Advertisement
Ilustrasi pertunjukan seni (Pertunjukan oleh DAAL Lampung) |
pojokseni.com - Perasaan adalah sebentuk pengetahuan. Setidaknya, itu yang dirasakan dan dikatakan oleh Mikel Dufrenne (1910-1995). Dufrenne adalah seorang fenomenolog asal Perancis yang khusus mengkaji fenomenologi pada perkara estetika. Tentunya, karya super tebal berjudul Phenomenologie de l'experience esthetique menjadi sumbangan besar beliau tentang estetika pada dunia.
Menurut Dufrenne, kajian estetika sebenarnya bukan tentang karya seni melainkan tentang objek estetis. Sebelumnya, di PojokSeni membahas perbedaan antara karya seni dengan objek estetis. Maka, objek estetis baru akan muncul ketika ada seorang atau lebih penonton, pemirsa dan sebagainya yang tersentuh secara estetis dengan karya seni tersebut. Ketika itu, seseorang bahkan lupa tentang dirinya atau apa yang sebenarnya ada pada dirinya. Tapi ia terserap masuk dalam sebuah karya seni dalam kesan indrawi yang begitu intim.
Persepsi estetis ketika menikmati karya seni dalam kajian Dufrenne berupa "perasaan a priori" atau perasaan pra-pengalaman. Nah, kembali sedikit ke Imanuel Kant yang membatasi wilayah "a priori" sebagai "pengetahuan" (lebih tepatnya pengetahuan pra pengalaman), namun Dufrenne justru menyebut "perasan" sebagai "pengetahuan" sebagai kelanjutan gagasan estetika sebelumnya terkait indra seni.
Pertanyaannya kembali lagi ke judul, apakah perasaan itu adalah sebentuk pengetahuan? Apakah sama "perasaan" yang metafisik itu dengan hal-hal yang kongkrit seperti yang dikenal orang dengan istilah "pengetahuan" tersebut? Apalagi, pengetahuan berciri kognitif. Apakah perasaan juga berciri kognitif?
Kita kembali ke kajian Dufrenne. Bagi dia, perasaan (merasakan) merupakan salah satu bentuk pengetahuan (mengetahui). Seseorang baru bisa merasakan dengan baik sesuatu dari objek estetis apabila seseorang tersebut mengetahuinya. Misalnya ada sebuah puisi yang begitu liris dan menyentuh seseorang, kita anggap saja puisi karya Rabindranath Tagore. Bila seseorang bisa merasakan bahwa puisi Rabindranath Tagore itu puisi sufistik yang langsung mengantarkan seseorang mengenali Tuhannya, maka seseorang tersebut harus mengetahui tentang banyak hal, antara lain puisi dan sastra, sufistik, keagamaan dan sebagainya. Dengan merasakan bahwa puisi Tagore itu sufistik, maka seseorang itu mengetahui bahwa puisi Tagore itu sufistik.
Perbedaan Antara Hasrat dan Perasaan
Lebih dari itu, Dufrenne juga menjelaskan terkait sifat perasaan yakni "tanpa pamrih". Nah, "keikhlasan" perasaan inilah yang membuat persepsi estetis pada sebuah objek estetis menjadi begitu luhur dan tulus. Meski demikian, ada perbedaan mendasar antara perasaan dan hasrat. Kedua hal ini harus dibedakan dan diberi negasi yang tegas.
Bila seseorang ditanyakan, apakah Pevita Pearce itu cantik, misalnya. Maka jawabannya kemungkinan besar cukup seragam, "ya Pevita cantik". Meski ada yang menambahkan seperti, "yah, cantik sih, tapi bukan tipe saya." Atau mungkin jawaban seperti itu, "lumayanlah, manis senyumnya." Atau mungkin berbagai jenis jawaban lainnya, tapi bisa dikatakan masih seragam bahwa jawaban mereka itu setipe dengan "ya, Pevita cantik."
Itu bila yang ditanyakan sebuah "perasaan". Maka bisa kita simpulkan bahwa Pevita itu cantik. Karena berdasarkan jawaban "tanpa pamrih" dari orang-orang yang saat itu menjadikan Pevita sebagai "objek estetis", kita bisa mengetahui struktur afektif sebuah "kenyataan". Maka wajar bila Dufrenne mengartikan perasaan sebagai "cara mengetahui struktur afektif kenyataan tanpa pamrih."
Hal berbeda ketika berbicara tentang "hasrat". Maka pertanyaannya, apakah istri Anda cantik? Maka jawabannya akan sama "ya, istri saya cantik". Namun saat itu, bukan perasaan yang menjawabnya, melainkan hasrat. Wanita yang ditanyakan tersebut kebetulan adalah seorang yang kita "hasrati" maka wajar kalau jawabannya menjadi cantik. Jawaban itu tidak "tanpa pamrih" lagi, maka hasrat tidak bisa digunakan menjadi cara mengetahui struktur afektif kenyataan.
Kebenaran Artistik
Meski demikian, Dufrenne menegaskan bahwa perasaan yang a priori (pra-pengalaman) justru baru bisa dikenali melalui a posteriori (pasca-pengalaman). Maka sebelum bisa menikmati sebuah karya seni, misalnya kita kembali ke Rabindranath Tagore, maka si penikmat harus memperkaya dirinya dengan berbagai jenis nilai dan objek estetis lainnya. Apabila minim pengalaman a posteriori, maka seseorang akan sulit menikmati objek estetis dengan "perasaan a priori" tersebut.
Karya seni bagi Dufrenne harus memiliki dua jenis kebenaran artistik:
- Komposisinya tepat, tidak ada hal yang melebihkan atau mengurangkan komposisi yang berdampak pada berkurangnya mutu sebuah karya
- Karya tersebut benar dan sesuai berdasar dengan maksud seniman sebelum menciptakan karya tersebut.
Karya seni tidak bisa dikatakan salah karena tidak merepresentasikan dunia (eksternal), karena representasi hanyalah salah satu dari "sarana ekspresi artistik". Karena itu, kebenaran karya seni justru berdasar pada perasaan a priori, ketimbang "kebenaran formal".
Karena itu, perasaan a priori bukanlah hal yang bisa dianggap tidak penting. Selain seniman mesti terus melatih dirinya, membaca, mengolah tubuh, menambah pengetahuan dan sebagainya untuk kesempurnaan artistik maka ada hal lain yang juga harus ditingkatkan. Yakni, "pengetahuan" alias perasaan a posteriori penontonnya. Dengan peningkatan pembendaharaan objek estetis dan sebagainya di kepala penonton, maka akan semakin menarik karya-karya yang akan terus bermunculan untuk memenuhi "dahaga estetis" penonton tersebut.