Advertisement
Aruk Gugat |
PojokSeni.com - Aruk adalah tokoh center dalam pertunjukan Aruk Gugat karya Iswadi Pratama yang dibawakan dengan apik oleh rekan-rekan di Teater Satu Lampung. Adalah Sugian alias Jayen yang terus dipercaya sutradaranya menjadi peran Aruk.
Saking eratnya peran Aruk dengan Jayen, entahlah, apakah Jayen yang sedang memerankan Aruk atau malah sebenarnya Aruk yang di kehidupannya memerankan Jayen. Saya kenal dekat dengan "Aruk" ini, dia bahkan sudah seperti saudara (seperti saya menganggap semua keluarga besar Teater Satu lainnya). Harus saya akui, Aruk memang konyol, tapi Jayen juga konyol. Itulah kenapa, aruk menjadi begitu natural.
Dari pertunjukan Aruk Gugat yang dipentaskan oleh Teater Satu di Mabes Teater Satu, gang Waluh, BKP, Bandarlampung beberapa waktu sebelum pandemi, Aruk sempat menjadi seorang "pelatih akting". Bukan main karena Aruk telah menciptakan sebuah metode keaktoran yang baru bernama The Stupid Acting Method.
Awalnya, setelah melihat postingan Teater Satu di sosial media tentang The Stupid Acting Method ini, tentunya saya jadi penasaran. Metode keaktoran macam apa ini? Apakah "stupid" ini sebuah bias makna?
Nyatanya tidak! Sesuai dengan tajuk Aruk Gugat kali ini, yakni "Kebelet Ngetop". Ternyata the Stupid Acting Method adalah sebuah jawaban bagi semua orang yang ingin ngetop dengan cepat, efektif dan efisien.
Di zaman kekinian, ketika semua orang lebih menyukai sesuatu yang instan, tak perlu berpikir, tak perlu analisis, tak perlu banyak keribetan dan kesulitan, juga tak perlu ada makna atau pesan sama sekali, terpenting bisa terhibur, mungkin menangis, mungkin tertawa, mungkin ingat Tuhan, atau mungkin tetiba muntah. Maka the Stupid Acting Method adalah pilihan yang paling tepat untuk menjadi terkenal.
Yah, untuk menjadi terkenal Anda hanya perlu menjadi tolol. Punya wajah ganteng atau cantik bisa jadi nilai tambah. Bila tidak mampu menjadi ganteng atau cantik, maka sekalian saja jelek. Terpenting harus tolol. Itu regulasi fundamental dari metode akting si Aruk ini.
Bagi Aruk, saat ini adalah waktu yang tepat untuk pencitraan. Dunia membutuhkan pencitraan alias bedak atau bersolek saja. Ibarat transgender di Thailand, cantiknya luar biasa. Bahkan banyak wanita di dunia yang mengakui kecantikannya. Urusan apa sebenarnya di "bagian dalam" itu bukan hal yang penting lagi.
Ekstase teknologi, salah satu kekurangan dari berkembang pesatnya teknologi. Seseorang bisa berbicara sambil bertatap muka dengan seseorang yang lain dalam jarak ribuan kilometer. Dampaknya, pencitraan telah menjadi budaya.
Kata Aruk, "Tak perlu jadi pintar yang penting bisa terlihat pintar, tak perlu jadi bijak yang penting bisa terlihat bijak." Yah, di saat ini orang-orang telah kehilangan esensi, yang penting adalah eksistensi. Padahal, mengutip Sartre, esensi datang terlebih dulu ketimbang eksistensi.
Sesuatu yang kita sebut nilai, bisa dibias dengan pencitraan yang semu. Benar kata Aruk, di hari ini, tidak perlu Anda menjamah banyak buku, belajar ke sana kemari, atau latihan setiap hari. Anda hanya perlu mengutip satu kalimat terkenal dari seorang filsuf, maka Anda akan "terlihat pintar dan bijak".
Kebiasaan terbaru di negeri kita adalah menjadikan seseorang yang tak bijak menjadi "terlihat" bijak. Seseorang yang tak pintar menjadi "terlihat" pintar. Makanya, ada seorang penyanyi hiphop yang sebenarnya masih belum "duduk" mengawinkan antara lirik dan beat (hal yang fundamental dalam hiphop) tapi malah bicara di bidang yang ia bahkan tak kuasai sama sekali, kesehatan misalnya. Ia penyanyi yang tak cakap bernyanyi, malah bicara di bidang lain yang bukan hal yang ia ketahui. Apakah itu berarti sedang "menololkan" diri sendiri dan orang lain?
Terlalu banyak pencitraan yang dijual di televisi. Mulai dari air mata, tawa semu sampai Tuhan ikut dijual di mana-mana. Aruk sebenarnya sedang menertawakan dan mengkritik itu. Semua yang sudah terlalu lama menjadi kebiasaan, akhirnya telah menjadi budaya baru di negeri ini.
Lalu muncul kesimpulan, bahwa sebenarnya The Stupid Acting Method sebenarnya bukanlah ciptaan Aruk. Tapi realita yang hadir di tengah masyarakat. Aruk hanya menarik deduksi sebagai respon terhadap apa yang ia lihat di lingkungan sekitarnya.
"Ingin menjadi aktris atau aktor di sinetron dan menjadi terkenal? Maka Anda harus rupawan meski tolol! Peduli amat dengan kemampuan akting dan pengetahuan tentang akting."
Saya teringat kembali pesan sutradara pertunjukan ini pada saya, jadilah seperti manusia yang sebenarnya. Manusia yang paham dan tahu apa tujuan penciptaan dirinya. Manusia yang dekat dengan pusat nilai, dan tidak hanya mengonsumsi luarnya saja.
Aruk menjadi cara untuk mengejawantahkan pesan-pesan itu. Mungkin kurang lebih begini, apabila hidup hanya untuk kesenangan, perut dan nafsu, maka apa bedanya manusia dengan spesies lainnya di bumi ini?