Advertisement
Teater adalah Kerja Kolektif |
PojokSeni.com - Seniman teater akan menyepakati bahwa seni teater merupakan sebuah kerja kolektif. Sebuah pementasan teater akan melibatkan banyak orang, bahkan dari berbagai disiplin ilmu berbeda. Mereka menggaet ahli tata rias, ahli busana, ahli lampu dan kelistrikan, ahli pertukangan, ahli manajemen dan bisnis, di samping membawa ahli di bidang teater.
Lampu-lampu yang menyirami panggung dengan cahaya adalah hasil kerja orang-orang yang paham di bidang kelistrikan, pencahayaan dan sebagainya. Begitu pula tata rias yang mewarnai wajah para aktor. Busana yang digunakannya juga buah karya seorang penjahit dan ahli busana yang handal.
Namun, teater Indonesia hingga hari ini selalu merujuk ke nama seseorang. Entah itu sutradara, atau mungkin pendiri grup. Namanya akan disebut berbarengan dengan tepukan tangan lebih meriah, sehabis sebuah pertunjukan.
Maka ketika nama itu menghilang, begitu juga dengan grupnya. Tak banyak grup teater yang masih bertahan dengan nama yang masih besar, sebagaimana ketika "empunya" masih ada.
Berbanding terbalik dengan sistem kerja teater yang kolektif, nama satu orang di dalam satu grup kadang memiliki nilai jual yang lebih tinggi ketimbang grupnya. Bahkan, di banyak kesempatan, orang-orang lebih memilih menyaksikan satu nama berceramah tentang teater, ketimbang menyaksikan pementasan teater yang tidak ada satu nama itu.
Arti Penting Grup Teater
Faktanya, grup teater adalah tempat di mana karya-karya "empunya" tadi menjadi hidup. Teks-teks yang ditulis penulis naskah kenamaan menjadi berbunyi di atas panggung. Lebih dari itu, kerja kolektif tim di balik sebuah pementasan teater juga paling berpengaruh pada tumbuh kembangnya sebuah ekosistem seni di satu daerah bahkan di satu negara.
Eksistensi grup teater memang cukup dipandang, tapi kalah pamor dengan eksistensi satu nama. Seakan-akan, satu nama itu masih jauh lebih berpengaruh pada satu grup teater. Dan seakan-akan, teater adalah kerja perorangan yang "dibantu" banyak orang.
Di tengah kondisi tersebut, Indonesia dihajar pula oleh pandemi yang entah kapan selesainya. Pertunjukan teater mati suri, memindahkannya ke layar kaca atau di-daring-kan tak juga menjawab dan memenuhi hasrat pemain dan penonton teater. Ada satu hal yang hilang, satu hal yang menjadi kekuatan utama teater: interaksi tubuh.
Di tengah eksistensi grup yang kalah pamor dengan satu nama, ancaman pandemi yang memindahkan panggung ke layar digital, sekarang muncul pula wacana untuk memajukan praktik kolaborasi di panggung teater. Dengan memadukan berbagai orang dari lintas disiplin seni seperti sastra, tari, rupa dan musik ke satu pertunjukan teater.
Terdengar indah, tapi sayangnya lagi-lagi pertunjukan itu akan menjadi ancaman baru bagi sebuah grup teater. Dulunya, satu grup teater akan diperkuat oleh personel-personel yang berasal dari berbagai lintas seni. Teater butuh anggota yang memelajari seni rupa untuk memperkuat dekorasi dan properti, butuh pula koreografer untuk memperkuat tari (bila mementaskan teater-tari), juga butuh sastrawan untuk menjadi penulis naskah (dramawan), dan akhirnya butuh musisi untuk penata musik. Tapi mereka tetap dalam kesatuan satu grup, yang berjuang sama-sama untuk menumbuhkan grup mereka.
Bila grup telah mendapatkan kepercayaan, atau katakanlah elektabilitas (seperti di Pemilu), maka grup itu akan mendapatkan banyak penonton, juga mendapatkan banyak proyek tambahan atau sebagainya. Itu penting bagi keberlangsungan sebuah grup, yang akhirnya dapat "menghidupi sekaligus dihidupi" oleh anggotanya sendiri.
Tapi bagaimana bila pertunjukan yang hadir -katakanlah pasca pandemi- merupakan pertunjukan dari "gabungan" individu-individu yang sudah punya nama sendiri-sendiri dari berbagai lintas disiplin?
Balik lagi ke "marwah" teater sebagai ranah kerja kolektif, maka grup teater yang mesti mengambil andil besar dan mendapatkan peluang besar. Bukan individu di dalamnya. Itu (menurut hemat kami) berarti seseorang yang mengambil keuntungan dari kerja kolektif ia dan rekan-rekannya.
Kembali ke hipotesis awal, bisa disimpulkan bahwa premis yang ingin diangkat "teater adalah kerja kolektif, maka grup teater adalah manifestasinya". Grup teater adalah ujung tombak dari regenerasi teater. Grup teater juga menjadi media para seniman teater bereksperimentasi, berlatih, mengkaji dan menciptakan.
Sudah terlalu banyak cobaan menimpa grup teater. Nama-nama seniman teater besar negeri ini, ketika meninggal dunia atau pensiun saja, akan diikuti dengan dekadensi nama grup teaternya.
Maka, supremasi seni teater akan menjadi omong kosong bila yang dimunculkan kembali adalah nama-nama individu. Itu tentu berlawanan dengan semangat teater sebagai ranah kerja kolektif.
Teater yang sebenarnya tidak dalam keadaan beku. Hanya saja, ekosistem sekitarnya yang membeku. Diperparah dengan munculnya egoisme dari setiap individu.