Advertisement
pojokseni.com - Selain naskah The Balcony dan The Maids, ada satu naskah drama lagi karya Jean Genet yang memukau dan termasuk mahakarya dari tangan Genet. Lakon berjudul The Blacks, atau dalam Bahasa Prancis Les Negress dan ketika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi berjudul Negro. Ini merupakan naskah Genet yang menarasikan sebuah ritual kemarahan dan balas dendam dari kaum Negro terhadap khalayak kulit putih. Tentunya, kejadian yang melatari hadirnya naskah ini adalah tindak rasial dan diskriminasi yang menimpa kulit hitam di saat naskah ini ditulis. Meski kita harus akui, hingga hari ini saja, kejadian seperti itu masih kerap terjadi. Kejadian di Papua misalnya, yang merupakan buntut dari kejadian rasial di Surabaya. Naskah ini ditulis pada tahun 1957, dan versi Bahasa Inggris dari naskah ini "The Blacks" diterjemahkan oleh Bernard Frecthman dan terbit pada tahun 1960, oleh penerbit Grove Press, New York.
Demi mencapai hal yang disebut Genet sebagai "Raison de'etre" maka pertunjukan dari naskah ini mesti ditonton oleh orang-orang kulit putih. Hal itu ditulisnya di pembukaan naskah tersebut. Bila tidak ada orang kulit putih, maka gunakan topeng putih pada orang kulit hitam yang menonton. Bila tidak juga ada, maka harus ada boneka atau orang-orangan sebagai simbol orang kulit putih ada di antara penonton. Maka, bila merujuk ke keinginan Genet, harus ada setidak-tidaknya satu orang kulit putih yang mesti menonton ketika naskah ini dipentaskan. Kehadiran orang kulit putih (meski hanya simbol dengan orang-orangan) menjadi satu kewajiban untuk mementaskan karya ini.
Sedangkan aktor-aktornya, ketika pementasan pertama yang digelar Genet dulu, maka yang hadir adalah para aktor Negro. Tapi, mereka berdua terdiri atas dua kelompok, yang pertama adalah orang Negro (atau yang hadir sebagai orang Negro) sedangkan yang kedua adalah fantasi seorang Negro. Dalam hal ini, digambarkan dengan orang yang menggunakan topeng kulit putih dan tampil sedikit aneh, untuk seorang kulit hitam. Kembali lagi ke konsep "gedung cermin" Genet, maka orang Negro yang merepresentasikan kulit putih ini hadir sebagai cermin yang buram, atau cermin yang aneh, bagi seorang atau lebih kulit putih yang hadir sebagai penonton. Ini menjadi alasan kenapa harus ada orang kulit putih di antara penonton, setidaknya satu orang, atau setidaknya simbolnya saja.
Penonton ada yang dihadirkan di atas panggung (Negro yang menggunakan topeng kulit putih), dan penonton di bawah panggung (juga mesti ada kulit putih). Penonton yang di atas panggung, adalah orang Negro yang menggunakan topeng kulit putih. Maka penonton yang ada di atas hadir sebagai citraan fantasi dari kulit hitam yang bermain di atas panggung. Sebagaimana naskah-naskah Genet lainnya, The Balcony, The Maids, Deathwatch, dan lain-lain, semuanya menghadirkan satu hal yang identik, adanya citraan cermin/citraan fantasi dan citraan harapan dari seseorang. Khusus untuk naskah The Blacks, maka citraan yang dihadirkan adalah citraan fantasi seorang Negro yang dengan aneh merepresentasikan kulit putih.
Dimulai dengan pemeran pertama bernama Village. Ia adalah Negro yang dituding membunuh, korbannya adalah musuhnya sejak lama dan kemungkinan tindak pembunuhan itu terjadi ketika Village sedang mabuk minuman keras, di sebuah pelabuhan. Korban meninggal dengan cara dicekik oleh pelaku. Lalu, sebuah reka ulang dihadirkan. Korban kulit putih adalah wanita cantik dan montok, justru tertarik dengan Village. Lalu, mengajaknya ke tempat tidur, dan ternyata di tempat tidur itu dia dikasari oleh Village, dan dicekik. Pemeran kulit putih pertama itu adalah Diof, seorang pendeta kulit hitam. Yang kemudian, setelah reka ulang, ia kembali duduk di bangku penonton kulit hitam yang menggunakan topeng kulit putih.
Berlanjutlah adegan ke para Negro yang lain meluapkan kebencian, kemarahan, namun (sekaligus) rasa bersalah kepada Village. Kemudian, seorang Ratu dan Bangsawan (kulit putih yang diperankan kulit hitam) turun dari istana. Namun, mereka terperangkap di antara kulit hitam, terbunuhnya "kulit putih" secara memalukan itu menjadi aib, sehingga pelakunya perlu dihukum. Maka Village tadilah yang akhirnya mengalami akhir paling menyedihkan.
Begitu juga adegan lain, yang diperankan secara komikal bahkan "kebadut-badutan" untuk menggambarkan adegan representasi ritual fantasi Negro pada orang kulit putih tersebut. Untuk hal-hal tertentu, maka pementasan ini lebih berupa "ritual" ketimbang "pembahasan", apalagi pembahasan tentang warna kulit. Ada makna yang diungkapkan lewat tindak simbolis (yang diulang-ulang) sedangkan sebuah hal yang "pahit" justru disampaikan lewat cemoohan, komikal dan komedi badut. Maka tersajilah sebuah parodi yang aneh berbentuk ritual tersebut. Parodi aneh yang ternyata sebuah jebakan bagi penonton untuk masuk ke dalam gedung cermin Genet yang rumit. Melihat gambaran yang ada di atas panggung, maka penonton awalnya akan tertawa, tergelak dan terhibur. Kemudian, tersadar akan sesuatu yang terjadi, telah terjadi dan akan terjadi, tapi bukan di atas panggung, tapi di luar gedung teater. Yah, di kehidupannya sendiri.
Lihat ketika ada seorang pemeran bernama Newport News, seorang kulit hitam lainnya, sejak adegan pembuka sudah diusir dari panggung. Ia kembali lagi, lalu menyampaikan sebuah berita bahwa ada Negro yang telah diadili dan dieksekusi di tempat lain, karena berkhianat. Maka seluruh pemain dan penonton sekaligus, sama-sama tidak tahu apa yang terjadi dengan hal yang disampaikan Newport News. Sebab, berkhianat yang disebut Newport hanya satu, yakni membuka topeng "kulit putihnya" dan menampakkan diri kepada khalayak bahwa ia adalah kulit hitam atau Negro. Itu yang disebutnya sebagai "pengkhianatan". Ditambah lagi dengan kabar seorang revolusioner yang dikirim ke Afrika, bertugas untuk menghukum Negro yang berlaku semena-mena pada kulit putih, seperti Village. Sedangkan para revolusioner ini ternyata kulit hitam yang menggunakan topeng kulit putih. Menghukum sesama kulit hitam, juga meluapkan kebencian pada mereka yang semena-mena pada kulit putih.
Entah sengaja atau tidak, Genet justru melakukan pretensi politis di balik kabut ilusi pertunjukan badut-badutnya. Cerminan yang dihadirkan, justru memantulkan banyak tafsiran. Orang Negro yang ada di dalam naskahnya, tidak hanya mewakili orang Negro saja, tapi seluruh manusia yang "terbuang" dari sosialnya. Semacam penjahat, pekerja miskin, buruh, dan sebagainya. Maka bila kehilangan impian dalam dunia nyata, maka wujudkan impian tersebut hanya di kepala. Genet mencoba mewujudkan impian dari orang "terbuang" itu ke atas panggung. Di dunia nyata ditolak untuk mendapatkan martabat yang sama, maka emosi-emosi harapan itulah yang dicitrakan di atas panggung.
Bagaimana akhir dari The Blacks? Luar biasa, dalam kondisi yang serba ilusi, putus asa, lingkaran yang tak habis-habis, tak jelas ujung dan pangkalnya, Village dengan seorang lain bernama pemeran lain Virtue berada di atas panggung. Ada cinta terlihat dari keduanya, lalu keduanya meninggalkan "panggung ilusi dan fantasi" itu, berjalan membelakangi penonton dan menjauh. Lebih lanjut, Genet bahkan meminta lagu yang menarik, Minuet dari Don Giovani untuk mengiringi kepergian dua orang itu. Apakah itu berarti cinta dapat membawa seseorang keluar dari ilusinya? Atau akhir yang indah adalah sebuah harapan yang lebih baik dan menjauh ketimbang harapan-harapan yang dihadirkan di atas panggung? Meski hanya terkesan "memalingkan diri" namun setidaknya ada kans untuk itu. Genet yang biasanya tanpa harapan, memberi secercah harapan di drama ini.
Pentas ini pertama kali dipentaskan oleh Les Griots (kelompok teater Negro di Prancis) dengan sutradara Roger Blin pada tahun 1959. Pentas yang digelar di Theater de Lutece ini berhasil memukau publik, meski kritikus dan penonton sepakat bahwa mereka kebingungan dengan ceritanya. (ai/pojokseni)
Artikel ini adalah rangkaian dari artikel bertema PojokSeni: Pengantar Teater Absurd. Simak artikel dengan tema yang sama, dengan klik di pranala ini: Panduan: Pengantar Teater Absurd