Advertisement
Sambal lemah dalam kemasan yang modern, diproduksi oleh STIPER Rejang Lebong |
Ada sekitar 26 ribu hektar hutan yang termasuk dalam kategori Taman Nasional, sedangkan puluhan ribu hektar lainnya termasuk dalam kategori hutan lindung. Ditambah lagi nyaris seribu hektar yang termasuk dalam cagar alam dan 125 ribu hektar hutan produksi terbatas. Begitu luasnya areal hutan di wilayah pemukiman suku Rejang, menjadikan suku Rejang sejak dulu mendapatkan sumber pangan dari hutan.
Sejak lampau, kearifan lokal masyarakat Rejang khususnya dalam hal pangan, begitu tergantung dari hutan. Sumber panganan rata-rata didapatkan dari hutan, begitu juga kayu dari patahan ranting dan dahan yang kemudian dijadikan kayu bakar untuk memasak makanan. Karena jaraknya cukup jauh dari laut, bahkan perlu waktu satu hari penuh untuk mencapai pesisir, membuat masyarakat Rejang era dulu memanfaatkan sungai di tengah hutan untuk sumber panganan berikutnya.
Produksi bahan pangan lewat kebun, juga memanfaatkan kekuatan alam. Itulah kenapa, sistem perkebunan berpindah-pindah menjadi andalan masyarakat Rejang era dulu.
Sambal Lemah, Makanan Favorit Masyarakat Rejang
Rebung, bahan baku Sambal Lemah |
Masyarakat Rejang datang ke hutan untuk mencari rebung di antara rerimbunan bambu, kemudian mencari ikan di sungai. Bahan-bahan itu kemudian difermentasi, dan selanjutnya menjadi sumber makanan. Baru ketika padi diperkenalkan pada masyarakat Rejang, sambal Lemah tadi menjadi teman makan nasi yang paling favorit di tanah Rejang.
Bicara tentang masyarakat Rejang maka sudah pasti bicara tentang sambal lema juga. Sambal lemah, (yang saat ini sudah ada dalam kemasan modern) adalah makanan yang paling difavoritkan masyarakat Rejang. Penulis, sebagai salah satu putra Rejang, juga harus mengakui bahwa sambal lemah membuat perut seakan-akan tak mau kenyang, ingin tambah melulu.
Mendengar kata "Lemah" atau sering pula disebut "Lemeah" mungkin terasa cukup asing atau bahkan aneh, bukan? Tunggu sampai Anda mencium aromanya yang juga lebih "asing" di hidung Anda.
Cara Membuat Sambal Lema
Sambal Lemah, menu andalan salah satu kafe di Bengkulu, Republik Sle |
Pertama, rebung yang didapatkan dari hutan, atau sekitaran pepohonan bambu akan dikupas dulu kulitnya sampai bersih. Kemudian dicuci, lalu dipotong-potong kecil. Sejak dulu, rebung alias bambu muda yang tingginya masih belum sampai satu meter ini begitu mudah ditemukan di hutan. Mereka tumbuh sendiri, tanpa ditanam.
Langkah berikutnya, rebung yang sudah dicincang ini dimasukkan ke dalam ember, atau baskom yang berisi air. Bersamaan dengan itu, ada ikan mentah yang sudah dibersihkan sisiknya, tentunya ikan air tawar, dimasukkan bersama. Ember tersebut ditutup selama tiga hari, sampai muncul bau. Berarti proses fermentasi sudah selesai, dan masak bersama dengan cabe giling, bawang dan garam.
Selesai, sambal lemah khas tanah Rejang sudah bisa Anda nikmati. Akan lebih terasa nikmat, bila Anda tidak memakannya di atas piring, tapi di atas daun. Anggap saja daun pisang atau daun talas.
Rebung yang sudah difermentasi ini mengandung banyak fitosterol, yang menjadi antioksidan penangkal radikal bebas bagi tubuh. Ditambah dengan serat yang sangat tinggi, maka membantu proses pencernaan lebih lancar dan tentunya bisa terhindar dari kanker. Itu belum ditambah karbohidrat, protein, vitamin, lemak dan berbagai kebaikan lainnya dari bambu muda ini.
Di zaman dulu, masyarakat Rejang tidak begitu saja dapat mengambil bambu muda ini dengan aman. Meski bambu berlimpah ruah, dan sungai dengan ikannya juga berlimpah ruah. Tapi, ada beberapa hewan liar di hutan, seperti babi hutan dan rusa yang juga "tertarik" dengan bambu muda ini.
Teman Makan Sejak Lampau, Sebagian Besar dari Hutan
Daun pakis, sumber pangan masyarakat Rejang lainnya dari hutan |
Tidak hanya sambal lema dan berbagai tipe sayuran lainnya berbahan rebung, tapi masyarakat Rejang juga akrab dengan makanan yang berasal dari hutan. Misalnya sayur pakis, yang juga begitu mudah ditemukan di hutan. Di pinggiran sungai, ada keong, siput dan beberapa jenis kerang sungai yang juga menjadi sumber pangan yang populer dikonsumsi masyarakat setempat.
Rejang sudah begitu menghormati alam, baik gunung, sungai, danau dan hutan. Ada beberapa ritual berupa persembahan pada alam, seperti pada gunung (Bukit Kaba) dan danau (Danau Tes) yang berupa persembahan makanan, seperti beras dan buah-buahan.
Eratnya hubungan antara masyarakat Rejang dengan alam tetap bertahan hingga Inggris dan Belanda datang ke daerah tersebut. Tanah Rejang, yang berada di tengah-tengah pulau Sumatera, dikelilingi hutan, pegunungan dan areal yang cukup sulit didatangi. Itu menjadi keuntungan bagi masyarakat Rejang, karena mereka bahkan belum ditemukan oleh kolonial, ketika wilayah lain di Indonesia sudah habis dikuras kekayaannya.
Ditambah lagi, adat setempat yang kurang begitu bisa menerima pengaruh luar, apabila bertentangan dengan adat Rejang. Karena cenderung tertutup, maka sistem pangan masyarakat Rejang juga tetap mempertahankan sistem lama, bersahabat dengan alam liar.
Hasilnya, bahkan di era modern seperti saat ini, masih bisa ditemukan masyarakat Rejang yang masih mengambil makanan dari hutan. Namun, semakin ke sini, kedatangan ke hutan hanya sebagian kecil saja untuk mencari sumber makanan utama. Sebagian besar mengambil tanaman yang dipercaya sebagai obat herbal.
Meski demikian, dengan kebiasaan mengambil sumber pangan dari hutan, tentunya memberikan keuntungan bagi masyarakat Rejang. Salah satu keuntungannya adalah, masyarakat Rejang era dulu sangat menghormati dan menjaga hutan. Dari kepercayaan masyarakat setempat, ada penjaga yang berasal dari makhluk halus berada di hutan, gunung, sungai dan danau. Mereka (makhluk halus penjaga alam) tersebut harus dihormati, sehingga masyarakat bisa mendapatkan "izin" untuk mengambil sumber pangan dan lain-lainnya dari hutan.
Keuntungan berikutnya adalah, adanya keanekaragaman makanan yang tentunya unik-unik dari masyarakat tersebut. Sayangnya, hal ini sudah sangat berkurang di era modern, di mana masyarakat Rejang lebih terbiasa dengan makanan asal daerah lain, misalnya Jawa dan Minang.
Sayang sekali, di tengah degradasi hutan yang cukup parah, muncul pula beberapa pertambangan, usaha perumahan dan sebagainya yang menghilangkan kekuatan hutan di Bengkulu dan tanah Rejang. Data dari WALHI misalnya, mencatat puluhan ribu hektar hutan di Tanah Rejang, bahkan yang termasuk hutan lindung dan Taman Nasional, telah rusak. Tentu akan sangat baik, bila kita bersama ikut kembali menjaga dan memperbaiki hutan yang telah rusak, agar kebaikan alam dan kekayaan hutan dapat terus kita nikmati. (ai/pojokseni.com)