Advertisement
pojokseni.com - Bagi kami yang tinggal di Provinsi Bengkulu, kereta api adalah satu-satunya alat transportasi umum yang tak biasa. Tak ada rel kereta api di seantero provinsi tersebut, juga tak ada kereta api yang menjalar lalu lalang antar kota. Namun, khusus untuk wilayah Kabupaten Rejanglebong, ceritanya berbeda. Hanya di kabupaten ini, satu-satunya di Provinsi Bengkulu, yang ada lintasan Kereta Api (KA), tepatnya di Kecamatan Kotapadang.
Curup, ibukota Kabupaten Rejanglebong, memiliki jarak yang cukup dekat dengan Kota Lubuklinggau, Provinsi Sumatera Selatan. Jarak Curup ke Lubuklinggau hanya sekitar 52 kilometer, yang bisa ditempuh dengan waktu satu setengah jam saja menggunakan kendaraan roda empat. Kemudian, dari Lubuklinggau, naik kereta api dari Stasiun Lubuklinggau di dekat pasar utama kota tersebut, menuju Palembang. Dalam waktu 8 jam, kereta api sudah sampai di Stasiun Kertapati, Palembang.
Jarak dari Curup (Kabupaten Rejanglebong, Provinsi Bengkulu) menuju ke Palembang (Provinsi Sumatera Selatan) mencapai lebih dari 200 km. Untuk mencapai Palembang, ada dua cara pertama Anda naik kendaraan umum ke Lubuklinggau, maka Anda hanya akan terkena ongkos sekitar Rp35.000 - Rp50.000. Kemudian, dari Lubuklinggau, Anda akan naik kereta api, dengan biaya Rp32.000 untuk kereta pagi menuju Palembang. Maka total biaya yang akan Anda habiskan untuk perjalanan dari Curup - Palembang adalah sekitar Rp67.000 - 82.000 saja.
Sedangkan, cara kedua adalah dengan naik kendaraan roda empat dari Curup ke Palembang. Dengan cara ini Anda akan terkena ongkos sekitar Rp250.000. Selisihnya bahkan mencapai Rp180 ribuan. Namun, kenapa tidak banyak orang Curup yang pergi ke Palembang dengan naik Kereta Api? Padahal dengan naik kereta api, Anda bisa menghemat uang hingga Rp180 ribu. Bayangkan saja kalau bolak-balik, berarti mampu menghemat biaya mencapai Rp360.000.
Ternyata, alasannya adalah Kereta Api menjadi salah satu alat transportasi yang menakutkan!
Belum masuk kereta api, situasi "menakutkan" tersebut bahkan sudah dimulai di stasiun. Tahun 2008, saya berangkat ke Palembang naik Kereta Api dari Lubuklinggau. Biasanya, saya menggunakan kendaraan roda empat, namun kali itu untuk menghemat pengeluaran, saya mencoba kereta api. Di stasiun yang sesak dan padat, orang-orang bahkan tetap menyemut hingga ke depan gerbong. Ada banyak calo tiket berkeliaran, menawarkan tiket bagi Anda yang tidak mau mengantri dengan harga yang dua kali lipat bahkan lebih.
Perjalanan menuju gerbong, disesaki pedagang makanan dan minuman, serta penjualan rokok. Asap rokok juga memenuhi tempat itu, ditambah dengan suasana yang sumpek dan banyak sampah berserakan. Belum cukup sampai di situ, ketika mengantri Anda mesti jauh lebih hati-hati dengan dompet dan tas kecil, karena ada banyak pencopet yang menanti kesempatan untuk merampas harta Anda. Bila copet atau jambret tersebut adalah penjahat yang mahir, maka ia dengan cepat bisa hilang di tengah kerumunan orang di stasiun tersebut.
Masalah belum selesai sampai di situ. Ketika telah mendapatkan tiket KA, menjelang sampai ke gerbong, Anda akan menemukan banyak orang yang menawarkan diri menjadi joki mengangkatkan tas Anda masuk ke dalam kereta api. Kebanyakan dari joki tersebut memaksa untuk mengangkatkan tas Anda ke dalam kereta, lalu meminta bayaran mulai dari Rp5000 terkecil. Apabila tas yang diangkat cukup berat, maka mereka akan meminta bayaran yang lebih mahal. Dalam kondisi ini, masih ada juga para pencopet dan jambret yang mencuri-curi kesempatan untuk melakukan kejahatan.
Apabila Anda naik kelas ekonomi, maka penderitaan Anda belum selesai sampai di situ. Masuk ke dalam KA, maka Anda akan bertemu dengan ruang yang sesak dan cukup berserakan. Di beberapa terminal pemberhentian, Anda akan bertemu pengamen dan pedagang yang langsung ada di hadapan Anda yang mungkin tengah kelelahan dari perjalanan. Bila dalam 8 jam perjalanan tersebut Anda berhasrat ingin buang air baik kecil maupun besar, maka selamat datang ke toilet umum yang bau, dan tidak nyaman.
Itulah kenapa naik kereta api menjadi pilihan yang paling terakhir. Khususnya kelas ekonomi.
Tahun 2019, tepatnya bulan Februari, untuk sekali lagi saya (terpaksa) naik KA dari Lubuklinggau menuju ke Palembang. Ketika berada di perjalanan dari Curup ke Lubuklinggau, hati saya mulai was-was. Takut copet, takut calo tiket, takut joki tas yang memaksa, gerbong yang sumpek, sampah yang berserakan dan sebagainya. Saya tidak pergi sendirian, maka saya juga menyarankan rekan-rekan seperjalanan untuk lebih hati-hati dengan barang bawaan.
Meski 11 tahun berlalu, namun saya tak pernah lagi sekalipun naik kereta api karena masih begitu takut dengan KA dan stasiunnya. Apalagi, kereta api juga merupakan alat transportasi yang jarang dinaiki oleh masyarakat Provinsi Bengkulu.
Namun, seluruh ketakutan itu hilang di Stasiun Lubuklinggau. Saya justru terkejut, karena stasiun itu sudah mirip dengan bandara. Pintu sudah dibatasi, sehingga tidak banyak orang yang bisa mencapai gerbong sembarangan. Baik itu copet, maupun joki angkat barang yang memaksa.
Pembelian tiket juga sudah online. Anda bisa membelinya di berbagai situs online tiketing, sehingga tidak perlu mengantri lagi. Ketika menunjukkan tiket, maka Anda juga akan diminta menunjukkan KTP atau tanda pengenal lainnya. Persis seperti di Bandara. Dengan demikian, sudah dipastikan tidak ada lagi para calo yang bisa mencari kesempatan mencari uang di stasiun.
Stasiun sangat rapi, bersih dan tertata. Pedagang dibatasi, bahkan di setiap stasiun pemberhentian sementara. Bila Anda ingin berbelanja, maka Anda akan turun, bukan pedagang yang menyambangi Anda. Juga ada banyak pengamanan dan security yang bertugas, sehingga tidak ada lagi kasus pencopetan terdengar di kereta api.
Masuk ke dalam gerbong, hingga ke tempat duduk, aku harus kembali terkejut. Tempat duduk yang nyaman, ada plastik untuk tempat sampah, dan full AC. Padahal, saya duduk di kelas ekonomi dengan tiket seharga Rp32.000 saja untuk kereta pagi. Tidak ada lagi kereta api yang kotor, sumpek dan toiletnya bau apek. Masuk ke dalam toilet, tidak hanya bersih dan bebas bau, tapi saya teringat toilet di bioskop dengan peralatan yang ada di toilet itu. Saya bahkan berpikir, bagaimana dengan kelas bisnis dan eksekutifnya? Bila kelas ekonomi saja sudah sebagus ini.
Maka saya menghilangkan paradigma yang buruk terhadap alat transportasi massal satu ini. Ketakutan yang saya pendam selama 11 tahun terakhir, perlahan hilang. Harus diakui, tidak hanya lebih murah, tapi kereta api juga jauh lebih nyaman ketimbang naik mobil. Proses revitalisasi dan restorasi oleh Kemenhub RI melalui PT KAI telah berpengaruh signifikan terhadap perubahan wajah kereta api secara keseluruhan.
Harus diakui, bahwa saya memendam ketakutan selama 11 tahun, dan sekarang kereta api justru menjadi alat transportasi favorit saya untuk perjalanan menuju Palembang. Apalagi, sudah ada pramugari yang ramah, plus makanan yang bisa Anda beli dari para pramugari tersebut. Kalau menjelang malam hari, maka Anda akan diberikan selimut.
Jujur saja, bahkan saya sulit membedakan mana yang lebih enak antara naik kereta api atau naik pesawat. Jelasnya, kereta api itu jauh lebih murah. Baru terdengar oleh saya beberapa waktu setelah itu, ada revitalisasi dan restorasi total di Kereta Api, untuk kemudahan transportasi. Semoga saja, alat transportasi massal yang nyaman ini juga bisa ada di Provinsi Bengkulu ke depannya.
Penulis: Adhy Pratama Irianto