Advertisement
pojokseni.com - Ada dua kisah, kisah pertama kita nukil dari novel Robohnya Surau Kami karya AA Navis. Seorang tua yang biasa dipanggil kakek adalah penjaga surau di sebuah kota kecil. Ia saban hari beribadah, memanggil orang lain untuk beribadah, membersihkan surau (masjid ukuran kecil, musholah) dan merawat semua barang-barang di dalam surau tersebut.
Sang kakek tak pernah tinggal beribadah, termasuk yang sunnah. Secara spesifik, kita menyebutnya sebagai seseorang yang tidak ada pekerjaan. Yah, pengangguran karena waktu itu marbot surau tak ada gaji.
Kakek tersebut mengandalkan hidup dari belas kasih orang-orang sekitarnya. Ia hidup sendiri sejak muda, tak pernah menikah dan tidak punya kenalan yang punya hubungan spesial. Hubungan sosialnya dengan orang lain memang semu, ia lebih memilih mendekatkan diri pada Tuhan.
Suatu hari yang malang, kakek penjaga surau ditemukan meninggal dalam keadaan yang menggenaskan. Ia menggorok lehernya sendiri dengan pisau yang saban hari diasahnya. Yah, ia terkenal sangat baik dalam mengasah pisau, sehingga sering dimintai tolong oleh ibu-ibu untuk mengasah pisau dapurnya.
Kenapa ia bunuh diri?
Sang kakek yang hidup sendiri ini suatu hari mendengarkan bualan seseorang bernama Ajo Sidi. Dia adalah seorang yang dikenal bermulut besar, suka membual dan bercerita.
Ia bercerita tentang seorang bernama Haji Saleh yang terpaksa harus masuk ke neraka, alih-alih surga. Padahal, Haji Saleh tak kurang beribadah pada Tuhan. Dari Subuh, sampai Isya dengan berderet-deret shalat sunnah juga dilakukannya. Nyaris ratusan kali dalam satu hari ia bersujud, lantas kenapa masih masuk neraka?
Di cerita Ajo Sidi, Tuhan murka dengan Haji Saleh yang tak mau peduli dengan keluarganya, lingkungannya yang subur, dan anak istrinya, serta menghabiskan semua waktunya untuk beribadah. Ia dinilai begitu egois dan hanya takut pada neraka, tak peduli apa yang terjadi pada keluarganya, sahabatnya, lingkungan sekitarnya dan sebagainya.
Mendengar cerita itu, kakek penjaga surau marah bukan kepalang. Serasa ingin dihajarnya Ajo Sidi itu, untung ia masih bisa menahan diri. Tapi, lama-kelamaan cerita itu merasuk ke dirinya. Ia merasa, bahwa ia adalah Haji Saleh yang diceritakan Ajo Sidi.
Tak lama kemudian, ia memilih bunuh diri. Ia yang tak pernah punya teman, tak punya istri, anak, cucu, sahabat, dan sebagainya. Ia yang selalu hidup sendirian, tidur dan bangunnya hanya untuk Tuhannya. Sampai akhirnya bualan Ajo Sidi membunuhnya.
Kisah Kedua : Isaac Newton
Kisah kedua datang dari tanah yang jauh. Tapi, dia adalah seorang penyendiri dan tak pernah punya seseorang yang ada hubungan spesial.
Isaac Newton namanya, seorang jenius dan ahli matematika yang tersohor sampai hari ini. Ia pernah punya teman ketika kuliah bernama John Wickins. Jhon Wickins terus bertahan untuk bersahabat dengan Isaac Newton meski tahu betapa anehnya lelaki jenius itu.
John Wickins menyadari bahwa Isaac Newton tidak menganggap bahwa sahabat itu sesuatu yang penting. Bagi Isaac Newton, makanan, air dan udara adalah hal yang paling penting. Teman tidak pernah sepenting itu.
Tapi tidak bagi John Wickins. Ia menganggap lelaki yang kerap mengurung diri di kamar itu sebagai sosok sahabat. Ia melakukan apapun agar Newton bisa berpikir dengan baik, makan dengan layak dan tidur dengan nyenyak.
Namun pada akhirnya, Newton tetaplah seorang yang aneh dan gemar kesendirian. Ia marah dengan Wickins karena hal tertentu sehingga mereka berselisih. Isaac Newton dengan kasar mengusir Wickins.
Wickins benar-benar marah, sampai ia tak mau mengakui lagi bahwa Newton pernah dikenalnya. Suatu hari ketika Newton si penyendiri sudah menjadi terkenal dengan karya-karyanya di bidang matematika, maka nama Newton pun dikenal oleh anak-anak sekolah.
Salah satu diantaranya adalah anak Wickins. Seseorang berkata pada anak Wickins bahwa Newton adalah sahabat ayahnya. Namun sampai di rumah, Wickins menolak tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak mengenal Newton.
Newton memiliki banyak asisten yang akhirnya dipecat dengan kasar lalu digantikan. Tapi ia tidak pernah punya teman. Ia juga tidak menikah, dan tetap perjaka sampai kematiannya.
Kontemplasi
Sekarang kehidupan seperti apa yang ingin Anda jalani. Mencari jalan sunyi seperti kakek di Robohnya Surau Kami? Jalan sunyi pengetahuan seperti Isaac Newton? Atau Anda ingin menikmati kehidupan dengan segala euforianya, ephemeralnya, sensasinya dan -termasuk- omong kosongnya?
Dua kisah di atas adalah kisah-kisah orang yang menyendiri dengan jalannya masing-masing. Yang satu berakhir tragis dan menyedihkan, yang satu lagi bahkan tidak punya teman. Seseorang yang seharusnya temannya bahkan menolak mengakui pernah mengenal Isaac Newton.
Tapi, bagi mereka, sahabat memang tidak sepenting udara dan air. Bagi sebagian yang lain, sahabat itu jauh lebih penting daripada apapun, termasuk udara dan air. Apakah Anda membutuhkan teman? Ataukah Anda ingin hidup sendirian?
Anda bebas memilih jalan apapun di hidup Anda. Tapi, akan ada tanggung jawab, risiko dan segala konsekuensi dari pilihan yang Anda pilih.