Advertisement
Pentas "Penembahan Reso" |
Pertemuan pertama diselenggarakan di wisma seni Solo tanggal 17 Agustus 2019 dengan dihadiri hampir seluruh pemain. Awalnya aku terkejut ketika menginjakkan kaki di wisma seni dan bertemu teman-teman yang akan main yang sebagian besar dari Solo dan ditambah dari Yogya dan Jakarta. Aku terkejut melihat sebagian besar pemain adalah para aktor yang sudah tergolong berumur bahkan berambut putih. Wah, salah persepsi karena aku terlalu gembira akan main dengan teman-teman muda dari teater Gidag Gidig pimpinan Hanindawan.
Sebuah grup teater yang dipimpin Hanindawan yang aku kenal sejak 1975 ketika dia nonton pentas kelilingku di Sasonomulyo. Masih pelajar SMA ketika itu dan sudah punya greget untuk berteater di kotanya. Selanjutnya beberapa kali aku nonton pementasannya yang bagiku begitu hidup dan cair dimana pemain-pemainnya memang anak-anak SMA dan mahasiswa. Pentas drama yang boleh disebut kontemporer dan memiliki warna yang kurasakan tidak jauh beda dengan gagasan teater keliling yakni “teater aktor”. Saya sering menyebutkan “nakal dan kurang ajar namun tidak menyakiti”.
Hari itu adalah reading pertama dan mendapat penjelasan sutradara tentang gagasannya memproduksi Panembahan Reso yang akan dipentaskan di Jakarta bulan Desember 2019 di Teater Jakarta TIM. Tiga hari berada di Solo untuk mengikuti kegiatan reading yang bukan di pendopo wisma seni namun pindah ke samping teater tertutup Taman Budaya dimana Hanin memberikan gambaran bahwa nantinya pementasan akan memakai bentuk panggung yang ditata bertangga tangga seperti gaya pentas kelasik Junani. Pemain dibebaskan untuk mengexplore sendiri karakter peran-perannya dan masing-masing berlatih dengan lawan mainnya.
Asisten sutradara yakni Sosiawan Leak yang tentu tak asing bagiku karena anggota senior Gidag Gidig ini pernah 3 tahun bersama Nana Rochana dikirim ke Jakarta dan ikut kegiatan teater keliling. Jika sutradara lebih banyak diam dan penuh perhatian maka berbeda dengan sang asistennya yang lebih tegas dan keras dalam memimpin latihan. Ia mampu menterjemahkan gagasan sutradara sehingga menjadi jembatan yang tepat antara sutradara dengan pemain.
Karena September harus memimpin pementasan drama musikal teater keliling “The Great Rahwana” karya Dolfry dan Aldi di Ciputra Artpreneur maka bulan ini aku absen latihan ke Solo namun aku tetap menghafal dialog-dialogku dan mempelajari sesuai catatan yang diberikan astrada. Dan Oktober aku siap dan mengikuti latihan ke Solo selama tiga hari.
Di tengah latihan mendengar kabar resmi bahwa pementasan diundur ke Januari tanggal 25 dan 26 dan pindah ke Ciputra artpreneur. Pemain bebas menentukan apakah akan terus ikut atau mengundurkan diri. Nilai kontrak tetap tak berubah.
Tentu saja umumnya bersedia karena pentas di Jakarta dengan naskah besar karya Rendra yang cukup memiliki nilai yang berarti bagi bangsa pada tahun-tahun menghadapi Orde Baru yang represif , menumbuhkan rasa bangga dan gembira. Sutradara memberi ruang muncul peranku di luar naskah sebanyak 4 kali yang tentu saja silent action saja.
Mata mata adalah seorang pegawai istana di ring satu sehingga bisa dipahami jika ia bisa muncul berada dalam acara-acara penting di sekitar kegiatan raja. Bahkan bisa mendekati keputren dimana istri Raja tinggal untuk mengetahui apa yang sedang terjadi antara sang ratu dengan panji Reso. Tidak mudah tentunya memainkan peran yang silent action di tengah peran-peran lain yang lebih sepuluh orang yang memiliki kesempatan berdialog.
Namun penetapan ruang yang tepat bagi peranku oleh sutradara cukup membuat saya memiliki kebebasan untuk acting yang membuat penonton tanda tanya siapa peranku ini yang nantinya di akhir pemunculan dan berdialog dengan panji Tumbal yang adalah lawan besar Reso baru disebut peranku adalah mata mata.
Saya beruntung muncul berdialog hanya dengan satu peran yakni panji Tumbal. Hanya dua lembar naskah yang harus aku hafalkan. Hal yang cukup merupakan tantangan besar bagiku yang dalam kurun 20 tahun terakhir masalah hafalan sudah menjadi masalah tersendiri sehingga dalam setiap pertunjukkan saya mengandalkan daya improvisasi.
Namun di kesempatan ini tentu saja saya harus disiplin naskah karena dalam penggarapan ini sutradara tidak memberi dukungan untuk kelemahan saya. Demikian juga lawan main juga akan menjadi bingung jika saya tidak persis teks. Untuk itu saya berjuang keras untuk bisa persis teks walau beberapa kali masih selalu ada saja yang lupa bahkan pernah satu kali latihan separo naskah hilang dari ingatan dan diam saja karena memang tak disediakan pembisik.
Kulihat Jarot seorang pemain yang dengan cekatan ambil naskah mencari-cari dialogku tapi tak ketemu dan latihan jalan terus. Terima kasih bung Jarot. Sutradara punya sikap bahwa ia ingin aktor mengatasi sendiri jika terjadi lupa dialog atau adegan.Namun saya melihat lawan mainku sangat agresif dan emosinya meledak kuat sekali dan justru perannya jadi hidup dan punya power serta muncul isi karakternya. Padahal hal itu terjadi karena ada rasa kesal akibat saya lupa seluruh teks saya.
Sayapun mohon maaf kepadanya karena apapun alasannya hal itu adalah sebuah kesalahan. Catatan yang ada pada saya mengatakan bahwa kekuatan chemistry antar pemain sangat diperlukan; dengan kekuatan inilah hal hal negatif bisa menjadi positif karena adanya kerjasama yang muncul secara improvisatoris; begitu kata Stanisvlasky. Membangun chemistry tentu butuh waktu bertemu yang cukup sementara saya hanya punya waktu 3 hari tiap bulan dan hanya pada jam berlatih.
Sangat menarik sebuah produksi teater yang dilakukan dengan pemain-pemain yang datang dari berbagai latar belakang ilmu yang berbeda. Satu hal yang bagi saya merupakan pengalaman yang pertama kali selama 50 tahun berteater. Masing-masing membawa teknik acting yang bagus-bagus untuk kemudian dibaurkan sehingga diharapkan muncul sebuah pertunjukkan “gado-gado” yang nikmat.
Saya merasakan bagaimana sutradara berpikir keras tiap malam untuk menggalang meramu mengikat hingga menjadi anyaman yang kuat dan indah. Dan saya justru suka dengan adanya keberagaman seperti ini yang selalu diajarkan Arifin C Noer bahwa aktor adalah seniman juga, artinya juga harus memiliki daya cipta yang bukan sekedar mengekor apa kata sutradara, walaupun kata akhir tetap pada sutradara.
Saya selalu ingat bahwa hasil garapan di “teater ketjil” Arifin C Noer para pemainnya tidak ada yang sama dalam berdialog, berexpresi, bergerak yang justru memiliki gaya masing-masing. Namun sebuah garapan memang kembali kepada sutradaranya yang tentu saja memilili sikap yang juga beragam. Tinggal para aktornya mampu tidak mengikuti sang sutradaranya.
Di sepuluh hari terakhir berlatih di Solo ada satu hari sang sutradara membuka latihan dengan mengatakan bahwa untuk pertama kali latihan dihadiri oleh seluruh pemain. Seluruh yang hadir bertepuk gembira atau sedih tentu hanya masing2 yang tau. Latihan yang sangat sering ada pemain yang tidak hadir sangat terasa kurang nyaman. Kadang saya bertanya pada diri sendiri apakah ada rasa bahwa ketidak hadirannya mengganggu latihan?
Beruntung selama latihan di Solo saya mengalami 4 kali tidak ketemu lawan main saya. Tentu benar memang tidak nyaman berlatih dengan pemain pengganti. Namun saya berusaha untuk tetap berlatih full expresi. Lalu bagaimana bagi pemain-pemain yang pegang peran-peran utama yang dialognya panjang-panjang? Saya tidak berkesempatan ngobrol soal ini dan juga memang tidak ingin.
Hanya dengan sutradara lewat WA saya membaca bahwa hal itu cukup mengganggu kerjanya. Syukurlah ketenangan batinnya bisa mengatasi kegundahannya hingga pada saat semua hadir ia merasa secara spontan mengucapkan hal “gembira” tersebut.
Bahkan para pemeran pengganti sampai hafal dialog-dialognya karena berlatih sungguh-sungguh seolah-olah dia yang akan main. Salut untuk mereka.
Ada pelajaran yang saya dapatkan selama mengikuti produksi ini sebagai aktor. Jika selama 46 tahun di teater keliling selalu menjadi sutradara yang berarti menjadi orang yang paling di dengar; kini menjadi aktor yang salah satu kemampuan yang harus dimiliki dalam mendengar sutradara. Sejak awal mulai latihan saya menyiapkan diri untuk itu.
Memang pada mulanya setiap Sutradara atau asistennya memberikan arahan-arahan maka dalam batin saya timbul jawaban-jawaban yang segera saya tahan. Saya renungkan toh jawaban saya hanya untuk mencari pembenaran diri saja. Saya harus bisa menjadi aktor yang mampu mendengar.
Syukurlah bulan-bulan selanjutnya saya mampu untuk itu. Dalam sehari-hari ngobrol dengan pemain-pemain, dengan pekerja art, dengan tim produksi saya lebih banyak mendengar saja. Saya makin hari semakin bisa mendapatkan pengalaman batin yang dahsyat yakni menjadi pendengar yang disenangi. Saya menjadi ingat pesan Menteri Lingkungan hidup 1982 untuk selalu “share and care”.
Selanjutnya pelatihan teater selalu mengasah diri untuk mampu pasang mata dan telinga. Bukankah di teater hal ini menjadi kekuatan seni acting yang utama? Sayapun selama latihan Penembahan Reso melakukan hal tersebut dan merupakan kegiatan mengasah diri kembali. Inilah pelajaran sangat berharga bagi saya untuk semakin memahami dan harus mampu melaksanakannya ketika menjadi sutradara dan aktor.
Namun demikian tidak tertutup kemungkinan untuk bisa berdialog timbal balik sehingga semakin nyata apa yang diperlukan yakni adanya chemistry dengan seluruh pendukung produksi drama.
Saya merasakan kenyamanan dan kegembiraan dalam menjadi aktor di produksi Panembahan Reso karya Rendra yang disunting dan disutradarai Hanindawan. Walau tidak dengan semua saya berkesempatan ngobrol namun saya tidak merasa asing karena saya merasa hadir untuk semua.
Barangkali lebih banyak saya mendengar nyanyian para pemain dari berbagai latar belakang dan pandangannya tentang drama ini, mendengar dari sisi artistik, mendengar tim produksi yang kesemuanya memiliki persoalan-persoalan yang bermacam warna warninya. Ada kalanya memberi pandangan dengan bercerita bagaimana teater keliling mengatasi berbagai problem berproduksi, berlatih teater.
Pelajaran yang kudapatkan adalah bagaimana mampu menerima dengan lapang dada apapun yang disediakan. Soal konsumsi hingga costume, make up yang mungkin kurang nyaman adalah hal yang umum terjadi namun hidup berkeliling telah mengajar saya untuk menerima dan menghayati apa yang ada sehingga tidak menjadi kendala dalam beracting.
Serahkan pada sutradara yang memberi keputusan akhir. Seperti misalnya pada pentas dengan coba wardrobe saya telanjang dada dan sutradara menolak dan malam besok yang sudah ditonton umum saya diberi baju. Saya nikmati ke dua-duanya dan tak mengganggu permainan saya.
Dalam hal teknis tentu stage manager sangat pegang peranan. Pada pentas Reso ini sang stage manager melakukan tugas dengan profesional. Sangat memperhatikan para pemain dengan segala kesulitan teknis yang dihadapi. Pemain tua-tua tentu akan memiliki kendala penglihatan.
Saya misalnya dalam jarak 5m sudah kabur bila tanpa kacamata. Sementara mata saya tidak cocok pakai contac lens. SM menyediakan stage crew yang tugasnya memberitau kapan saya masuk, karena harus tepat setelah lawan main yang masuk dari seberang panggung. Begitu juga naik turun tangga saya ada kesulitan ketika turun dalam keadaan gelap. Saya dituntun stage crew dan saya hanya pasrah melangkah menuruni anak tangga dan stage crew menangkap saya agar tidak jatuh.
Perlu ada chemistry yang kuat untuk hal ini sehingga aman terkendali. Drama ini terdiri 30 adegan dengan tempat yang beda beda. Untuk menjaga agar pemain selalu tepat waktu keluar masuk acting area maka di ruang tunggu samping kiri kanan panggung susunan adegan ditulis di kertas di pasang di tempat-tempat yang strategis dengan diberi lampu kecil sehingga mudah dibaca pemain.
Rudolf Puspa |
Bahkan untuk pemeran Penembahan Reso yang paling banyak adegannya disiapkan satu crew yang membawa karton dengan tulisan adegan peradegan dan selalu berada di wing kiri atau kanan sehingga ketika pemain exit langsung baca dan akan tahu harus siap dimana.
Stage crew memang tak kelihatan namun jasanya sangat besar dan untuk itu saya sampaikan penghargaan dan hormat saya seiklas2nya.
Produksi Panembahan Reso sudah selesai dipanggungkan di Ciptra Artpreneur 25 Januari 2020 dengan penonton memenuhi kuota dari jumlah seat 1500.
Hari kedua terpaksa dibatalkan karena kurangnya penonton yang membeli tiket. Banyak kawan-kawan yang memiliki kenangan lama ikut main ataupun penonton drama ini tahun 1986 di Istora hadir menonton. Ketua MPR yang dulu juga aktif mendukung di tahun 1986 malam ini hadir menonton. Tentu ini merupakan berita yang baik bagi perkembangan teater Indonesia kedepan.
Teman-teman dari teater keliling banyak hadir dan juga dari penonton teater keliling yang memang ingin hadir menyaksikan eyang Rudolf main di drama besar ini. Usai pertunjukkan selesai mereka bersama-sama ke back stage dan berteriak-teriak ucapkan “salut salut salut saluuuut” berkali kali dan menyalamiku serta memberikan karangan bunga.
Suasana penuh haru dan bahagia tentunya karena hal yang tak disangka begitu mengejutkan. Bukan hanya saya tapi seluruh pemain, penari, crew dan tim produksi ternganga melihat adegan yang begitu dramatis.
Terdengar suara pemain Asasin berkata “kok saya nggak ada yang ngasi bunga?”. Serentak anak-anak teater keliling berbalik arah dan lembali berkata “salut salut salut saluuuut” dan memberikan bunga kepadanya. Demikian pula kepada Ine Febriyanti , Sosiawan Leak (astrada) dan Hanindawan (sutradara).
Ini merupakan catatan yang sangat indah untuk menjadi kenangan; setidak tidaknya bagi saya yang memiliki kekaguman pada Rendra yang selalu menulis naskah yang bicara tentang zamannya. Seniman yang hingga akhir hayatnya tak pernah berhenti mengkritisi keadaan yang melupakan kedaulatan rakyat.
Banyak para penonton dari yang sepuh-sepuh mengatakan bahwa pertunjukkan Rendra masih relevan untuk dihadirkan. Saya sangat mendukung sambil menyampaikan pemikiran untuk ada upaya memberikan pencerahan kepada anak anak “now” ; apa kehebatan Rendra? Kenapa harus menonton karya-karya Rendra? Kalau tidak maka 5-10 tahun lagi nama Rendra akan semakin lenyap bersamaan dengan lenyapnya orang-orang yang mengenalnya.
Kembali terkenang awal saya tertarik ikut produksi ini karena mengenal Hanindawan sutradara yang banyak menciptakan pertunjukkan yang cair dengan pemain-pemain muda bahkan yang kini disebut anak milenial. Pasti akan berbeda tampilan Panembahan Reso yang digarap dengan bentuk, gaya, pemikiran, emosi anak anak now yang cair, nakal, kurangajar namun penuh celoteh kritikan yang tajam menyayat walau penuh tawa senyum hingga meledak, bahkan tepuk tangan.
Rendra sangat piawai dalam berdialog sehingga tak jarang hujan tepuk tangan. Maaf ini hanya lamunan awal saja yang seterusnya saya lupakan karena saya harus mengikuti gagasan sutradara dalam penggarapan yang bisa mengingatkan kembali warna Bengkel teater Rendra.
Lampu panggung telah dimatikan. Penonton telah pulang kerumah masing-masing. Pemain-pemain sudah juga kembali ke rumah masing-masing. Barangkali tim produksi yang masih berhitung menyelesaikan segala sesuatu yang memang harus diselesaikan. Produksi besar dengan biaya kurang lebih sekitar Rp 1,5 m telah ditunaikan dan masing-masing kita tentu membawa pulang pengalaman berharga dari panggung ibukota. Amplop-amplop sudah dibagikan dan bisa dinikmati sesuai pendapatan masing-masing tentunya.
Saya tidak tahu nilai kontrak yang lain lain kecuali saya sendiri sebesar 5 juta rupiah. Saya aktor berumur 72 tahun dengan pengalaman hidup sepenuhnya di teater selama 50 tahun bahagia sekali menerima amplop tebal yang cukup bisa makan bersama keluarga dan beberapa pemain teater keliling di rumah makan sea food Kelapa Gading bersuka ria bicarakan pementasan Panembahan Reso yang banyak menimbulkan pertanyaan dari mereka.
Umumnya mereka senang kagum para aktor sepuh masih kuat dalam bermain teater yang menurut mereka konvensional yang bagus, rapi dan teratur. Satu pertanyaan akhir merekapun membuatku hanya menjawab dengan senyum “kemana kenakalan eyang dalam improvisasi kritik yang tajam ?”
Dalam catatan ini saya menghindari menyampaikan kritik tentang pementasan karena saya terlibat menjadi salah satu pemain. Lebih baik dan tepat hal itu menjadi bagian dari para penonton atau kritikus seni teater yang independen bila ada.
Salam hormat saya kepada bung Auri Jaya, Seno Joko Suyoo, Imran Hasibuan, Yessi Apriati yang pegang peranan terpenting dari awal gagasan hingga terselenggaranya pementasan Panembahan Reso karya Rendra sutradara Hanindawan.
Sayapun berterima kasih telah diberikan ruang dan waktu turut dalam produksi ini menjadi aktor memainkan peran “mata mata” yang mengasyikkan.
Salam jabat erat.
Jakarta 01 Februari 2020.
Rudolf Puspa
(Teater Keliling/Jakarta)
081310678865 email : pusparudolf@gmail.com