Advertisement
pojokseni.com - Dimulai dengan suasana gelap, ada banyak lalat terbang ke sana-sini, lalu muncul seorang bertubuh gempal berpakaian jenderal dan mengingatkan kita pada sosok pendiri bangsa, Bung Karno. Muncul suara, sebuah berita tentang Amerika Serikat yang telah menjejakkan kakinya ke bulan, lalu berencana mengirimkan batu dari bulan untuk pak Harto, untuk Indonesia.
Kemudian, semua berpindah ke lokasi shooting di tempat yang lapang, lagi-lagi di tengah kegelapan. Sebuah rekayasa keberhasilan terbang ke bulan. Sebuah kapal roket jadi-jadian, dengan dua atau tiga orang berpakaian astronot yang berjalan bak tanpa gravitasi. Sialnya, semua rekayasa itu terlihat oleh orang yang tak seharusnya melihatnya. Dialah Siman, yang diperankan oleh Gunawan Maryanto.
Siman ketahuan, ia diciduk lalu dipotong lidahnya. Versi yang diceritakan oleh Dukun (diperankan oleh Yudi Ahmad Tanjudin), Siman ditangkap setan lalu dipaksa menggigit lidahnya sendiri sampai putus. Apapun itu, faktanya tetap sama, Siman kehilangan lidah.
Siman kehilangan lidah, sedangkan beberapa warga lainnya yang dianggap tahu justru kehilangan nyawa. Si Dukun ketakutan dan bersembunyi di rumah Siman. Ia bilang, ia tidak tahu, hanya pura-pura tahu. Dan semua orang yang dianggap tahu akan menghilang. Semua cerita di atas terjadi di sekitar tahun 1960-an, atau tepatnya 1966 seperti dikatakan lewat dialog Dukun.
Siman Jadi Astronot
Dukun sempat bilang bahwa Siman akan jadi orang gila nantinya. Ia tidak akan pernah waras lagi setelah kejadian kehilangan lidahnya. Namun bukan itu hukuman yang paling berat, tapi bagaimana Siman akhirnya berubah menjadi seorang "astronot".
Siman tidak hanya kehilangan lidah, tapi ia kehilangan kontrol terhadap tubuhnya sendiri. Ia bergerak sangat lambat, seperti astronot berjalan di bulan. Tidak hanya itu, ia membuat rumahnya seperti roket yang akan meluncur ke bulan, dari tumpukan mesin cuci dan kipas angin bekas.
Ia juga membuat pakaian astronot, untuk melengkapi satu deduksi bahwa ia mencoba menyampaikan dusta dan rekayasa tentang perjalanan ke bulan. Ia terus menyampaikan lewat semua gerak-geriknya bahwa pendaratan astronot ke bulan itu hanya rekayasa pemerintah.
Atau, seperti yang disebut sebelumnya. Siman hanya kehilangan kontrol terhadap tubuhnya sendiri, sedang lidahnya tak mampu bicara. Ia hanya korban dari kebohongan yang direproduksi dengan sengaja diulang-ulang. Bukankah sebuah kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran?
Lompat Dimensi Waktu
Kemudian, mau tidak mau ada lompatan dimensi waktu yang sangat jauh dari tahun 1966. Ketika Siman berbicara dengan tukang jahit, si tukang jahit mengangkat telepon. Nah, kalimatnya adalah "kenapa video call?" dan bisa ditebak bahwa gawai yang dipegangnya adalah sebuah smartphone.
Maka dari tahun 1966, Siman melompat ke tahun 2000-an. Yah, sebuah kebohongan yang direproduksi akan menciptakan Siman-Siman yang lain di setiap generasi.
Siman adalah orang aneh, yang tak bisa bicara dan bergerak lambat bak astronot di medan tanpa gravitasi. Siman menjadi orang sinting bagi sekitarnya, tapi ternyata gerak lambat Siman bukan suatu yang alamiah.
Siman marah karena uangnya dicuri, ia berjalan dengan sangat cepat. Siman juga sempat mencoba memperkosa seorang wanita, ia bergerak juga dengan sangat cepat. Tetapi, ketika ia bekerja, atau melakukan kegiatan sehari-hari, maka ia akan kembali menjadi Siman Astronot yang bergerak sangat lambat.
Siman yang baru, adalah Siman yang hidupnya terus-terusan terkait dengan uang. Tukang jahit yang terlilit hutang dan terus meminjam uangnya, sampai kemudian mencuri uangnya. Sampai tukang fogging yang menyemprot lalu minta uang. Siman mengangkat barang, lalu dibayar dengan uang. Siman berhubungan badan dengan seorang pelacur, lalu memberikan uang.
Setelah dihajar dengan perkara uang-uang, seks dan hasrat, maka selanjutnya Siman jadi tontonan. Ia bergabung dengan grup jathilan, lalu diminta mengisi acara nikahan, sampai akhirnya menjadi tontonan banyak orang. Ia sudah direduksi menjadi objek, menjadi produk.
Maka siapakah Siman? Film yang berisi aksi sintingnya yang kehilangan gravitasi, menjadi objek tertawaan siapapun yang berada di sekelilingnya, apa yang diinginkan Siman? Kenapa ia kehilangan kontrol atas dirinya sendiri?
Lalat-lalat yang hadir di awal film, muncul lebih banyak di akhir film. Yah, kebusukan menghadirkan lalat-lalat. Sejak dulu, dan terus diproduksi, agar lahir kebusukan-kebusukan lainnya, maka lahir pula Siman-Siman lainnya.
Meski begitu, harus diakui bahwa film terbaik Citra 2020 ini mengusung sebuah diskusi yang berat, namun begitu abstrak. Seperti sebuah pidato yang tendensius namun berputar-putar. Penonton mendapatkan sejumlah pertanyaan (apakah lidah itu dipotong, atau dipaksa memotong sendiri, misalnya) lalu membawa pulang pertanyaan-pertanyaan itu. Selain membawa pulang pertanyaan, setidaknya penonton "dipaksa" untuk meyakini bahwa "Siman adalah kita!"