Advertisement
Mendiang Chairil berkata lewat Derai Derai Cemara, bahwa "Hidup hanya menunda kekalahan". Ia bahkan menegaskan bahwa tak akan ada yang terucapkan, sebelum akhirnya kita menyerah.
Tak ada yang lebih pesimis dari orang yang mengira hidupnya hanya menunda kekalahan, bukan? Tidakkah kita tahu bahwa Chairil di hati kita telah menang. Ia meninggalkan nama besar ketika berpulang.
Tapi kenapa Chairil mengatakan bahwa hidupnya yang hanya 27 tahun merasa bahwa waktu sependek itu digunakan untuk menunda-nunda kekalahan? Apa yang terpikir oleh sang binatang jalang?
Bila puisi-puisi lainnya mempertegas dan mempertebal semangat bertempur mengusir penjajah, namun puisi yang terkenal dengan kalimat "Hidup hanya menunda kekalahan" menjadi salah satu di antara puisi terakhir yang ditulisnya di tahun 1949.
Ada yang berkata bahwa puisi itu adalah salah satu bentuk penyerahan diri pada Tuhan. Fakta bahwa puisi itu ditulisnya ketika ia sedang berbaring lemah di rumah sakit dijadikan dasar deduksi itu bagi banyak orang.
Tapi lupakah orang-orang itu bahwa ia sudah menyadari bahwa hari telah begitu kelam, terasa akan malam. Suasana hening dengan bebunyian cemara yang menderai, serta dahan yang merapuh dipukul angin yang terpendam?
Ia sudah dewasa saat itu, 27 tahun, tapi bukan usia yang dewasa untuk melewati "malam". Saat itu yang ia terpikir bahwa sampai akhirnya ia menyerah, ada yang tetap tak dikatakannya. Ia hanya menegaskan lewat tinta, bahwa hidup ini adalah kesia-siaan. Kekalahan akan datang, itu pasti.
Kematian adalah kekalahan, maka hidup adalah penundaan terhadap kekalahan. Pandangan yang begitu pesimistik, mengingatkan kita pada Samuel Beckett yang justru baru memulai debut ketika Chairil telah berpulang beberapa tahun.
Ketika Beckett serta para penganut pesimisme akut baru saja memulai debutnya, Chairil telah terlebih dulu memaparkan pandangan pesimismenya. Ia mengatakannya dengan tenaga-tenaga terakhir, nafas-nafas terakhirnya, dengan berani.
Antitesis dari semangat hidupnya yang berapi-api pada puisi Aku. Ketika ia berteriak di larik "aku mau hidup seribu tahun lagi". Maka, apakah ada pertanyaan di dalam dirinya? Bagaimana sebenarnya bila aku hidup seribu tahun lagi? Seribu tahun penundaan terhadap kekalahan yang lain?
Ah, ingatkah kita ketika ia sudah sejak tahun 1946 menampakkan gejolak seorang yang putus asa dalam Cintaku Jauh di Pulau? Kekalahan, kematian, kehilangan dan kecemasan berputar-putar di antara cinta yang terpisah pulau. Chairil yang awalnya menganggap perahunya begitu melancar, dan cuaca begitu cerah hingga bulan memancar. Tapi akhirnya, sang ajal bertahta sambil berkata, tujukan perahumu itu ke pangkuanku saja!
Begitu indah di awalnya, ialah sebuah harapan. Namun akhirnya, yang ditemukan adalah sebuah ketiadaan. Sebuah kesia-siaan. Sebuah kekalahan.