Advertisement
PojokSeni.com - Ada beberapa nama dramawan yang kemudian melahirkan karya absurd, Jean Genet (1910-1986), Eugene Ionesco (1909-1994) dan tentunya yang terbesar Samuel Beckett (1906-1989). Ketiganya yang memiliki waktu berdekatan dalam menulis karyanya, termasuk secara geografis bila dibandingkan dengan Harold Pinter yang berada di Inggris dan Edward Albee di Amerika Serikat.
Karya awal-awal Ionesco misalnya, The Bald Soprano (Biduanita Botak) ditulis di tahun 1948. Sedangkan karya Beckett yang fenomenal Waiting For Godot (Menunggu Godot) ditulis di tahun 1953. Jean Genet menulis di tahun 1949, setelah novel pertamanya di tahun 1944 membuatnya "selamat" dari hukuman seumur hidup di penjara.
Ada kesamaan dari tokoh-tokoh absurd di atas, yang pertama adalah pengalaman hidup yang pelik dan yang kedua menjadi orang buangan. Begitu pula ketika arus eksistensialisme begitu deras di Eropa, maka para penulis drama absurd bermunculan, dan mereka juga orang-orang buangan.
Meski hadir dalam bentuk independen dan tidak dari orang-orang yang berada dalam satu kelompok, namun anehnya karya mereka memiliki kesamaan yang persis. Premis plot hilang, struktur awal-tengah-akhir yang biasa ditemukan pada drama konvensional juga menghilang, tidak ada hubungan sebab akibat antar adegan bahkan tak jarang antar dialog, makna yang hadir nyaris semuanya ambigu dan sialnya karakternya juga tak bisa begitu Anda kenali. Siapa dia, dari mana ia berasal, dan di mana ia tinggal. Tak ada yang jelas.
Ada apa? Apa yang melandasi penolakan mereka terhadap konvensi teater konvensional yang sudah disepakati banyak orang itu? Kemudian, kenapa bisa ada kesamaan terhadap karya-karya mereka?
Jawabannya, timing! Timing yang tepat dari munculnya karya-karya mereka, berlanjut ke derasnya arus eksistensialis menerpa dunia. Bila Anda juga termasuk orang yang lahir di 1900-an maka Anda juga menjadi salah satu orang di dunia yang sial menghadapi dua perang dunia sekaligus. Kehancuran ekonomi, moral dan kepercayaan sekaligus.
Semua tempat terasa menakutkan. Maka semua orang memikirkan bahwa dirinya hanya akan menunggu mati. Seperti beberapa film yang keluar akhir-akhir ini juga begitu kental pengaruh eksistensialisme-nya, seperti Vivarium (Netflix, 2019) misalnya. Disebabkan oleh Pandemi yang membuat hal yang sama ketika orang-orang dihajar kejamnya perang. Tidak ada tempat yang aman, serta semuanya merasa hanya tinggal menunggu waktu untuk mati.
Pengaruh pandangan filsuf Albert Camus yang menggunakan kata absurd dalam Mite of Sisipus-nya yang akhirnya menjadikan kata "absurd" menjadi gerakan teater semacam buatan Beckett, Genet dan Ionesco.
Seperti ditulis Esslin dalam The Teater of Absurd, tiga orang yang disebut di atas memiliki kehidupan berbeda. Beckett peraih sarjana di Trinity College Dublin di Irlandia kemudian menjadi dosen di sana. Eugene Ionesco menghabiskan masa kecilnya di Rumania lalu menjadi guru Bahasa Prancis di University of Bukares, sedangkan Jean Genet menghabiskan masa mudanya dengan kriminal dan penjara. Tentunya tiga kehidupan yang berbeda bukan?
Beckett yang mempresentasikan karya penulis asal Prancis Jean du Chas dituduh membodohi pendengarnya di November 1930. Karirnya di akademik berakhir di tahun 1931 ketika ia mengundurkan diri dari Trinity College. Lalu, terinspirasi dari puisi Goethe, ia menjadi pengembara bertahun-tahun. Ayahnya meninggal beberapa tahun kemudian menjadikan ia harus bertemu dengan psikolog. Ketika ia membuat karya di tengah masa depresinya, karyanya berupa novel justru ditolak berkali-kali oleh penerbit.
Ionesco sudah sejak awal membenci kebusukan dunia karena perang, korupsi dan sebagainya. Ditambah dengan perceraian kedua orang tuanya, lalu ia terus membenci dunia nyata. Kemudian, ia pindah ke Prancis. Sialnya, ia tinggal di sana di tahun 1942, tepat ketika perang dunia kedua sedang merajalela. Itulah kenapa, kebenciannya terhadap realita menjadi-jadi. Karakter yang diciptakannya rata-rata adalah karakter otoriter yang konyol, penyembahan yang palsu dan setipenya.
Sedangkan Genet, yah dia adalah orang yang terbuang sejak lahir. Lahir dari seorang pelacur yang kemudian menitipkannya di panti asuhan untuk diadopsi ketika ia masih berusia 7 bulan. Ia tinggal bersama seorang ibu angkat yang baik hati, namun kemudian meninggal dunia. Genet selalu mendapatkan nilai yang baik di sekolah, namun selalu terlibat dengan pencurian dan berbagai kenakalan dan tindak kriminal sejak kecil. Genet kecil kemudian tinggal dengan sepasang lansia sampai akhirnya dipenjara karena kasus kriminal. Mulai dari pencurian, tindak cabul, pemalsuan, dan sebagainya. Ia menulis puisi ketika di penjara, yang kemudian berhasil mengesankan Jean Cocteau yang lalu menyelamatkan Genet dari hukuman seumur hidup.
Setelah sedikit pemaparan pendek tentang tiga orang itu, maka jelas sekarang ada persamaan dari mereka. Sama-sama terbuang, dan depresi dengan kenyataan hidup. Realita yang hidup sebenarnya sangat absurd. Dan mereka menuliskan semua kegelisahaan mereka, kehancuran itu, serta pandangan (respon) terhadap dunia sekitarnya dalam tulisan, baik itu puisi, novel, sampai naskah drama.
Sialnya, timingnya tepat. Yah, waktunya sangat tepat. Karya itu hadir ketika banyak orang sudah benar-benar depresi dengan banalitas kehidupan. Waktu yang bertepatan dengan orang-orang sudah menganggap dunia sebagai sebuah tempat yang menakutkan, dan sudah kehilangan semua maknanya. Maka manusia sudah benar-benar sia-sia. Mereka tidak lagi hidup untuk hidup, melainkan hidup untuk mempersiapkan mati, itupun sendiri-sendiri dengan cara yang egois.
Bila teater adalah tempat memindahkan realita, maka realita yang absurd inilah yang harus dipindahkan ke atas sana. Sedangkan di Amerika, Edward Albee di tahun 1962 mempertontonkan Siapa Takut akan Virginia Woolf? dan menampilkan absurdisme yang berkait dengan realisme. Dimulai dengan adegan yang realistis, lalu berubah menjadi absurd.
Timing yang tepat itu juga menjadikan teater absurd menjadi populer di masanya. Pertunjukan yang tidak masuk akal, juga tidak logis, nyatanya menarik perhatian penonton. Kenapa? Karena bila pada pertunjukan jenis lain, penonton diminta untuk mencari makna dari pertunjukan tersebut.
Sedangkan untuk pertunjukan jenis ini, penonton justru mencari makna dan kesamaan dengan kehidupan mereka sendiri.