Advertisement
Oleh: Agus Susilo*
Spontanitas Kenyataan Dalam Teater
Pada keyakinannya, 15.999 TANDA TANYA menshahihkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi; sebelum, ketika dan sesudah pertunjukan adalah teater itu sendiri. Jadi, tak ada lagi batas yang memisahkan istilah latihan dan pementasan, penonton dengan yang ditonton, panggung dengan yang bukan panggung, orang teater dengan yang bukan orang teater. Semuanya mengental dalam satu kata: Teater.
Teater itu disajikan Kantor Teater Jakarta, Teater Imago Medan, Teater Rumah Mata yang membangun relasi dengan Kecamatan Medan Marelan, Museum Situs Kotta Cinna, Komunitas Peduli Museum dan Sejarah (Kopi Murah), Sahabat Alam (Salam), Komunitas Sastra Masyarakat Binjai (Kosambi), Batubara Production, HMJ SPI UINSU, Kuast Pancabudi dan masyarakat Paya Pasir, pada Minggu/ 24 Nopember 2019, pukul: 13.00-18.00 di Tepian Danau Siombak.
Sebelum peristiwa-peristiwa dihadirkan dalam sebentuk pertunjukan, setiap tubuh yang terlibat di dalamnya sudah melakukan pertunjukan di teaternya yang lain. Tubuh-tubuh itu melahirkan adegan-adegan di ruang harmoninya, lalu pada suatu momen ia membentuk situasi disharmoni. Pembentukan disharmoni dalam ruang harmoni itu tanpa kita sadari, berlangsung spontan dan rutin. Spontanitas kenyataan ini yang perlu diasah kesadarannya saat ‘ketika pertunjukan’ berlangsung. Secara otomatis tubuh merespon situasi-situasi tersebut, lalu menciptakan ledakan-ledakan di setiap tanda tanya.
Kenyataan yang kita hadapi sebelum pertunjukan menjadi modal ketika menyusuri jalan panggung. Kenyataan-kenyataan spontan yang mengendap di tubuh, menciptakan lompatan akrobatik dalam pikiran. Pada kasus 15.999 TANDA TANYA, kenyataan-kenyataan spontan itu keluar masuk antara panggung pertunjukan, realitas sosial, polemik individu, serta terperangkapnya imajinasi pada kode-kode moral.
Bermodalkan riset sederhana, beberapa hari sebelum 15.999 TANDA TANYA dilahirkan, setiap tubuh berada di lapisan panggung yang lain. Saling mengeram gagasan dan bentuk sajian, tanpa proses pertemuan fisik dalam mengeksekusi bentuk dan gagasan tersebut. Kita benar-benar mempercayakan pada alam Danau Siombak untuk menggerakkan kenyataan gagasan ketika realitas sosial diintervensi realitas panggung. Menghadirkan spontanitas kenyataan yang siap untuk dibentuk sebagai karya.
Kerja-kerja tata panggung, persiapan fisik aktor sebelum pertunjukan dan hal-hal yang membutuhkan modal dana besar kami tiadakan. Kami hadir secara organik, merespon sesuatu yang ada. Kami hanya menyampaikan kepada tubuh-tubuh yang akan terlibat dalam pertunjukan ini untuk kumpul di Museum Situs Kotta Cinna, pada Minggu/24 Nopember 2019, pukul 12.00 Wib. Di lokasi karya ini, setiap tubuh itu mulai beradaptasi dengan suasana, benda dan apa yang harus dilakukan dengan tubuh organiknya. Kami menetapkan panggung pertunjukan itu dimulai dari Museum Situs Kotta Cinna, jalan perkampungan Paya Pasir dan salah satu titik di tepian Danau Siombak. Seluruh tubuh bersiap untuk merayakan keorganikan tubuhnya.
Daya kerja intuisi dan kesadaran saling mengontrol dinamika pergerakan tubuh menjadi penentu keberlangsungan 15.999 TANDA TANYA ini digelar. Mamex mulai menyatu dengan rombongan anak-anak Paya Pasir, tubuh kanak-kanak ia kelola ritme emosinya, aku menjalin relasi pikiran bersama kelompok mahasiswa, Ayub Badrin dan Ibnu membentuk karakter peranan masing-masing. Tradisi penggunaan naskah drama dalam pertunjukan teater kita hancurkan pada kasus penciptaan site-spesific theatre ini. Setiap orang yang terlibat, murni mengandalkan daya kerja tubuh organik; baik para penggiat teater ataupun masyarakat umum yang tidak memahami teater.
Menciptakan Disharmoni Ruang
Konsep site-spesific theatre dalam pertunjukan 15.999 TANDA TANYA kami hadirkan dengan menggunakan tubuh organik. Rombongan anak-anak Paya Pasir, Mahasiswa UINSU, penggiat seni dan budaya, berbagai komunitas melibatkan diri sebagai pelaku dan penikmat pertunjukan ini. Dari Museum Situs Kotta Cinna kami bergerak, menyusuri jalan perkampungan Paya Pasir, dan melakukan prosesi di tepian Danau Siombak, lalu kembali menyusuri jalan perkampungan menuju Museum Situs Kotta Cinna.
Mamex mengajak anak-anak Paya Pasir untuk koor, menyanyikan lagu “1,2,3,4, siapa rajin ke sekolah, tuntut ilmu sampe dapat, sungguh senang, sangat senang, bangun pagi-pagi sangat senang” dengan ceria, sangat kontras dengan kecemasan psikis masyarakat yang terteror ribuan bangkai babi dan berton-ton sampah. Repetisi koor lagu itu jadi mantera yang menghipnotis anak-anak Paya Pasir untuk larut dalam pertunjukan. Situasi disharmoni di tubuh anak-anak, diintervensi dengan bunyi disharmoni yang baru sebagai terapi terhadap kecemasan psikis anak-anak dan masyarakat, menciptakan suasana harmoni. Dengan teknik meta, meletakkan kesadaran di wilayah ambang, aku melarutkan tubuhku pada situasi psikis yang tertekan, cemas dan luka. Ayub Badrin mengelola tubuh organiknya sebagai sosok penawar sedingin. Ibnu mengidentikkan tubuhnya sebagai sosok korban yang bergerak untuk mengubah. Lalu rombongan mahasiswa membawa umbul-umbul duka berwarna putih. Di depan, kepala babi memimpin arak-arakan yang dibawa anak-anak Paya Pasir.
Museum Situs Kotta Cinna, jalanan kampung Paya Pasir, tepian Danau Siombak menjadi panggung panjang pertunjukan ini. Kami menciptakan disharmoni ruang; jalanan kampung sepanjang 300 meter yang harmoninya difungsikan sebagai lalu lintas kendaraan, kami intervensi untuk berubah menjadi panggung. Spontanitas kenyataan panggung kami hadirkan secara tiba-tiba di realitas rutin warga. Ledakan koor yang diciptakan mamex bersama pasukan anak-anaknya menyusup hingga ke dapur warga. Ibu-ibu sontak keluar rumah melihat kepala babi yang diarak. Bapak-bapak yang asyek melakukan ritual kopi di warung kopi, terperangah melihat tubuh intuitifku bergerak kontras dengan koor-koor ceria. Anak-anak kampung yang sedang bermain terpancing perhatiannya untuk turut serta dalam rombongan 15.999 Tanda Tanya. Ekspresi wajah para warga tiba-tiba muncul ribuan tanda tanya, tak mau kehilangan momen ikut merekam peristiwa itu dalam gadgetnya. Siang itu, 300 meter jalanan kampung membentuk noise baru untuk menarik noise dari rumah-rumah warga hingga fokus perhatian mereka terpusat pada kami.
Tubuh organik kami, secara intuitif mengubah noise jadi titik fokus. Butuh energi daya hadir yang besar untuk mengendalikan situasi ini. Selain itu kecerdasan mengelola irama pertunjukan dan kepasrahan pada ritme semesta untuk menggerakkan tubuh kami sesuai kehendaknya. Sebuah pertunjukan teater tanpa naskah, alur, plot, rancangan adegan. Hadir spontan merespon lingkungan sekitar.
Ketika tiba di tepian Danau Siombak, kami belum menentukan lokasi khusus mana hendak berhenti. Kami percayakan tubuh pada intuisi, lalu tanpa kesepakatan yang dirancang, kami semua terpusat di pinggiran Danau Siombak yang teronggok seekor bangkai babi yang dirubungi sampah, di sebelahnya sampan yang diam. Alam semesta ternyata telah mensetting panggung utama kami di sini. Koor-koor menggema, masyarakat Paya Pasir berduyun-duyun merapat. Mamex kemudian melakukan ritual, secara organik masyarakat turut terhanyut dengan prosesi. Bau bangkai babi kemudian menguasai tubuh kami, spontan masyarakat yang ikut jadi performer, menutup hidung bahkan ada yang sampai muntah-muntah. Aku merespon bau itu dengan tubuh intuitifku, sekujur tubuh bergetar merespon ruh babi-babi yang membangkai, sembari melantunkan kata “bibaabbibababiiibibibabiii” berulang-ulang hingga menjadi kekuatan mantera. Warga semakin diseret dalam tanda tanya, penasaran bercampur cemas, namun juga gembira. Patahan-patahan emosi ini melahirkan lapisan-lapisan ruang disharmoni yang baru.
Prosesi ritual pembersihan bau juga dilakukan Ayub Badrin dan Ibnu, di ujung dermaga. Masyarakat semakin membludak, merespon peristiwa ritus untuk mendoakan Danau Siombak, Mamex menjadi sosok sentral mengendalikan noise massa dalam pertunjukan ini. Melihat situasi bau yang sudah tak bisa dikendalikan, Mamex kembali berinteraksi dengan masyarakat yang hadir, bagai seorang pemimpin yang hendak pergi ke medan pertempuran: “Apakah kalian masih sanggup menahan bau???”, masyarakat sontak berteriak, “tidaaaaaaakkkkk!!!”. Pertanyaan dan jawaban itu dilakukan berulang-ulang hingga menciptakan gugatan kolosal. Pertunjukan di tepian Danau Siombak itu ditutup Mamex dengan ajakan, “Maka mari kita kembali ke tempat dimana kita pergi.”
Lalu kami kembali seperti kami pergi, seperti kami meraup fokus masyarakat sepanjang jalan kampung, dan warga makin banyak ikut serta. Dengan tetap membawa 15.999 Tanda Tanya.
Babi juga mahluk Tuhan, dia tak ingin kematiannya menjadi teror bagi kesehatan ribuan jiwa di pinggiran sungai Bedera dan Danau Siombak. Tak mungkin babi yang membuang bangkai babi ke sungai-sungai, pasti yang melakukan manusia. Lalu, sebabi apa mental manusia yang membuang ribuan bangkai babi ke Danau Siombak hingga menimbulkan dampak kemanusiaan yang akut?
Kembali ke Titik Pergi
Setelah semuanya pergi, maka kita akan kembali ke tempat kita pergi. Begitulah siklus kehidupan, kelahiran dan kematian membentuk lingkaran yang berulang. Kami pun tiba ke Museum Situs Kotta Cinna. Rehat sejenak, melanjutkan pertunjukan setelah pertunjukan. Kita mencacah tema 15.999 Tanda Tanya dengan dampak ekologi yang besar.
Baru kali ini saya melihat, setelah pertunjukan di sesion diskusi anak-anak tetap bertahan, seakan pertunjukan belum selesai. “Kalau air pasang, dulu kami sering mandi-mandi di Danau. Tapi udah sebulan kami gak pernah mandi-mandi di Danau karena ada bangkai babi,” itu statemen akhir anak-anak Paya Pasir sebelum kami ajak mereka pulang ke rumah masing-masing.
“Sampah dan bangkai babi yang menumpuk di Danau Siombak itu adalah kiriman dari hulu, bukan dari warga Paya Pasir. Air di Danau Siombak ini begitu dinamis, bisa tiba-tiba kotor lalu bersih seketika pula. Dipengaruhi pasang surut air,” ungkap Ichwan Azhari. Begitulah, sedinamis disharmoni dan harmoni yang keluar masuk dalam kenyataan hidup kita.
15.999 Tanda Tanya terus menghamburkan aroma bangkai di kepala kita. Bagaimana nasib Danau Siombak selanjutnya?
*penulis adalah pimpinan Teater Rumah Mata