Advertisement
PojokSeni.com - Humor slapstick, alias humor yang melibatkan fisik (kadang-kadang disebut pula humor kasar) nyaris menjadi kekuatan untuk mengocok perut oleh para pelawak Indonesia. Lawak seperti ini sudah sejak dulu setidaknya sejauh yang bisa ditarik ketika almarhum Benyamin S masih menjual slapstick yang kadang begitu kasar.
Paling "ringan" adalah penghinaan yang dibalut komedi pada fisik, sedangkan yang berat bisa berupa pukulan, atau aksi fisik lainnya. Tentu Anda ingat di tampilan lawak Srimulat ada seorang pemain yang terjatuh, tertimpa, tersiram air dan sebagainya, bukan?
Humor slapstick di Indonesia menjadi begitu ternama ketika Warkop DKI merajai televisi dan layar perak. Tentu saja, almarhum Dono dengan giginya yang "sedikit" maju menjadi bulan-bulanan duo pentolan DKI lainnya, Kasino dan Indro.
Sebenarnya, anggota Warkop DKI ada 4 orang, seorang yang lainnya Nanu yang di awal sempat muncul dengan logat bataknya. Lengkap dengan nama "Poltak". Nanu meninggal terlebih dulu di tahun 80-an meninggalkan formasi DKI menjadi trio.
Bicara tentang Nanu tadi, di film pertama tentu para pecinta Warkop DKI akan ingat bagaimana Nanu mengatakan wajah Dono seperti bemo. Dan hinaan-hinaan semacam itu selalu hadir dalam setiap filmnya, dua orang akan habis-habisan "menghajar" satu orang "korban".
Nyatanya, sebagai grup yang sukses, metode humor Warkop DKI menurun pada generasi-generasi selanjutnya. Muncul 3 orang membentuk trio lawak, dan pasti salah satu di antara mereka adalah korban. Fisik, terutama tubuh dan wajah, akan menjadi korban "perudungan" habis-habisan. Dan itu menjadi pemicu ledakan tawa penontonnya.
Di generasi yang berikutnya misalnya, muncul Patrio yang menghadirkan Akri, Parto dan Eko. Dari tiga orang ini, Parto biasanya yang menjadi sasaran. Beruntung secara fisik ketiganya tidak ada yang bisa begitu parah dibully seperti almarhum Dono.
Tapi berbeda dengan penerus mereka, yakni trio Wendi, Narji dan Denny dalam grup bernama Cagur. Nardji dengan bentuk fisiknya selalu menjadi incaran dua personel lainnya mencari bahan lawakan. Tentunya, seperti Warkop DKI, humor slapstick sangat kental melekat pada grup satu ini.
Formasi 3 pelawak dengan 1 korban, terus bermunculan sampai beberapa dekade setelah itu. Muncul grup seperti SOS yang menenarkan nama Sule dan beberapa grup lain yang setipe, juga sama-sama jebolan pencarian bakat di televisi. Bahkan tanpa metode trio, ada juga pelawak yang sendirian, seperti almarhum Olga Syaputra misalnya, begitu kental dengan lawakan jenis ini.
Lantas, kenapa komedi yang kasar dan kerap mengarah ke fisik ini begitu laris?
Yah, begitulah selera kebanyakan orang Indonesia. Televisi dan layar perak tentunya hanya mengikuti mana yang paling banyak menjadi selera pasar. Dan sialnya, komedi slapstick di era itu, bahkan mungkin hingga saat ini, selalu menjadi tontonan yang paling digemari.