan naskah sebagai toa atau corongnya juga adegan interogasi dan proses pembersihan terhadap lawan politik rezim diktator ini, bagaimana simbol-simbol dimunculkan, pengadeganan yang menjadikan tempat keluar masuk aktor berada dalam satu ruang pertunjukan sekaligus semacam ruang ganti kostum dan properti yang dibiarkan terlihat oleh penonton.


Membaca utuh pertunjukan ini baik secara internal pertunjukan teaternya maupun situasi yang melingkupi ini saya menduga-duga alasan pertunjukan Kala Teater ini. Dan dugaan tersebut saya simpan di bagian akhir tulisan ini.


Premis Kedua;


Sebenarnya saya cemas menonton teater di masa pandemi ini dengan siasat pertunjukan lewat media daring. Saat Shinta Febriany, sutradara Kala Teater di Makassar, menawarkan menyimak pertunjukan Teater Film “Waktu Tanpa Buku” yang diinisiasi Institut Ungu dalam rangkaian acara Dialog Seni dan HAM untuk peringatan Hari HAM 2020 saya pun kembali cemas padahal tahun 2016, sebelum Korona merebak menjadi wabah yang melumpuhkan dunia dan mengubah secara drastis wajah peradaban manusia kontemporer, saya --sebagai peserta dalam sebuah kuliah umum Afrizal Malna di Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar--mengajukan sebuah kemungkinan teater dinikmati serupa menikmati playlist lagu di Spotify --sebuah platform daring musik-- atau audio visual di platform media sosial YouTube. Tetapi sepertinya dramaturgi baru yang dikemukakan ketua komite teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode lalu itu konteksnya di soal adaptasi teater terhadap perkembangan teknologi khususnya internet tapi masih dalam konsep ruang bersama dengan penonton. Memang dibanding cabang seni lainnya, teater terlalu lamban beradaptasi dengan perkembangan teknologi.


Ruang bersama antara peristiwa teater dan peristiwa menyimak dan menyaksikan langsung penonton adalah kekuatan utama teater sebagai peristiwa pertunjukan yang terjadi serempak. Hal ini merujuk kepada defenisi sederhana teater sebagai tempat pertunjukan dan berkembang menjadi semua pertunjukan yang dipentaskan di depan orang banyak secara langsung. Peristiwa teater itulah yang membuat asupan pengetahuan tidak berhenti sekadar datang dari visual dan audio tetapi juga seperti efek teror dalam teater Putu Wijaya yang bisa dalam bentuk bau atau kejutan-kejutan improvisasi aktor atau spontanitas yang terjadi yang merupakan hasil interaksi aktor dan penonton. Teror atau kejutan psikologis dalam media audio visual seperti film terjadi dari suara dan gambar yang dramatis.


Peristiwa teater yang terjadi dalam ruang yang sama tidak akan memberikan penonton dan aktor pemaknaan yang sama di pertunjukan hari berikutnya meski pemaknaan tersebut tertinggal sebagai jejak spiritual dalam diri mereka.





Premis Ketiga;


Lalu pandemi Covid-19 merebak dari daratan Cina dan tak berapa lama menjadi momok menakutkan bagi dunia, merenggut jutaan korban mengubah banyak pengertian manusia terhadap diri, lingkungan, dan seluruh pilar kebudayaan. Kesenian adalah satu dari pilar tersebut yang terdampak. Bukan hanya secara artifisial tapi juga konsepsi dan pemaknaan, yang memaksa teater --sebagai cabang seni yang paling lamban beradaptasi pada perkembangan teknologi-- untuk beradaptasi atau mati.


Papermoon Puppet Theatre dari Yogyakarta menurut catatan Jawapos.com merupakan kelompok teater yang merespons situasi pandemi dengan membuat story teller dari tempat mereka sendiri dengan menghimpun secara daring tema cerita dari penggemarnya lalu menjadikannya pertunjukan pendek dalam bentuk video. Ada juga Afrizal Malna yang membuat seri teater masker yang dibuat dengan menyiarkannya lewat akun Instagram Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pertunjukan itu diberi penjelasan agar penonton bisa memahami apa yang dipertunjukkan Afrizal tersebut. 


Teater Koma yang dianggap sebagai teater paling produktif di Indonesia dan sudah berusia panjang pun akhirnya mengadaptasi situasi pandemi ini dengan berkarya lewat daring dengan memanfaatkan media sosial seperti YouTube. Juga di musim puncak pertama pandemi ini ada pementasan teater Rumah Kenangan yang disutradarai Agus Noor dan diproduseri Happy Salma. Agus bahkan meyakini siasat berpentas lewat daring ini adalah berkreasi bagi situasi hari ini dan menjadi paten bagi teater masa depan.


Kreasi atau adaptasi teater ke medium lain untuk menyiasati situasi pandemi mengharuskan konsep teater mengkompromikan elemen-elemennya sekaligus mengadopsi elemen lain. Penoton dan pertunjukan yang biasanya  berada dalam satu ruang yang sama dipisahkan oleh dunia virtual. Saya merasa lebih tepat tetap memakai istilah virtual alih-alih ruang imajiner seperti yang dibilang Afrizal Malna untuk menyebut medium daring karena tafsir di atas panggung sesungguhnya adalah media imajiner itu sendiri. Gagasan artistik juga kadang dikompromikan seperti pertunjukan teater Koma dari sanggarnya yang dibuat dalam program digitalisasi teater Koma di mana para aktor memakai face shield dan masker.


Mengadopsi elemen lain juga menjadi ciri teater di masa pandemi ini. Elemen media audio visual atau unsur broadcast menjadi yang paling penting. Inilah masa kamera tidak sekadar bagian dari tim produksi yang mendokumentasikan proses dan pertunjukan sebuah teater. Inilah masa ketika kamera baik DSLR maupun dari kamera gawai tidak sekadar peran multimedia yang cuma menjadi ilustrasi dilayar panggung. Kemampuan cerdas mengkompromikan dan mengadopsi teater di masa pandemi ini terlihat bernas pada pertunjukan teater film Waktu Tanpa Buku yang dipentaskan Kala Teater. Bahkan saat unsur sinema ikut mengintervensinya pun terlihat kecerdasan Kala Teater untuk tetap tampil memainkan teater. Ini terlihat dari produksi-produksi Kala Teater di masa pandemi yang bisa dilacak di akun Instagram Kala Teater.


Pertunjukan Waktu Tanpa Buku oleh Kala Teater ini direkam untuk disiarkan. Kamera tidak sekadar merekam layaknya dokumentasi biasa tetapi juga memanfaatkan elemen sinematik. Kala menggunakan secara tepat elemen sinematik hingga terhindar dari kesan bahwa pertunjukannya merupakan  film yang memakai dialog teater konvesional. Misalnya mempertahankan cahaya panggung, menggunakan sedikit efek kamera untuk membuat gambar close up kepada aktor di adegan tertentu, membuat arah kamera sekali waktu pen kanan atau kiri. Ini menghindarkan pertunjukan Kala hanya menggunakan kamera sebagai alat perekam semata. 


Mempertahankan teater tetap sebagai teater meski dengan beberapa penyesuaian merupakan siasat teater film  yang dijalankan Kala Teater seperti dugaan saya di premis pertama di atas. Seluruh adegan-adegan teater tetap dipertahankan dan tidak tergoda untuk memanfaatkan seluruh kemungkinan elemen sinematik lewat daring dengan alasan situasi pandemi. Kala Teater tak ingin pertunjukan itu terjatuh menjadi film yang berdialog teater. 


Momen ini menjadi penjelasan bagi gagasan dramaturgi Kala Teater bahwa pertunjukan teater kontemporer tetap bisa disiasati meski melalui platform daring. Masa pandemi memang mendorong seniman berkreasi, bahkan kampanye peringatan HAM yang diselenggarakan Institut Ungu yang dipimpin Faiza Mardzoeki percaya itu, terlepas dari apakah itu juga cara membantu kesenian untuk tetap produktif di masa ini. Padahal bila untuk kampanye pesan, bukankah film lebih cepat menyampaikan maksud itu, dimasa pandemi begini webinar pun jadi salah satu cara yang efektif menebar pesan tanpa harus menciptakan kerumunan.


Tawaran strategi teater film dalam kampanye HAM dalam program dialog seni dan HAM Institut Ungu ini menjadi jawaban mengapa teater menjadi medium untuk kampanye ini. Tetap ada yang berbeda antara teater dan film. Misalnya membandingkan film A Twelve Year Night sutradara Alvaro Brechner yang menceritakan tentang latar peristiwa yang sama dengan Waktu Tanpa Buku karya Lene Therese Teigen yang diterjemahkan Faiza Mardzoeki tentang era kelam rezim diktator di Paraguay dengan penjaranya yang manusiawi itu dengan pertunjukan Kala Teater. Film A Twelve Year Night membuka filmnya dengan gambar-gambar kelam penjara yang menahan ribuan opisisi pemerintahan, bagaimana kekejian rezim diktator tersebut begitu terlihat secara audio visual. 


Tembok penjara  yang gelap, makanan yang tidak laik, penyiksaan dan interogasi yang tidak berperikemanusiaan hingga tujuan penjara hanya dua, yaitu membuat tahanan gila atau memlilih bunuh diri. Pertunjukan Kala yang disutradarai Shinta Febriany menunjukkan kelam yang artistik dan manis. Sebuah kelebihan yang diperlihatkan Shinta Febriany dan pertunjukan Kala Teater yang piawai mengeksplorasi kesedihan, elegi, dan kelam dalam konstum yang manis, properti minimalis tapi menikam hingga kekejian tak perlu kau lihat dalam adegan tapi mendengung dalam benak kita saat melihat seluruh pertunjukan Waktu Tanpa Buku persembahan Kala Teater. Ini membuat kita membayangkan seperti apa rasanya kutipan teks naskahnya “Saya ingat saya sedih, tanpa menjadi sedih atau saya bahagia tanpa merasa bahagia.”


Konklusi;

Bila harus terjadi evakuasi teater (menyitir istilah Afrizal soal dramaturgi baru) di masa pandemi tanpa harus menjadi bentuk yang sama sekali lain, saya kira Kala Teater tengah menunjukkan caranya.


Penulis: Irwan AR, penikmat teater tinggal di Makassar


Ads