Advertisement
pojokseni.com - Ada beberapa hal unik yang akan ditemukan selama proses latihan teater. Mulai dari membedah dan mendalami naskah, ternyata bertemu berbagai lapisan-lapisan psikologis dari sebuah karakter. Atau, menemukan lanskap yang sureal dari sebuah lakon.
Tapi, ada sesuatu yang lebih unik lagi. Biasanya, aktor tentunya akan mendalami setiap karakter yang dibebankan kepadanya. Namun, ada aktor-aktor tertentu, dengan psikologi dan karakter dari lahir tertentu, yang akan sangat cocok dengan satu peran dalam naskah.
Sutradara, biasanya akan memilih aktor yang tepat berdasarkan tiga hal, fisik - psikologis - vokal. Itu yang pertama dilihat oleh sutradara, meski dalam perjalanannya, akan ada perombakan dan pergantian karena menemukan aktor yang lebih cocok. Tapi, ada karakter yang justru melekat pada seorang aktor, dan bila digantikan dengan orang lain karena sang aktor berhalangan, akan terasa kurang cocok.
Ketika mendapat kesempatan berlatih di Teater Satu Lampung misalnya, saya mendapati fakta bahwa ada beberapa peran yang akan sangat lebur dengan aktor. Misalnya untuk lakon "Aruk Gugat" (yang dipentaskan tanggal 11 Desember 2019), tokoh Aruk sangat tepat dimainkan oleh sahabat saya di Teater Satu Lampung, Jayen. Seakan-akan Jayen adalah Aruk, dan begitu juga sebaliknya. Mungkin, hasilnya akan berbeda ketika bukan Jayen yang memainkan peran Aruk.
Masih di teater yang sama, senior di Teater Satu Lampung, Imas Sobariah, menuliskan naskah monolog "Wanci" yang disebut-sebut sebagai naskah monolog dengan aktor wanita yang paling sulit dibawakan. Peran dalam lakon tersebut dimainkan oleh Ruth Marini. Sama seperti kasus Jayen, karakter Wanci tersebut menemukan tubuh yang tepat.
Proses pendalaman karakter, dalam Metode Stanislavsky, diartikan secara singkat menjadi aktor "meminjamkan" tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki pada si "karakter". Maka, karakter mesti dapat "tubuh" yang tepat, agar ketika "dihidupkan" atau ditubuhkan, mampu menjadi karakter yang diinginkan naskah. Begitu kira-kira.
Ketika saya melihat teater saya, Teater Senyawa, ketika memainkan naskah "Pelukis & Wanita" saya menyadari bahwa peran "Wanita" alias tuan putri ini telah menemukan tubuh yang tepat. Peran ini dimainkan oleh Wulan Aprianti dan saya, sejak menulis naskah ini tahun 2006, direvisi berkali-kali hingga 2018, akhirnya menemukan "tubuh" yang tepat untuk menghidupkan si wanita. Meski masih memerlukan banyak penyempurnaan, tapi saya kira peran itu sudah bersemayam dalam tubuh yang pas.
Sayangnya, saya masih belum menemukan tubuh yang tepat untuk "sang Pelukis" yang cerewet dan kurang ajar itu. Alhasil, hingga menggelar tur Sumatera, saya masih memilih untuk mengambil sendiri peran itu. Yah, masih kurang begitu mengena, saya bahkan masih belum mampu memenuhi ekspektasi saya sendiri.
Semoga, nantinya peran ini akan menemukan pula tubuh yang tepat.
Penulis: Adhyra Irianto