Advertisement
Jean Paul Sartre |
pojokseni.com - Ketika kamu mencintai seseorang, maka kamu telah bersiap untuk berhadapan dengan kebebasan dan kemerdekaan seseorang itu. Hanya ada tiga kemungkinan, satu; membiarkan kebebasan dan kemerdekaan dari kedua belah pihak sama-sama tercerabut dari akar-akarnya. Dua; membiarkan kebebasan dan kemerdekaan kedua belah pihak saling tumpang tindih. Atau, tiga; ada salah satu yang menjadi "penjajah", mempertahankan kemerdekaannya, namun tak memberikan ruang bebas untuk pasangan. Sialnya, yang ketiga adalah yang paling banyak terjadi.
Manusia, dengan sikap individualnya, memosisikan diri sebagai subyek. Dan orang lain, siapapun itu, menjadi obyek. Keduanya bertemu dan saling mencintai (atau bisa kita sebut, saling menguasai). Lalu, cinta berubah menjadi penjara, saling memenjarakan.
Cinta dan harapan. Berjuta impian indah tentang cinta dan harapan. Ketika ingin memiliki seseorang, maka kamu pun berjanji akan menyerahkan diri dan duniamu pada pasangan. Lalu, kejadian berikutnya adalah, diri dan dunia pasanganmu yang justru kamu ambil. Seseorang yang menikah, pada akhirnya menyimpulkan dirinya telah terjebak di sebuah labirin baru yang aneh dan asing, "dunia pasangannya" atau "dunia orang lain".
Maka kalimat "Aku mencintaimu" bergeser maknanya menjadi "aku akan membelenggumu". Salah satu akan menjadi subjek, dan yang lainnya menjadi objek. Dalam satu kemungkinan terburuk, dua-duanya menjadi subjek atau dua-duanya menjadi objek. Bila masuk dalam kondisi "dua-duanya objek" maka itu berarti kehilangan eksistensi sebagai manusia.
Cinta yang hakiki adalah saling bahu membahu. Sialnya, itu baru terjadi bila kamu dan pasangan sama-sama memiliki tujuan yang sama, atau bila perlu "musuh yang sama". Musuh dari musuhku adalah temanku. Teman yang sejati, sehidup semati.
Banyak yang menganggap, pernikahan akan berakhir dengan kebahagiaan. Selain menahan syahwat bagi yang tak mampu membendung hasrat, pernikahan juga berarti pertemuan dua cinta. Lalu, meski masih berusia muda, bahkan sangat muda, terlalu banyak pemuda-pemudi yang mendambakan pernikahan itu.
Tapi, tujuan pernikahan memang untuk mengelola konflik. Manusia sebagai makhluk individualis, mesti bisa mengerem sifatnya, merasa diri sebagai subjek, karena ada sesuatu yang kita sebut dengan "tanggung jawab". Tidak hanya satu pihak, tetapi dua-duanya mesti mengerem, menahan diri. Lalu, jadilah kemungkinan bahwa dua-duanya menjadi objek. Masing-masing terkurung dalam dunia pasangannya. Masing-masing juga kehilangan eksistensi, gagal mempertahankan diri sebagai "subyek". Serba salah.
Hingga akhirnya, seseorang akan menyadari bahwa jalan menuju kebahagiaan memang tidak hanya lewat cinta dan pernikahan. Pernikahan tidak disarankan untuk Anda yang hanya ingin hidup bahagia. Maka wajar bila orang tua dulu menyebut konflik sebagai "bumbu" rumah tangga. Karena pada dasarnya, sifat utama dari cinta adalah "konflik". (ai/pojokseni.com)