Advertisement
Ilustrasi Teater |
Tanpa mengurangi rasa khidmat hari ini yang telah dijadikan Hari Teater Dunia, saya sejak bangun tidur dan berjemur matahari sambil merenungi perjalanan hidupku di teater sejak kukenal tahun 1959 ketika duduk di kelas dua SMP “Bintang Laut” Solo. Lebih dari 50 tahun saya aktif hingga kini tiada henti. Teater telah menjadi kehidupan saya bagai nafas sepanjang hidup.
Tiap tahun memperingati Hatedu selalu yang kurasakan adalah rasa bangga dan prihatin masih mampu berkarya tanpa mengeluhkan keadaan negeri saya. Berkarya teater sudah menjadi pilihan tanpa ada yang menyuruh kenapa harus menyalahkan pihak lain jika kita banyak kesulitan untuk berkarya?
Saya selalu ingat betapa bangsa ini memiliki daya juang untuk merebut kemerdekaannya dari penjajah ratusan tahun. Terasa sekali kita memiliki jiwa “petarung” yang tangguh. Kesadaran inilah yang membuat saya harus bekerja sekuat tenaga memandang kedepan hingga mencapai tujuan.
Bicara soal tujuan saya sering merenung dan bertanya pada diri saya; apakah kini sudah tercapai tujuanmu? Belum; jawab hati kecilku lirih. Maka saya masih harus terus bergerak menuju titik keemasan itu. Namun saya sudah bisa melihat bahkan menikmati sebuah kehidupan teater yang sedang bergerak di tanah air. Hampir tiap hari ada pementasan di kota-kota di Indonesia baik dalam skala kecil hingga besar.
Pertunjukkan dengan gratis tiketnya hingga yang dijual jutaan. Yang tanpa sponsor hingga yang bersponsor besar. Kita bisa baca kabar gembira ini di medsos tiap hari. Lebih sekadar pentas masih banyak juga yang membuat festival atau lomba-lomba pentas teater mulai dari tingkat pelajar hingga umum. Ini sungguh menggembirakan mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru begitu susah payah bisa pentas.
Saya masih ingat ketika tahun 80-an bertemu Farida Syuman, Direktur Gedung Kesenian Jakarta, minta kami pentas di GKJ dan saya jawab, "kan Jakarta banyak grup teater?" Dia jawab Jakarta justru sangat sepi pentas teater apalagi untuk anak anak. Saya terkejut waktu itu dan saya pun pentas di GKJ khusus untuk penonton anak anak. Ini barangkali salah satu keprihatinan saya betapa zaman itu memang sangat tidak mudah berproduksi teater hingga bisa pentas.
Di sekolah belum ada yang berani membuka ekskul teater. Ketika Wahyu Sihombing memulai adakan Festival Teater Remaja tahun 1970-an masih sangat sepi peminatnya karena memang masih awal dan belum eksis kegiatan tersebut. Saya melatih teater Sebul (SMA Sebelas Bulungan) dengan sutradara Saraswaty Sunindyo yang kini Prof di perguruan tinggi di Amerika menjadi guru besar di sana. Yang membanggakan ia lulus FISIP UI dengan skripsinya ambil dari drama Mega Mega Arifin C Noer yang membuatnya tertarik selepas pulang keliling pertama teater keliling.
Demikian pula ketika melatih teater di SMAN 21 juga menjadi sebuah kegiatan di luar sekolah. Latihanpun di lapangan memanah Pulo Mas depan sekolah. Terharu ketika siswa peserta yang cukup banyak jumlahnya lebih dari 15 siswa siswi patungan kumpulkan uang untuk membantu biaya transport saya. Guru pembinanya bidang bahasa Indonesia yang masih status guru honorer. Beliau menangis ketika ikut lomba teater se Jakarta Timur menjadi juara pertama, pemain wanita terbaik, artistik terbaik.
Usaha keras siswa bersama sang guru menghasilkan nilai yang membanggakan. Boleh dikatakan itu semua adalah usaha para siswa dan bukan usaha sekolah mereka. Begitu juga melatih di SMAN tiga yang dimotori dua putri pak Takdir Alisyahbana yang hanya berjalan setahun dan selanjutnya hilang karena memang tak ada dukungan sekolah. Tanpa sekolah mendukung umumnya kegiatan apapun pasti akan kesulitan waktu itu.
Dari keadaan orde baru itu saya belajar untuk hidup yang sabar dan tetap bergerak walau harus lambat karena selalu mencari jalan yang tidak menyakiti siapapun. Bukan berarti tidak peduli pada keadaan politik yang mencekam saat itu. Kritik tetap dilakukan di panggung namun dikemas dalam bahasa yang indah karena seni teater adalah keindahan betapapun kerasnya kritik namun daya sentuhnya tetap dengan kasih sayang sehingga tumbuh kesadaran.
Dari pak Djajakusuma saya banyak belajar ilmu pewayangan khususnya tokoh punokawan yakni Semar Gareng Petruk Bagong. Dewa yang dikirim ke dunia untuk menjadi pembantu para pandawa dan selalu muncul membawa pesan-pesan kemanusiaan dalam gaya komedi situasi yang lucu namun penuh sentuhan kritik yang cukup tajam.
Hatedu tahun 2020 menjadi hari peringatan yang membawa pesan kemanusiaan yang mulia. Bersama wabah Corona mengingatkan bahwa yang namanya bersama dalam kebersamaan perlu kembali dilakukan. Tak perlu penelitian, seminar berhari2 karena keputusan hidup gotong royong harus secepatnya dilakukan. Orang seberang bilang “Now or never”. Pesan untuk semua melakukan jaga jarak, kerja-belajar di rumah, cuci tangan adalah pesan yang mudah diucapkan namun ternyata tidak mudah mendisiplinkan diri untuk itu. Alhasil begitu besar korban kematian harus terjadi.
Renungan Hatedu tahun ini bagi saya sampai pada kesimpulan bahwa ekonomi, politik ternyata tidak sulit diatasi. Justru yang paling sulit rumit dan berat tantangannya adalah yang menyangkut “kultur”. Salah satu contoh dalam keadaan Corona yang mengganas masih saja dengan mudah menyalahkan orang lain atau penguasa berdasar mereka adalah lawan politik. Satu contoh yang sedang melanda bangsa saya di tengah peperangan melawan COVID-19.
Para polisi harus mengawasi dan berusaha menangkap para penebar kebencian dengan berita hoax tentang corona. Saya mohon berhentilah cari kesalahan tapi bantu cari solusi dan jika tidak mampu minimal kirim doa. Ingatlah yang berjibaku di garis depan yakni para dokter dan perawat yang rentan tertular namun tetap siap “mati” menjalankan tugas.
Teater adalah yang bicara dan kini dari rumah isolasi saya karena termasuk barisan lansia saya berteriak nyaring kepada seluruh teman-teman yang masih bergerak di teater ataupun yang sudah perlu pensiun “banggalah bahwa teater Indonesia sedang bangkit”.
Salam jabat erat. Merdeka teater.
Jakarta 27 Maret 2020
Rudolf Puspa
Teater Keliling
email: pusparudolf@gmail.com