Advertisement
pojokseni.com - Setelah sukses melangsungkan kegiatan Sharing Session dan Master Class selama dua minggu berturut-turut, tepat pada puncak Hari Tari Dunia (World Dance Day) tanggal 29 April lalu, Komunitas Ruang Tumbuh Padangpanjang kembali melangsungkan Live (siaran langsung) Instagram yang menyiarkan sambutan Sal Murgiyanto, seorang tokoh tari Indonesia menyambut Hari Tari Dunia 2020.
Dipandu oleh pembawa acara Oki Satria, acara yang mengangkat judul Sal Murgiyanto: Refleksi Kritis menyambut Hari Tari Dunia 2020, menyiarkan Sal Murgiyanto yang membacakan pidato sambutannya dalam bentuk rekaman suara. Sal Murgiyanto sendiri adalah seorang ilmuwan dan kritikus tari Indonesia, kelahiran Solo 27 Desember 1945.
Selepas menamatkan pendidikannya di bidang Performance Studies di New York University, Sal mengabdikan hidupnya untuk pengembangan tari di Indonesia sambil mengajar sebagai dosen tamu di Taipei National University of the Arts. Tahun 2016, Sal Murgiyanto mendapatkan penghargaan Lifetime Achievement dari Indonesian Dance Festival (IDF) karena jasanya untuk tetap merawat dan melestarikan tari di Indonesia.
Sala Murgiyanto juga dikenal sebagai pendiri Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta dan Indonesia Dance Festival. Sejumlah buku yang telah ditulisnya: Ketika Cahaya Merah Memudar (1993), Kritik Tari - Bekal dan Kemampuan Dasar (2002), Tradisi dan Inovasi - Beberapa Masalah Tari di Indonesia (2004), Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat (2015 dan 2016), Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan (2016), alan Tari Pak Sal (2016), Sal Murgiyanto: Hidup untuk Tari (2016), Sal Murgiyanto Membaca Jawa (2017), Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan Edisi Baru (2017).
Dalam “Refleksi Kritis”-nya, Sal Murgiyanto mengajak para seniman tari yang masih muda untuk mengenali diri mereka lebih dalam, isi dunia –Manusia, Semesta dan Yang Maha Kuasa– sebagai dasar menentukan jalan tarinya sendiri. Menurut Sal, “Seni tari bisa membuat kita menemukan diri dan kehilangan diri sekaligus”.
Di awal sambutannya, Sal mengatakan ketika ia diminta berbagi dengan semua tentang makna tari baginya, ia mengatakan “Di usia kepala tujuh, saya bisa menjawabnya segera dan tanpa ragu sekalipun perjalanan untuk sampai ke jawaban tersebut panjang dan berliku. Tari adalah jalan hidup saya”. Berikut adalah sepenggal peryataan Sal Murgiyanto pada rekaman suara tersebut.
Dua mantan mahasiswa saya (Amerika Serikat dan Taiwan) merumuskan apa yang mereka timba dari saya dengan sangat baik.
“Menurut Pak Sal, kita belajar tari untuk memperluas pandangan kita tentang hidup, yang membuat pengalaman yang kita alami menjadi lebih bermakna.” (Casey Avaunt, penari-penata tari).
“Jadi [bagi pak Sal] pada akhirnya, seni pertunjukan hanyalah kendaraan bagi diri kita masing-masing untuk lebih mengenali diri kita sendiri” (Lin Yuchen, seniman-peneliti teater). Casey, (penari-penata tari) dan (Yuchen, praktisi-pemikir teater) memiliki 3 ragam kemampuan berpikir: melakukan refleksi, berpikir kritis dan menyarikan esensi dari pengalaman interaksi belajar dengan seorang guru.
Tiga hal penting dalam praktek berkesenian yang di Indonesia [agak] diterlantarkan. Menurut pengamatan saya di Indonesia sampai kini, persiapan seorang penari lebih ditekankan pada olah tubuh dengan menepikan olah rasa dan [apalagi] olah pikir. Untuk mendapatkan pengakuan sebagai penari yang hebat, penari muda melatih tubuhnya sedemikian rupa agar dapat melakukan gerakan-gerakan akrobatik yang mencengangkan. Keaadaan ini diperparah karena persiapan untuk menjadi penata tari pun lebih menitik beratkan pada “craft,” the objective principles and rules of composition daripada “process,” the subjective motivation and creative mode of working.
Di mana ketrampilan gerak tubuh (movement skills) dan virtuositas mendapatkan ruang yang lapang.
“Apakah hal ini salah?” mungkin ada anak muda yang bertanya. Bukankah gerakan tubuh yang akrobatik itu digemari penonton? Pertanyaannya yang mungkin perlu diubah menjadi “Di mana salahnya?” dan kalo boleh saya balik bertanya, “Penonton mana yang anda maksud?”
Penonton tari yang cerdas dan peka rasa, akan mencoba mencermati isi, pesan atau makna yang hendak diungkap (diekspresikan) melalui karya dan bagaimana isi atau content itu diungkap secara kreatif dan tidak “banal” tetapi khas penata tarinya (expressiveness). Penari patut mengolah tubuhnya menjadi sangat trampil dan virtuoso, tetapi virtuositas gerak itu ditampilkan untuk mendukung terwujudnya karya yang bernas, indah dan menyentuh rasa pemirsa bukan untuk pamer diri pribadi penari.
Karena pernah muda saya bisa memahami hasrat kuat para penari/penata tari muda untuk mengukir prestasi dan mendapat pengakuan masyarakat. Rasa cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan ini dalam psikologi disebut narsisisme yang mesti diatasi dengan hati-hati. Salah mengambil solusi, narsisisme bisa membawa seseorang ke rasa percaya diri berlebih yang mengarah ke kesombongan yang merugikan.
Psikolog Heinz Kohut dari Jerman, menganjurkan 5 cara mengatasi narsisisme dengan cara yang matang dan sehat yakni dengan mentransformasikannya ke dalam tindakan kreatif, empati, kemampuan menerima kematian yang pasti akan datang, humor dan kebijaksanaan.
Ada pernyataan menarik Lin Yuchen yang lain, “Melalui pak Sal saya memulai perjalanan saya untuk bertemu dengan tari kraton Jawa, para pelaku serta pendukungnya, yang membantu saya merasakan sebuah ‘kelahiran’ kembali di dunia.” Benar, saya melihat hidup ini sebagai sebuah perjalanan. Melalui tari saya belajar mengenali diri saya sendiri dan dunia sebagai langkah menjalani dan memahami hidup. Sebagaimana diungkapkan Ralph W. Emmerson, penyair, esais, dan ahli filsafat Amerika, “Life is a journey, not a destination.”
Perjalanan itu sebuah proses yang harus dinikmati demi mematangkan diri dan memahami dunia yang kita huni, bukan semata-mata untuk tujuan praktis meraih hasil. Sebagai orang Jawa, sampai usia kepala lima, keberhasilan perjalanan hidup itu diukur dari capaian seseorang dalam tiga hal: drajat (kedudukan), semat (harta), dan kramat (wibawa/pengaruh). Namun bagi yang suka merawat roh, drajat, semat dan kramat bukanlah jaminan untuk hidup bahagia. Novelis Amerika, Ernest Hemingway menulis, “It is good to have an end to journey toward; but it is the journey that matters, in the end.” Kalau orang Minang mempunyai tradisi merantau, maka orang Jawa mengajarkan “Njajah Desa Milang Kori,” menjelajah wilayah dan menghitung berapa pintu yang telah dimasuki (untuk berguru). Dengan kendaaraan tari saya menjelajah dunia untuk belajar: lebih memahami diri sendiri, dunia dan hidup yang harus aku jalani dan nikmati.
Meminjam ungkapan Albert Einstein, sebagai “the training of the mind to think something that cannot be learned from textbooks.” Akhirnya, saya ingin menutup bincang tari ini dengan mengutip pernyataan filsuf Cina Lao Tzu, “A good traveler has no fixed plans and is not intent on arriving.” Dari lima solusi narsisisme yang ditawarkan Kohut, sebagai seniman saya praktekkan yang pertama (kreativitas), sebagai guru saya melakukan yang ke lima (wisdom) dan kini sebagai seorang wredha saya tengah belajar menekuni pilihan ketiga: berlatih agar mampu dengan bijak menerima kematian yang pasti akan datang.
Jalan Tari yang telah kupilih akan membawaku kembali ke asal: Kasih dan syukur atas berkat yang sudah dianugerahkan Allah sebagaimana diyakini Friedrich Nietzsche, “The essence of all beautiful art, all great art is gratitude.”