Advertisement
oleh: Roza Muliati* |
Di tengah pandemik covid-19,
sebuah pesan dari perayaan Hari Tari Dunia yang ditulis oleh Gregory Vuyani
Maqoma menarik untuk disimak, “We
are living through unimaginable tragedies, in a time that I could best describe
as the post-human era. More than ever, we need to dance with purpose, to remind
the world that humanity still exists”. Pesan yang disampaikan ke seluruh
Aliansi Tari Dunia (World Dance Alliance)
ini menyerukan sebuah perubahan paradigma dalam memaknai tari di tengah situasi
pandemic. Kita tengah memasuki era post-human,
masa di mana manusia dihadapkan pada musuh yang hampir tak terlihat namun bisa
memporak-porandakan kehidupan dan peradaban.
Tanggal 29 April lalu, semua seniman
tari dunia merayakan Hari Tari Dunia dengan cara yang berbeda. Jika sebelumnya
perayaan diwarnai oleh pelbagai festival, parade, dan forum-forum diskusi yang riuh
dan dihadiri oleh banyak orang, tahun ini semuanya berubah.
Pandemik Covid-19
memaksa kita mengisolasi diri di rumah, jauh dari hiruk-pikuk pertunjukan dan
festival. Disinilah pesan dari Gregory Maqoma menjadi penting disimak. Sudah
saatnya kita memperingati Hari Tari untuk mengingatkan dunia bahwa kemanusiaan
masih ada.
Komunitas Ruang Tumbuh
Padangpanjang yang bergerak di bidang riset, penciptaan seni, pemberdayaan, dan
edukasi, memaknai pesan ini dengan menggelar sejumlah kegiatan dalam rangka
perayaan Hari Tari Dunia (World Dance Day) 2020, dengan mengingatkan kembali
pentingnya arti tari bagi kemanusiaan melalui serangkaian acara diskusi yang
menghidupkan kembali wacana kritis tentang tari.
Dengan mengangkat tema “Tubuh
Tari Hari Ini”, Ruang Tumbuh menggelar dua jenis diskusi, yaitu: Sharing Session yang menghadirkan dua
koreografer muda, dan seorang kritikus tari; Master
Class yang menghadirkan tiga tokoh tari Indonesia; dan puncaknya pidato
kebudayaan dari ilmuwan tari Indonesia, Sal Murgiyanto dengan judul Sal
Murgiyanto: Refleksi Kritis Menyambut Hari Tari Dunia 2020.
Tari sebagai Praktik Ketubuhan
Acara Sharing Session yang merupakan forum bincang-bincang dengan dua
koreografer muda, Ayu Permata dan Kurniadi Ilham, serta seorang kritikus tari
Renee Sariwulan menyoal tari sebagai sebuah praktik ketubuhan. Ayu Permata,
seorang koreografer asal Lampung dan moderator Frisdo Ekardo, menghadirkan perspketif
tubuh tari dari seorang koreografer perempuan.
Dengan latar belakangnya sebagai
seorang muslim yang berjilbab tidak mudah bagi Ayu mengambil pilihan hidup di
dunia tari. Pada awalnya ia dihadapkan pada penolakan dari keluarganya sendiri.
Namun kesungguhannya mampu meluluhkan hati mereka hingga kini kepercayaan itu
menjadi motivasi baginya untuk terus menari dan berkarya. Ayu dikenal sebagai
koreografer yang disiplin dan keras, “jangan harap bisa menjadi penari dan
koreografer yang baik jika tidak disiplin dan keras terhadap diri sendiri untuk
berlatih dan belajar” ujarnya. Dengan tari, Ayu belajar bergerak dengan hati,
dengan kejujuran, seperti disampaikannya dalam salah satu karya, Tubuh Dangdut (2009). Ayu juga
menambahkan bagaimana tari mengajarinya mengenal kembali tubuh dan dirinya
sendiri.
Sementara bincang-bincang dengan Kurniadi
Ilham, seorang penari dan koreografer dari nagari Paninggahan, Sumatera Barat yang
dipandu oleh Yogi Afria, menghadirkan diskusi tentang tubuh silat. Ilham yang
juga seorang pesilat, banyak terinspirasi oleh tubuh silat. Silat baginya tidak
saja persoalan bela diri tapi silat adalah juga pengendalian diri. Tubuh silat
inilah yang kemudian ia hadirkan ke dalam salah satu karyanya Tanangan (2019) yang menampilkan
penari-penari yang berjalan di atas bilah bambu dengan kewaspadaan dan
pengedalian tubuh yang luar biasa.
Selanjutnya, Renee Sariwulan, seorang
antropolog dan kritikus tari yang menutup Sharing
Session hari terakhir yang dipandu Wahyudha Herman sebagai moderator, mengupas
banyak hal menarik dibalik tubuh tari. Renee lebih tertarik membongkar praktik
eksplorasi tubuh dalam proses kreatif penciptaan tubuh baru yang berbeda dari
tubuh-tubuh tradisi. Renee juga menyoal bagaimana tradisi dibaca kembali oleh
koreografer ke dalam karya-karya mereka sehingga tradisi tidak berhenti sebagai
sebuah benda mati, tetapi berlanjut dan dihidupkan kembali ke ruang-ruang
pertunjukan kontemporer.
Refleksi Kritis
Pada program Master Class, perbincangan tentang tari bersama tiga tokoh tari
Indonesia, mengupas lebih dalam tentang tari sebagai sebuah jalan hidup. Bincang-bincang dengan Ery Mefri, seorang
tokoh tari yang berasal dari Sumatera Barat dan dipandu oleh Roza Muliati,
menghadirkan diskusi menarik tentang proses kreatif dan pikiran-pikiran kritis
Ery Mefri. Ery Mefri bersama kelompok tarinya Nan Jombang, melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi di dalam
karya-karyanya. Dalam Rantau Berbisik ia menggugat tradisi
merantau pada masyarakat Minangkabau melalui tubuh yang menghidupkan kembali
tradisi randai yang memadukan unsur
tari, sastra lisan (kaba), dan musik.
Ery menjelaskan bahwa ia membaca ulang tradisi dengan menggali ke dalam
tubuhnya sendiri karena setiap tubuh manusia menurutnya sudah membawa tubuh
tradisinya masing-masing.
Ery menambahkan bahwa, “mengikuti proses dan
menjalaninya tanpa henti adalah kunci melatih tubuh agar selalu menemukan hal
baru dalam tubuh tradisi pada setiap individu.” Dalam hal ini, proses menurutnya
menjadi penting, “seorang seniman jangan pernah berhenti atau cepat puas pada
satu proses, tetapi lakukan pencarian melalui proses. Terakhir, Ery Mefri
menyampaikan dalam berkesenian kita dapat berguru kepada siapa saja namun
jangan melupakan jasa seorang guru, sekecil apapun kontribusinya.
Bincang-bincang dengan Rianto
yang berasal dari Banyumas dan dipandu oleh Sherli Novalinda, mengungkap cara
lain membaca ulang tradisi. Rianto awalnya dikenal sebagai seorang penari lengger. Lengger atau disebut juga ronggeng
adalah kesenian tradisional Banyumas. Tubuh lengger sendiri adalah perpaduan antara
tubuh yang maskulin dan feminim. Menjadi penari lengger menurutnya bukanlah
pilihannya tetapi tarilah yang memilih dirinya, sebuah hal yang menurutnya di
luar dari kendalinya.
Di dalam dalah
satu karyanya Soft Machine (2016)
berkolaborasi dengan Choi Ka Fai (Singapura), Rianto menghadirkan tubuh yang
berbicara lebih lembut dari sebuah mesin. Ide tersebut ia sampaikan melalui
tubuh lengger dalam bentuk tradisi
sekaligus kontemporer. Tubuh tradisi sendiri baginya adalah spirit karya
kontemporer. Rianto menjabarkan bahwa tradisional maupun kontemporer ataupun
istilah lainnya hanyalah sebuah penyebutan. Pada dasarnya tradisi atau
kontemporer itu adalah tubuh itu sendiri, walau sudah dikembangkan ke dalam
bentuk baru sekalipun.
Sementara Hartati yang diundang
pada Master Class hari terakhir
(28/4) dipandu oleh Roza Muliati,
menceritakan kembali tentang arti tari sebagai jalan hidupnya. Hartati merupakan
murid dari Gusmiati Suid dan turut membesarkan kelompok tari yang didirikan
oleh Gusmiati Suid, Gumarang Sakti Dance
Company di era tahun 1980-1990-an. Banyak hal dari Gusmiati yang
dipelajarinya, khususnya tentang silat. Silat bukan hanya persoalan gerak tapi ada
hal lain yang jauh lebih esensial yakni sikap dan karakter, kewaspadaan, kepekaan
terhadap ruang dan kepekaan terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar
kita.
Esensi silat inilah yang kemudian ia hadirkan kembali ke dalam
karya-karyanya yang menembus sekat-sekat tubuh tradisi dan non tradisi seperti ia
hadirkan ke dalam beberapa karyanya seperti Serpihan
Jejak Tubuh (2012) dan Wajah (2013)
yang menghadirkan perpaduan tubuh silat, balet, dan yoga. Hartati juga
menceritakan pengalaman lintas kultural yang ia alami sebagai penari dan
koreografer ketika berguru kepada sejumlah tokoh-tokoh tari seperti Sardono W
Koesumo, Tom Ibnur, Retno Maruti, Farida Utoyo, dan banyak tokoh tari lainnya. Pengalaman
ulang alik tubuh inilah yang kemudian membuatnya tidak lagi mempersoalkan
bentuk, sebab bentuk lahir karena ada kebutuhan untuk menyampaikan suatu ide
atau gagasan.
Sal Murgiyanto yang menutup
gelaran perayaan Hari Tari Dunia oleh komunitas Ruang Tumbuh, menghadirkan
refleksi kritis menyambut hari tari dunia 2020.
Dalam refleksi kritisnya, Pak Sal secara lugas bicara tentang arti tari sebagai
jalan hidupnya. Dengan mengutip dua mahasiswanya (Casey Avaunt dan Lin Yuchen),
Pak Sal bicara tentang tari sebagai kendaraan baginya untuk mengenal diri sendiri.
Pak Sal juga menyinggung praktek tari di Indonesia yang lebih menekankan pada olah
tubuh dan menepikan olah rasa dan olah pikir.
Dibutuhkan kemampuan berpikir yang meliputi kemampuan melakukan
refleksi, berpikir kritis, dan menyarikan esensi. Di sisi lain, Pak Sal juga
mengingatkan bahaya narsisisme bagi penari dan penata tari muda yang berujung
pamer diri dan terjebak dalam paradigma tari sebagai craft. Pak Sal menyimpulkan hidup sebagai sebuah perjalanan, dan
melalui tari ia belajar mengenali dirinya dan dunia sebagai langkah menjalani
dan memahami hidup. Terakhir, jalan tari yang telah dipilihnya akan membawanya
kembali ke asal, kepada Sang Pencipta.
Penutup
Perayaan Hari Tari Dunia yang
digelar oleh komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang mengingatkan kembali arti
penting tari bagi kemanusiaan. Tubuh tari hari ini tidak saja dimaknai sebagai
praktik ketubuhan yang menembus sekat-sekat perbedaan tetapi lebih dari itu,
tari adalah refleksi kritis dalam memaknai hidup itu sendiri. Tubuh tari hari ini mungkin akan lebih banyak
hadir di ruang-ruang virtual melalui teknologi digital. Namun arti penting tari
sesungguhnya terletak pada pesan-pesan kemanusiaan yang disampaikan.
Di masa pandemik,
tari memiliki daya untuk menyampaikan pesan kepada dunia tentang nilai-nilai
cinta kasih, kepedulian kepada sesama, dan spiritualitas. Namun yang tak kalah
penting, tari adalah perjalanan menemukan diri sendiri karena sejatinya tari adalah
milik tubuh itu sendiri, sebagaimana dikemukakan Chandralekha, seorang
koreografer India, “….dance doesn’t
belong to the temple or to the court or even to one’s country. It must go back
to the people, to the body.”
Roza Muliati
Founder dan
Direktur komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang
Dosen
Institut Seni Indonesia Padangpanjang