Advertisement
Sindikat Aktor Jakarta mementaskan Pertja (sumber foto: Portal Teater) |
Menurut Mar McTigue, secara mendasar gaya penampilan teater terbagi menjadi 3, presentasional, representasional dan post-realistic. Terkait post-realis sudah dibahas dalam artikel sebelumnya (baca di sini). Dalam ulasan kali ini, PojokSeni akan membahas lagi terkait gaya akting presentasional dan representasional.
1. Presentasional
Teater Satu Lampung mementaskan Antrophodipus (Adaptasi dari naskah Oidipus di Kolonus karya Sopochles) |
Selain itu, ada penekanan lebih pada ekspresi wajah, juga gerak tubuh untuk dipertunjukkan pada penonton. Cara pembacaan naskah yang khas, bahkan oleh beberapa orang disebut mirip seperti membaca puisi. Yah, karena naskahnya juga memuat kata-kata yang puitis. Intonasi atau birama dari dialog begitu khas, dan seperti "dinyanyikan".
Tidak hanya itu, juga ada beberapa solilokui (bicara seorang diri), untuk mengungkapkan perasaan tertentu. Saat melakukan solilokui, aktor biasanya akan berdiri menyamping dengan posisi tangan diatur sedemikian rupa, kemudian wajah yang menatap ke arah atas. Setiap kalimat dipenuhi dengan emosi dan perasaan dalam kadar yang diinginkan naskah. Gaya tersebut merupakan gaya klasik, sehingga kerap disebut sebagai "akting presentasional klasik".
Ketika gaya teater ini diperkenalkan awal-awalnya, pertunjukan teater ditujukan pada seorang raja dan petinggi kerajaan. Meski, sejarah sempat mencatat bahwa William Shakespeare memiliki gedung pertunjukan sendiri dengan banyaknya penonton berasal dari kalangan umum, bahkan banyak pula grounding, namun gaya pertunjukan seperti ini tetap dipertunjukan pada siapapun penontonnya. Karena itu, dengan gaya pertunjukan semacam ini, teater memang ditujukan untuk penonton. Sehingga, gaya bicara yang digunakan selalu khas dan puitis, ditambah lagi dengan penekanan ekspresi dan gestur.
2. Representasional
Teater Trisakti mementaskan drama realis |
Dalam drama realisme, tidak ada pembacaan naskah yang seperti pembacaan puisi (seperti drama klasik dengan gaya presentasional. Gaya bicara mesti benar-benar mirip seperti asli, seperti ujaran sehari-hari. Maka, aktor terbiasa untuk mengulang-ulang kalimat atau kata-kata dalam naskah, agar menjadi kalimat sendiri dan mampu diungkapkan secara natural.
Tidak hanya itu, para aktor juga berada di dunianya sendiri, seakan-akan tidak ada penonton di depannya. Ada "dinding ke empat" atau fourth wall yang merupakan dinding imajiner pemisah antara penonton dan pemain. Karena dibuat semirip asli, ditunjang dengan artistik yang juga dibuat mendekati asli (bahkan mirip dengan aslinya), maka penonton akan dibuat ikut hanyut dalam cerita, seakan-akan berada di tempat (setting) yang sama dengan para aktor tersebut. Gaya akting satu ini digunakan untuk drama realisme dan gaya-gaya lain perkembangan dari realisme, seperti realisme selektif, realisme sugestif dan naturalisme.
Khusus aliran naturalisme (aliran realisme yang paling ekstrem), semua artistik adalah "barang asli" yang dibawa ke atas panggung. Maka gaya akting menjadi jauh lebih natural untuk aliran ini. Selain daging yang masih berdarah, dinding dengan bata dan semen, bahkan kendaraan seperti motor dan mobil juga ikut diangkut ke atas pentas.
Memilih Gaya Pertunjukan
Salah satu pementasan post-realis oleh Teater Senyawa |
Gaya akting yang dipilih tentunya seperti sedikit dibahas di awal, disesuaikan dengan naskah yang dipilih, atau dengan konvensi teater yang digunakan ketika naskah tersebut ditulis. Tentunya, Anda tidak bisa menggunakan gaya pertunjukan representasional untuk naskah Piramus dan Tisbih atau King Lear karya Shakespeare misalnya, karena makna dan pesan yang disematkan di dalam naskah tidak bisa dihadirkan sempurna tanpa gaya pertunjukan presentasional klasik.
Begitu juga, tentu akan menjadi lucu dan tidak masuk akal ketika menggunakan gaya pertunjukan presentasional klasik untuk naskah Anton Chekov, atau di Indonesia misalnya naskah Motinggo Busye. Naskah-naskah tersebut tentunya akan jauh lebih hidup dengan gaya pertunjukan representasional.
Tentu saja, kasus yang berbeda apabila Anda membawakan pertunjukan post-realis. Misalnya, membawakan naskah Samuel Beckett, tentunya pendekatan yang digunakan tidak menggunakan gaya representasional maupun presentasional. Gaya pertunjukan yang dipilih adalah post-realis yang bisa saja berupa gabungan dari kedua gaya pemeranan tersebut, bisa juga bentuk lain yang ditujukan untuk menguatkan penyampaian makna dan lain sebagainya. (ai/pojokseni.com)