Advertisement
Oleh: Ekwan Wiratno*
“Seseorang yang berjalan melalui sebuah ruang kosong dan disaksikan oleh orang lain”
Demikian Peter Brook mendefinisikan sebuah peristiwa teater. Definisi yang sangat sederhana ini sejatinya menyimpan beberapa kata kunci penting, yaitu pemain, ruang dan penonton. Tanpa ketiganya, teater tidak akan secara utuh terwujud. Ketiganya kemudian menjadi sudut pandang ketika menonton pementasan Kelompok Bermain Kampung Berseri (KBKB) berjudul Ruang Kelas Kosong. Pertunjukan yang digelar di sekolah dasar pada tanggal 20 November 2020 ini merupakan rangkaian Teater Exit yang digelar oleh Dewan Kesenian Jawa Timur.
Sebagai sebuah pertunjukan, tentu saja teater bermula dari penciptaan ruang. Di dalam ruang itulah dunia diciptakan waktu, tempat, tokoh, dan peristiwa. Kesemuanya kemudian menciptakan ruang, atau dalam terminology lain disebut sebagai space. Space tentu saja bukan hanya persoalan tempat, dalam konsep site-specific performance, space adalah sebuah kata kerja yang merepresentasikan momentum penciptaan seni.
SITE-SPECIFIC
Konsep site-specific performance memadukan antara place dan space. Place merupakan representasi sikap kaku, statis dan diposisikan sebagai objek. Sedangkan space merupakan bentuk aktif atau sebuah kegiatan atau momentum yang berkaitan dengan proses penciptaan seni. Menurut Michel de Certeau, space adalah practical place.
Site-specific performance dicetuskan pada tahun 1960 oleh Arthur Sainer sebagai usaha untuk menolak elitisme yang pada masa itu menjadi pembatas yang cukup mengganggu dalam proses berkesenian. Kesenian seperti mendapat kewajiban untuk disajikan di Gedung pertunjukan khusus dan disaksikan dengan ritual khusus. Usaha mendobrak elitisme ini merupakan usaha untuk mendekatkan pertunjukan pada komunitasnya, yaitu dengan melibatkan penonton di ruang yang dikenal dan nyaman/familiar baginya.
Maka apabila menggunakan pendekatan site-specific, maka pertunjukan dengan sengaja digeser dari gedung pertunjukan yang elit dan kaku ke ruang lain yang lebih “dekat” bagi penonton atau ide pertunjukan. Rasanya inilah yang coba dilakukan oleh KBKB. Dengan menggelar pertunjukan di dalam kelas sekolah dasar, maka pertunjukan yang berkaitan dengan dunia pendidikan menjadi begitu dekat. Space dan place telah begitu dekat. Hanya saja, kedekatan ini kemudian dibatasi oleh kemampuan KBKB dalam melakukan eksplorasi ruang kelas yang rasanya tidak tuntas. Memang, meja dan kursi telah dimanfaatkan sebagai bagian dari panggung, tetapi begitu banyak elemen lain di dalam sana yang tidak tersentuh.
Melihat para penonton pertunjukan Ruang Kelas Kosong yang jauh dari usia sekolah, harusnya kondisi space-place tersebut dapat dimanfaatkan untuk mempengaruhi penonton dengan memanggil kembali memori masa sekolah. Tapi yang terjadi, justru disampaikan video dan upaya teatrikal semata. Informasi-informasi yang disampaikan melalui video dan teatrikal tidak memberikan impresi yang mendalam bagi penonton. Hal ini nampak sekali dari respon penonton yang berjarak. Padahal apabila kita kembali pada konsep site-specific performance, maka kedekatan antara pertunjukan dan penonton menjadi hal yang sangat penting. Hilangnya dinding-dinding pertunjukan harusnya dimanfaatkan untuk menggali respon dari penonton, hal inilah salah satu kekuatan konsep ini.
Sebab apa gunanya membawa keluar pertunjukan dari gedungnya yang mewah kalau tetap ada batas yang menyakitkan, menghambat keintiman yang menyenangkan?
RUANG PEMAIN
Ruang yang diciptakan pemain merupakan elemen penting bagi pertunjukan. Hanya saja, KBKB rasanya perlu melakukan berbagai latihan untuk memantapkannya. Hal ini karena gerak aktor terkesan seadanya tanpa adanya disiplin latihan tertentu. Aktor-aktor hanya bergerak atas instruksi-instruksi yang diberikan musik atau tokoh topeng merah. Pergerakan aktor-aktor tidak meninggalkan impresi seperti ketika menonton pertunjukan dengan gerak indah yang dihasilkan melalui latihan fisik (tentu saja sekedar senam tidaklah cukup) dan latihan spiritual. Dan sayangnya, gerak indah semacam ini mulai langka di jaman sekarang.
Gerak-gerak aktor KBKB sebetulnya cukup mudah ditangkap maksudnya, tetapi perulangan-perulangan dalam durasi yang berlebihan rasanya justru malah menimbulkan kebosanan yang menyiksa. Hal ini sebetulnya sudah harus disadari oleh sutradara atau seluruh tim yang terlibat karena sangat merugikan.
Pemutaran video hasil wawancara dengan siswa juga tidak memiliki efek besar bagi pertunjukan. Dengan terlalu gegabah, bisa saya simpulkan, bahwa pertunjukan KBKB hanya teatrikal perwujudan kegelisahan para siswa. Hanya itu.
Ruang-ruang tidak sepenuhnya diciptakan dan dimanfaatkan oleh KBKB. Ruang sebagai skenografi, sepertinya tidak dipilih dengan kesadaran eksploratif. Mungkin yang dipertimbangkan hanya soal kedekatan dengan tema pertunjukan, belum lebih jauh pada potensi-potensi artistik yang bisa dieksplorasi. Ruang sebagai arena perkembangan aktor juga tidak optimal karena belum dieksplorasi menuju gerak-gerak artistik yang lebih berdasar. Hal ini umumnya terjadi karena ketidak-adaan disiplin pelatihan tubuh yang muncul dalam cara aktor bermain peran.
Sementara ruang cerita juga tidak tergali maksimal dengan memilih sudut pandang yang berbeda atau kurang mendapatkan perhatian masyarakat. Isu tentang keinginan siswa kembali sekolah offline merupakan isu yang—menurut saya—sudah dipahami oleh semua masyarakat di dunia ini, tidak ada hal yang unik dari sudut pandang ini. Ruang kesatuan antara semua elemen pertunjukan juga belum tertata dengan optimal, misalnya penempatan video dapat diletakkan di awal pertunjukan sebagai dasar, sedangkan apabila diletakkan setelahnya maka kesan itu menjadi berubah sekedar tempelan belaka.
Sebagai salah satu dari tiga pertunjukan yang diajukan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur, melalui proses kurasi yang ketat oleh Arung Wardhana, harusnya pertunjukan KBKB mampu memberikan obat bagi dahaga pertunjukan teater yang selama Pandemi Covid-19 tidak bisa digelar secara langsung atau hybrid keduanya. Ibarat sebuah acara, maka KBKB harusnya menjadi gong yang membuka acara dengan penuh kesakralan sekaligus gempita.
Secara jujur harus dikatakan, bahwa pentas KBKB memang tidak gagal secara keseluruhan. Tetap ada ide yang ingin disampaikan. Hanya saja, kedalaman dan kesadaran dalam penggarapan karya yang kurang mendalam. Hal ini—dalam beberapa kasus—umumnya terjadi karena kurangnya brainstorming di fase awal penggarapan dan keengganan untuk melakukan kajian literasi. Sebab, kajian-kajian mengenai site-specific atau mengenai kaitan antara tempat dan pertunjukan telah ditulis sejak lebih dari setengah abad. Terlebih, sang kurator merupakan salah satu orang yang banyak meneliti dan membahas tentang kajian ini. Bahkan pada tahun sebelumnya pernah dilaksanakan diskusi tentang New Dramaturgi Cathy Turner yang juga membahas mengenai kajian site-specific performance dan teater arsitektural.
Sebagai program sekaliber Jawa Timur, mungkin tidak berlebihan bila saya berharap menonton pertunjukan yang didahului riset fenomena yang mendalam, ditulis dalam teks yang mumpuni dan digarap secara lebih berkesadaran.
REFERENSI
- David Wohl. 2014. Site-Specific Theatre: Producers Take Plays Into Real-World Settings and Invite Audiences to Join Them for the Ride. Southern Theatre Volume LV Number 1.
- Gay McAuley. 2005. Site-specific Performance: Place, Memory and the Creative Agency of the Spectator.
- Anna Pickard. 2008. Losing sight of site-specific theatre.
* Penulis merupakan Dosen Universitas Brawijaya, Malang yang juga merupakan kritikus teater, penulis naskah, dan sutradara. Selain sebagai kritikus, penulis merupakan pendiri Malang Study-Club for Theatre (MASTER) (IG: master.malang) yang berfokus pada upaya literasi dan pengembangan keilmuan teater secara umum. Kini tinggal di Malang dan membuka peluang komunikasi melalui account Instagram ekwan_wiratno