Advertisement
PojokSeni.com - Di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga jarak dan berdiam diri dirumah, Komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang kembali menggelar kegiatan Bicara Seni dengan format Sharing Session Fotografi dengan tema “Beyond the Photograph” dan Creative Class Fotografi, melalui aplikasi Zoom Meeting.
Sharing Session Fotografi adalah forum bincang-bincang komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang yang bertujuan untuk mengembangkan wacana kritis tentang seni fotografi, sedangkan Creative Class adalah sebuah ruang diskusi tentang projek kreatif fotografi. Rangkaian kegiatan Bicara Seni kali ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut pada tanggal 25-26 April 2020.
Sharing Session Hari Pertama (Sabtu, 25/7/2020)
Pada hari pertama (Senin, 20/4/2020), Ruang Tumbuh menghadirkan dua narasumber. Pertama, Baskara Puraga Somantri, seorang fotografer lepas, editor buku foto dan wiraswasta yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
Kedua, Septi Maulina, seorang fotografer yang saat ini bekerja sebagai Officer & Photographer di RAWS Syndicate (include: RAWS SNDC Publishing, Perpustakaan Fotografi Keliling) dan salah satu staff team Branding n Comm sebagi fotografer lepas di perusahaan yang ada di Bandung. Kegiatan diskusi dipandu oleh Cindy CGJ, seorang fotografer sekaligus penanggung jawab branding Ruang Tumbuh.
Acara berlangsung pukul 20.00-22.00 WIB. Baskara Puraga Somantri berkenalan dengan fotografi sejak 2008 dan pernah menjadi fotografer komersial sampai akhirnya memutuskan memilih berhenti dan menggunakan fotografi sebagai medium menyampaikan ide dan pesan, serta bekerja penuh sebagai editor dan desainer buku foto. Sejak 2015 terlibat dalam berbagai komunitas dan lokakarya fotografi. Mendirikan Red Raws Center pada 2018 sebagai ruang bersama bagi komunitas fotografi, yang didalamnya meliputi toko buku foto, galeri, dan tempat untuk loka karya.
Raws Center berdiri pada tanggal 19 Juli 2018, sampai sekarang sudah ada 6 angkatan. Raws Center berlokasi di pasar Atik Cikapundung, Bandung. Lokasi pasar dipilih dengan pertimbangan suasananya tidak kaku, dan agar siapapun yang mengikuti kelas tidak merasa terpenjara akan materi. Hasil akhir dari kelas ini seperti melakukan riset, pameran, membuat photo book dan membuat art book pada salah satu bagian dinding pasar yang disulap menjadi galeri sederhana untuk pameran, galeri itu sudah 2 kali dipakai untuk kegiatan pameran dan untuk jenis karya tidak ditentukan karena latar belakang setiap peserta berbeda-beda.
Kegiatan lain dan bisa dibilang cukup rutin dilakukan oleh Raws Center yaitu melakukan ekstrakulikuler cetak foto hitam putih, mengajak anak anak yang suka fotografi untuk bergabung serta memperkenalkan sedikit banyaknya tentang narasi dalam fotografi dan mengajarkan tentang photobook. Selain itu, setiap hari Selasa ada acara yang bernama Selasa Baca. Koleksi photobook di bawa berkeliling kemana saja seolah olah seperti perpustakaan dadakan. Raws Center memilih 1 buku lalu di bahas bersama.
Tahun 2019 Septi Maulina bergabung ke dalam Raws SNDCT yang awalnya hanya sebagai admin. Septi menceritakan bagaimana orang umumnya masih menganggap photobook hanyalah sebuah album foto kenangan saja, padahal photobook adalah sebuah karya seni berbentuk buku yang berisikan foto foto yang menampilkan pesan dan alur yang saling berkaitan, didesain dan dilayout terlebih dahulu kemudia dicetak dan dibentuk menjadi buku. Karya Aku Si Kotak Besi itu adalah sebuah lift di pasar Antic Cikapundung terdapat 2 lift, dimana 1 lift untuk akses kelantai 2 sedangkan 1 lagi untuk akses ke lantai 3. Alasan lift yang di ambil sebagai projek karena awalnya tidak kepikiran untuk memotret lift sebelumnya hanya ingin melihat siapa saja yang datang ke pasar Antik.
"Saya tertarik ketika orang yang keluar masuk lift dan berdiam di lift setiap hari yang menjadi salah satu alat transportasi yang ada di pasar Antik Cikapundung. Menggunakan teknik blur pada karya ini dengan tujuan ingin menyampaikan pesan dan menggambarkan keadaan pasar Antik yang acak kadul," kata dia.
Selain itu apapun bisa masuk ke dalam lift dalam teknik dan kita harus bisa menyampaikan pesan yang tepat kepada penikmat foto. Tips membuat photobook, yaitu dengan menyiapkan ide terlebih dahulu, apa yang mau di angkat sebagai projek foto. Setelah itu editing, maksud dari editing bukan mengedit foto tapi memilih foto yang sesuai dengan ide yang kita angkat, merancang layout-nya, seperti apa material kertasnya sesuai dengan projek. Selain itu cari teman yang satu paham dengan kita dan mengerti dengan yang kita tidak mengerti.
"Patikan buku yang dihasilkan mau seperti apa. Narasi yang ingin di sampaikan sepeti apa. Kebanyakan karya seorang fotografer berakhr pada pameran dan disimpan di laptop. Dengan cara merancang buku foto ini membuat karya tersusun rapi menjadi karya seni yang memiliki alur yang menarik," tambah Septi Maulina.
Sharing Session Hari Kedua (Minggu, 26/7/2020)
Pada hari kedua (Minggu 26/7/2020), yang menjadi pembicara adalah Willy Kurniawan, seorang Visual Journalist asal Sumatera Barat. Acara ini dipandu oleh Arif Rahman yang juga seorang fotografer muda sekaligus Koordinator Riset Ruang Tumbuh. Acara dilakukan via zoom-meeting dan berlangsung pukul 20.00-22.00 WIB. Willy Kurniawan dibesarkan di Pulau Bintan, kemudian pindah ke Bandung untuk menempuh pendidikan tinggi. Saat ini Willy adalah Staff Visual Journalist untuk Kantor Berita Reuter, yang meliputi berita umum, isu politik, ekonomi, bencana, lingkungan, olaraga dan lain sebagainya, tetapi ia memfokuskan diri pada isu sosial. Salah salah karya foto jurnalistik Willy tentang aksi demontrasi di Hongkong terpilih sebagai salah satu pemenang penghargaan Pulitzer 2020 untuk kategori Breaking News Photography. Karya-karya foto jurnalistiknya telah diterbitkan diseluruh dunia dan digunakan oleh kantor berita Internasional utama seperti The New York Times, The Washington Past, Vice, dan The Guardian.
Willy Kurniawan bercerita bagaimana pengalamannya selama menjadi seorang jurnalis foto yang terjun langsung ke lapangan untuk meliput dan tentu tidak serta merta mendapat respon baik bahkan ia juga sempat mendapat penolakan saat ingin meliput “kerja jurnalistik yah seperti itu, karena yang kita liput akan dikonsumsi oleh publik, jika yang kita liput mendapat penolakan maka harus kita hargai” ujar Willy Kurniawan.
Ia tidak hanya meliput hal-hal yang berbau isu sosial tapi juga meliput tentang ekonomi, bisnis, politik, dan airline. Willy Kurniawan mengatakan sebenarnya ia tidak suka meliput hal yang berbau politik, tapi ia tetap harus bertanggung jawab atas tugas yang diberi, karena jika saya menganggap tugas ini sebagai beban maka akan menjadi beban, tapi jika saya melihatnya sebagai pembelajaran maka ada isi yang bisa saya ambil.
Menjadi seorang jurnalis foto ada banyak hal yang harus dipersiapkan seperti alat yang harus dipersiapakan dan yang paling penting yaitu mencari visual referensi karena hal ini akan mendukung nilai dari foto yang diliput. “Ketika kita ingin membuat foto bagus maka kita harus melihat foto bagus juga” ujarWilly Kurniawan.
Sesi yang dipandu oleh moderator Arif Rahman semakin menarik ditambah dengan adanya diskusi tentang hal yang masih hangat di kalangan masyarakat yaitu tentang viralnya sebuah foto dari pasien yang telah meninggal karena Covid19. Masyarakat menilai bahwa foto yang diunggah oleh akun Instagram Josua ini adalah Hoax terlebih lagi masyarakat menilai bagaimana bisa seorang jurnalis dipersilahkan masuk keruangan sedangkan keluarga korban sendiri dilarang masuk? Hal ini yang membuat masyarakat semakin bingung. Willy Kurniawan mengatakan “Sesuatu yang sudah diterbitkan terlebih sumber publikasi sudah berskala besar dan sudah disiarkan di media besar maka hal itu bukan hoax lagi, karena sudah dipertanggungjawabkan. Terlepas dari itu seorang jurnalis sudah tentu melakukan riset terlebih dahulu sebelum terjun kelapangan”.
Ia menambahkan bahwa melakukan tugas jurnalistik kita dihadapkan pada dilemma antara tugas dan keselamatan diri apalagi di situasi sekarang di mana tingkat kewaspadaan tentu meningkat di tengah peliputan.
Dalam sesi ini Willy juga bercerita bagaimana pengalamannya saat meliput demo yang ada di Hongkong dan kemudiannya salah satu fotonya mendapat penghargaan Pulitzer 2020 untuk kategori Breaking News Photography atas nama kantor berita Reuter. Willy dan rekan kerja lainnya meliput demo yang sedang terjadi dan mereka menetap disana selama 1 minggu. Memotret daily life sebelum dilakukanya demo menjadi fokus utama Willy karena masyarakat perlu tahu bagaimana keadaan disana sesaat sebelum demo dilakukan. Willy juga menambahkan sebelum ia meliput aksi demo ia harus mengikuti training seperti halnya pembekalan yang berhubungan dengan demo karena kita harus tahu bagaimana akses kesana, alat pelindung seperti apa yang dibutuhkan dan lainnya.
Akhir acara Willy Kurniawan menyampaikan pesan “Lakukan hal yang membuat kita senang maka kita akan totalitas dalam mengerjakannya, Perbanyak portofolio, perbanyak diskusi susun target tentang hal apa yang ingin dicapai dan tentu tetap rileks dan manfaatkan waktu untuk melakukan riset”. Willy juga menambahkan pentingnya bahasa Inggris sebagao modal untuk masuk ke pergaulan internasional.
Creative Class, Hari Ketiga (Senin, 27/7/2020)
Pada hari ketiga (Senin, 27/7/2020), yang menjadi pembicara adalah Tomi Saputra, Tomi Saputra adalah seorang fotografer, penulis dan podcasters. Menekuni fotografi berawal dari kamera telepon seluler dengan OS Symbion dan Tomi Saputra juga meraih Awards 2016/ EyeEm Award Finalist: The Photojournalism. Tomi telah merilis sejumlah karyanya dalam bentuk photozine, photobook, postcard dan e-book. Acara diskusi dipandu oleh Wahyudha Herman, mahasiswa Televisi & Film ISI Padangpanjang yang juga merupakan korrdinator Humas Ruang Tumbuh.
Acara dilakukan via zoom-meeting dan berlangsung pukul 20.00-22.00 WIB. Acara Creative Class yang diadakan oleh Ruang Tumbuh bersama Tomi Saputra bertujuan untuk membicarakan secara khusus bagaimana seorang fotografer melakukan sebuah personal projek fotografi. Uda Tomi memaparkan bagaimana ia menuangkan keresahannya ke dalam sebuah projek foto dan bagaimana idenya berawal dari hal-hal yang sederhana, tentang kehidupan sehari-hari, hal yang paling dekat dengan diri kita yang kemudian muncul ide untuk menuangkannya ke dalam karya foto. Tomi Saputra juga memberikan tips bagaimana menulis statement/deskripsi pada foto. Ia mengatakan hal terpenting yang harus diketahui saat menulis deskripsi adalah kata kunci dari foto itu sendiri, tidak perlu terlalu detail/panjang agar penikmat karya lebih ingin mencari tahu projek apa yang dikerjakan pengkarya.
Hindari menekankan pendapat kepada penikmat sehingga tidak ada ruang untuk untuk diskusi /kritik karena sang pengkarya membuat suatu deskripsi secara panjang.
Perjalanan Tomi Saputra dalam meraih Awards 2016/EyeEm Award Finalist: The Photojournalism, awalnya bermula ketika ia secara iseng mengirim foto yang sebelumya telah ditolak oleh editor tempat ia bekerja dengan alasan bahwa foto yang diliputnya sama sekali tidak menunjukan suasana kebakaran karena tidak adanya api yang menyala, yang ada hanya puing-puing bangunan dan masyarakat yang masih ada di tempat kejadian.
Setelah mengirim file foto yang ditolak ini Tomi Saputra sangat kaget karena ia masuk dalam top 100 IME, hal yang baginya sulit dipercaya. Ia sendiri sempat ragu akan kebenaran berita tersebut dan sebulan kemudia foto tersebut dipamerkan tapi sayang Tomi Saputra pada saat itu tidak dapat pergi karena masalah finansial. Setelah mengikuti Creative Class, diharapkan setiap peserta melakukan personal project sendiri yang nanti akan dipublikasikan di akun IG Ruang Tumbuh pada Hari Fotografi Internasional pada 19 Agustus mendatang.
Padangpanjang, 14 Agustus 2020
Kegiatan Sharing Session Ruang Tumbuh
Ketua Pelaksana: Yogi Afria
Direktur: Roza Muliati
Humas Ruang Tumbuh: Wahyudha Herman, Naomi Silalahi, Oki Satria
Instagram:ruangtumbuhpp