Hari Buku dengan Analisis Lirik Lagu Band Indonesia: Zona Nyaman oleh Fourtwnty -->
close
Pojok Seni
23 April 2020, 4/23/2020 08:52:00 PM WIB
Terbaru 2020-04-23T13:52:16Z
SastraUlasan

Hari Buku dengan Analisis Lirik Lagu Band Indonesia: Zona Nyaman oleh Fourtwnty

Advertisement
Band Fourtwnty atau 4.20
PojokSeni.com - Biasanya, hari buku akan diisi oleh dengan review buku. Menjelang bulan Ramadan, penulis bahkan membaca buku yang "relijius" yakni buku berjudul Muhammad sang Penggenggam Hujan (Sebuah Novel Biografi) yang ditulis oleh Tasaro GK. Karya satu ini benar-benar menarik, sehingga penulis memutuskan untuk menahan diri, dan membaca sekali lagi sebelum menuliskan reviewnya.

Lalu, seorang rekan memutar lagu, salah satu lagu yang sedang populer di Indonesia saat ini. Secara musikalitas, lagu ini sangat baik. Notasinya catchy dan easy listening. Rekan penulis menyebut, coba dengarkan liriknya, "nyastra banget", katanya.

Karena itu, saya dengarkan liriknya. Saya mulai menangkap semacam "kejanggalan". Lalu, agar tidak salah tangkap, maka saya cari liriknya di internet. Nah, ketemu, ini liriknya:

Lirik Lagu
"Zona Nyaman"
oleh Fourtwnty

pagi ke pagi, ku terjebak di dalam ambisi
seperti orang - orang berdasi yang gila materi 
rasa bosan membukakan jalan mencari peran, keluarlah dari zona nyaman

sembilu yang dulu biarlah berlalu
bekerja bersama hati 
kita ini insan bukan seekor sapi

sembilu yang dulu biarlah membiru
berkarya bersama hati

waktu ke waktu perlahan kurakit egoku
merangkul orang - orang yang mulai sejiwa denganku
ke - BM - an membuka jalan mencari teman
bergeraklah dari zona nyaman

sembilu yang dulu biarlah berlalu
bekerja bersama hati kita ini insan
bukan seekor sapi

sembilu yang dulu biarlah membiru
berkarya bersama hati

diam dan mati milik dia yang tak bisa berdiri
berdiri diam dan mati milik dia
yang tak bisa berdiri
berdiri di kakinya sendiri

sembilu yang dulu biarlah berlalu
bekerja bersama hati
kita ini insan bukan seekor sapi

sembilu yang dulu biarlah membiru
berkarya bersama hati
kita ini insan bukan seekor sapi
tanamkan pesanku agar tak keliru
bekerja bersama hati

Sayang sekali, karena musikalitasnya tinggi, tapi tak seiring dengan lirik yang baik. Musikalitas tinggi, tapi sayang liriknya cukup payah.

Bagaimana, menangkap kejanggalannya? Kita mulai dari bagian chorus, karena bagian yang ini diulang-ulang sehingga terdengar sebagai kejanggalan pertama.

Kalimatnya dimulai dari :

"Sembilu yang dulu, biarlah berlalu"

Sebentar, ini pasti "makna tersirat"nya adalah, luka atau sesak, atau ketidaknyamanan, ketersiksaan yang dulu, lupakanlah dan biarlah berlalu. Apa betul seperti itu?

Ternyata, ada diksi yang kurang tepat berada di sana. Yah, "sembilu"!

Sembilu adalah alat, tepatnya alat pembuat luka. Ia sama seperti cutter, pisau, silet atau apapunlah lainnya yang sama tajamnya. Tapi, sembilu tidak sama artinya dengan "luka". Sembilu dan pisau adalah alat yang sama-sama bisa membuat luka. Coba cek kalau kita ubah kalimatnya:

"Pisau yang dulu, biarlah berlalu".

Terasa janggalnya? Iya. Karena sembilu adalah alat,  maka makna kalimat tersebut menjadi bukan "luka yang dulu lupakan saja", tapi "alat pembuat luka yang dulu, biarkan berlalu >> mari cari alat pembuat luka yang baru. Logika kalimatnya seperti contoh di bawah ini:

Handphone jadul yang dulu, biarlah berlalu, sekarang zamannya smartphone.

Agar lebih tepat dengan makna yang diinginkan, akan lebih cocok kalimatnya seperti ini:

"Sembilu yang menyiksamu dulu, biarlah berlalu".

Kalimat tersebut berlanjut dengan baris "Bekerja bersama hati". Aduh, dengan kalimat ini, maka penulis lirik menjadikan "hati/perasaan" sebagai "sesuatu yang terpisah" dari "seseorang yang bekerja".

Kenapa? Karena kata "bersama" kurang tepat ada di kalimat itu. Kata yang tepat adalah "dengan". Ingat, "dengan" itu tidak sama dengan "bersama". Meski ada penggunaannya yang sama.

Misalnya:
- Saya pergi bersama adik
- Saya pergi dengan adik

Meski demikian, maknanya masih cukup ada perbedaan. Tapi untuk kalimat "bekerja bersama hati" kata "bersama" di sini ditujukan untuk memiliki arti "menggunakan". Sayang sekali karena kata "bersama" tidak bisa diartikan "menggunakan". Coba lihat contoh kalimat ini:

- Saya memukulnya dengan palu
- Saya memukulnya bersama palu.

Apakah kata "bersama" bisa digunakan untuk menggantikan kata "menggunakan"? Tidak bisa. Sangat tidak bisa.

Kemudian, masih di chorus ada baris berikutnya yakni "Kita ini insan, bukan seekor sapi". Ini juga janggal. Kenapa? Karena "Kita ini" bentuknya jamak, akan menjadi janggal bila dipadankan/disandingkan/diperbandingkan dengan "seekor sapi" yang jelas tunggal. "Kita ini" akan terasa lebih logis bila dipadankan dengan "sekelompok sapi". Tapi sayangnya lagi, yang diperbandingkan dengan sapi adalah "insan".

Insan memang berarti manusia, tapi secara etimologis, insan berarti manusia yang bernyawa dan bersosial. Maka, mayat tidak masuk kategori "insan". Dalam setiap agama, juga ada kategori "insan" tertentu. Nah, karena insan itu berarti manusia dengan sesuatu yang melekat padanya, maka tidak cocok dipadankan dengan "sapi" yang "hanya" termasuk dalam salah satu jenis binatang.

Baris berikutnya di chorus, "sembilu yang dulu, biarlah membiru" dan baris berikutnya lagi "berkarya bersama hati" tentunya memuat masalah yang sama dengan dua kalimat yang setipe/serupa di atas.

Selain Chorus


Kejanggalan kalimat, kalimat yang tidak logis, kesalahan penggunaan kata dan lain-lain juga ditemukan dalam lagu yang populer ini.

Ada juga stereotype yang negatif, seperti kalimat "seperti orang - orang berdasi yang gila materi", maka silogisme yang bisa muncul dari kalimat tersebut adalah "orang-orang berdasi adalah orang yang gila materi" serta "orang yang tidak gila materi adalah orang yang tidak berdasi". Maka "berdasi" berarti "gila materi". Bukankah stereotype seperti itu terlalu berbahaya?

Seperti kalimat ini "merangkul orang-orang yang mulai sejiwa denganku", kata "mulai" kurang tepat ada di kalimat itu. Kata mulai berasosiasi dengan "hal yang belum selesai". Maka, "berkat" kata mulai itu, kalimat itu jadi memiliki arti "aku mendekati orang-orang yang belum sejiwa denganku, tapi baru memulai akan sejiwa". Jadi janggal bukan?

Akan lebih baik, bila "mulai" itu diletakkan di depan, "mulai merangkul orang-orang yang sejiwa denganku". Berarti, proses merangkulnya yang belum selesai, alias baru dimulai. Tapi yang dirangkul memang orang yang sejiwa dengan "aku".

Kesimpulan


Kesalahan tata bahasa, kalimat tidak logis, dan masalah elementer lainnya untuk bahasa prosa, bisa diterima oleh banyak orang. Padahal, Indonesia tengah bergerak untuk meningkatkan kemampuan literasinya.

Apalagi, lagu yang dibahas di atas memiliki musikalitas yang indah dan mengagumkan. Wajar saja bila banyak yang menyukai lagu tersebut. Hanya masalah lirik saja yang sedikit dibahas di atas, semoga bisa menjadi lebih baik.

Mestinya, bila kritik sudah ada bahkan ketika lagunya dilempar ke publik, maka masalah seperti ini tentu tidak akan ditemukan. Terlebih lagi, bila banyak orang yang sepakat dengan "kesalahan" itu, maka "kesalahan" yang diulang-ulang dan disepakati, akan berubah menjadi kebenaran.

Maka, ujung-ujungnya kamus yang mesti mengikuti perubahan tersebut, bukan?  

Ads