Advertisement
Pertunjukan bertajuk "Isap-Asap" oleh ITBT di Kalimantan (credit foto: @joniprahara) |
pojokseni.com - Perombakan struktur dan tata kelola Kemendikbud RI baru-baru ini menghadirkan pertanyaan, sekaligus pro dan kontra.
Berawal dari arahan Presiden untuk melakukan efisiensi jabatan di Direktorat Jenderal Kebudayaan lewat Peraturan Mendikbud No. 45 Tahun 2019 Tentang Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, berujung pada dihapusnya Direktorat Kesenian, Sejarah dan Cagar Budaya.
Saat ini, hanya ada 5 direktorat, dibawah Ditjen Kebudayaan.
Di antaranya;
- Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat,
- Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru,
- Direktorat Pelindungan Kebudayaan,
- Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, dan
- Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan.
Tentunya, pertanyaan yang paling mendasar adalah seni pertunjukan, seperti teater dan tari, juga seni rupa dan sastra tentunya kehilangan wadah.
Uniknya, perfilman, musik dan media baru justru memiliki direktorat khusus.
Ketiganya (film, musik dan media baru) dianggap oleh banyak praktisi seni sebagai kerja kesenian yang "menguntungkan".
Sedangkan seni teater, tari, sastra dan rupa adalah kerja kesenian yang dianggap kurang menguntungkan.
Hasilnya, muncul pendapat bahwa penghilangan Direktorat Kesenian justru mengkapitalisasi kerja kesenian, alih-alih mengakomodasi.
Padahal, sebelumnya justru para pelaku seni mengharapkan kebudayaan mendapatkan perlakuan yang lebih optimal, bahkan bila perlu berdiri sebagai kementerian sendiri, berpisah dari kementerian pendidikan.
Hal itu sudah terjadi di banyak negara.
Kementerian kebudayaan dan kesenian, tentunya sangat dibutuhkan di negara yang "adidaya" dalam hal kebudayaan dan kesenian seperti Indonesia.
Tapi, yang terjadi justru direktorat (yang "hanya" subsektor) kesenian pun dihapuskan.
Nantinya, kerja kesenian akan diakomodir oleh direktorat pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan yang disinyalir akan tumpang tindih dengan kerja lainnya.
Apalagi, kesenian modern (seperti grup teater dan tari yang concern pada bentuk modern) tentunya akan kesulitan mendapatkan tempat.
Inilah yang dianggap oleh banyak pelaku seni sebagai sebuah kemunduran.
Lalu, bagaimana nasib teater, tari, rupa dan sastra?
Tentunya, kerja pembangunan ekosistem seni di setiap daerah akan memasuki babak baru yang jauh lebih sulit.
Kabar baik justru datang bagi insan perfilman, musik dan media baru. (ai/pojokseni.com)