Advertisement
Pementasan End Game oleh Teater Garasi Yogyakarta |
pojokseni.com - Bila bicara tentang nama Samuel Beckett, tokoh teater absurd asal Irlandia yang besar namanya di Prancis, maka akan bermuara ke satu mahakaryanya, Waiting For Godot. Waiting for Godot menjadi naskah yang memukau yang mampu menghadirkan "sisi lain" dari sebuah realitas kondisi manusia. Tentang betapa sebuah harapan dan doa, hanyalah pelarian semata atas penderitaan dan kesedihan yang sejatinya tak akan pernah hilang dari realitas hidup manusia.
Intuisi kreatif Beckett mengantarkan karya-karyanya dipandang memenuhi pandangan-pandangan ekstensialis Sartre, namun Beckett ternyata tidak begitu ingin diidentifikasikan dengan aliran filsafat manapun. Naskah itu terbuka untuk segala interpretasi, dengan ideologi, relijiusitas dan aliran filsafat manapun. Tapi, sesuatu yang berbeda dihadirkan lewat sebuah mahakarya Beckett lainnya, End Game (Akhir Permainan).
Naskah End Game menjadi salah satu naskah populer karya Beckett, meski harus kita akui, kepopulerannya tidak sama dengan Waiting for Godot. Kesamaan antara kedua naskah ini adalah, Beckett memperkuat keterkaitan antara perasaan "keniscayaan" dengan "absurditas".
Kedua hal itu, berada di dua sisi mata uang yang saling berkaitan, tapi sekaligus saling bertolak belakang. Sangat tidak mungkin seseorang merasakan perasaan keniscayaan, bila di baliknya tidak diikuti dengan perasaan absurditas. Begitu juga sebaliknya.
Kembali ke naskah End Game, yang ternyata memberikan gambaran tentang "dua sisi mata uang" apalagi bila dibandingkan dengan naskah Waiting for Godot. Menurut Martin Esslin, dalam bukunya berjudul The Teater of Absurd (1957), ia mengungkapkan beberapa hal yang kontradiktif dari kedua naskah itu. Berikut beberapa di antaranya:
- Setting Waiting for Godot adalah jalanan lebar, terkesan luas, dengan hanya satu batang pohon. Sedangkan End Game, justru di suatu ruang yang sempit, tertutup dan gelap dengan hanya ada dua jendela.
- Waiting for Godot terdiri dua gerakan simetris, yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan, (terdiri dari dua babak). Sementara End Game terdiri dari satu babak, menampilkan sebuah mekanisme yang terhenti.
Sedangkan kesamaan dari dua naskah tersebut adalah menghadirkan "pasangan" yang saling berkaitan dan simetris.
End Game dan Kemiripan Adegan Terakhir dengan The Teater of Soul
Samuel Beckett menyutradarai End Game |
Cerita tentang Clov, Hamm, Nag dan Nel dalam naskah End Game selalu diwarnai dengan kahadiran tong/kotak besar, dua jendela dan tangga. Ini adalah setting yang pertama kali muncul, dalam sebuah pementasan yang (kononnya) disutradarai oleh Samuel Beckett sendiri. Hasilnya, berbagai pentas naskah End Game di berbagai belahan dunia, akan mengikuti pentas pertama ini.
Hamm adalah seorang lelaki buta dan lumpuh yang duduk di kursi roda. Clov adalah pelayannya, yang (justru) tidak bisa duduk. Sedangkan Nag dan Nel adalah dua orang tua Hamm yang tidak memiliki kaki. Keempat orang itu hidup terisolasi dalam ruang sempit, sedangkan di dunia luar (berdasar keyakinan 4 orang itu) semuanya sudah mati.
Clov sangat membenci Hamm. Dia menganggap Hamm sebagai seorang yang merasa diri sebagai pemimpin, mendominasi, angkuh dan ingin memuaskan diri sendiri. Clov mesti mengikuti semua perintahnya, tapi kenapa Clov tidak pergi?
Bila Clov pergi, maka Hamm mati. Hamm hanya bisa duduk diam, karena dia lumpuh. Satu-satunya yang bisa memberinya makan hanya Clov. Tapi, karena meyakini bahwa di luar sana sudah tidak ada orang lagi, (semua sudah mati), maka bila Clov pergi dia juga akan mati. Kepada siapa dia akan meminta makan?
Dia tidak pergi, maka dia tidak memilih mati. Ingat di Waiting For Godot, bahwa Estragon dan Vladimir berkali-kali memilih mati, namun gagal?
End Game |
Clov berulang-ulang ingin meninggalkan Hamm. Ia bahkan berkata bahwa ia sudah ingin meninggalkan Hamm sejak kecil. Bahkan orang tua Hamm, yakni Nell, juga pernah meminta Clov secara diam-diam untuk meninggalkan Hamm. Bahkan ketika Clov mengintip lewat teleskopnya, (satu-satunya cara menyaksikan dunia luar), ia melihat seorang anak kecil. Yah, ada kehidupan di luar sana, satu yang selama ini tak pernah mereka yakini. Mereka hanya berkurung diri di dalam sekat dinding yang mengurung mereka sendiri.
Sebenarnya, itu adalah harapan. Clov menemukan seorang anak kecil berada di luar ruangan mereka (dan hidup!), berarti bisa membuatnya mengumpulkan tenaga untuk pergi meninggalkan Hamm. Benar, Clov mengumpulkan itu, dan menyiapkan semuanya untuk pergi jauh. Hamm yang lumpuh, dan orang tuanya yang ada di dalam tong sampah, tak akan mampu menghentikannya.
Namun monolog terakhir Hamm justru menghentikan langkahnya. Si buta dan lumpuh Hamm, bukannya dengan kata-kata menghentikan kepergian Clov, tapi dengan mengiba diri. "Aku katakan pada diriku bahwa dunia sudah mati, sekalipun aku tidak pernah melihatnya hidup. Aku akan cuek saja, seandainya aku jatuh, aku akan menangis dalam kebahagiaan," itu monolog terakhirnya yang justru memaku kaki Clov dengan kuat ke lantai.
Layar perlahan turun, pertanda pertunjukan selesai. Tapi, apakah Clov sudah menentukan pilihannya ketika layar bahkan tertutup penuh? Tidak, ia masih mematung. Entah, apabila drama itu dilanjutkan, masih belum jelas ia masih akan pergi atau tidak. Jelas, ada pertarungan psikologis dalam tubuhnya.
Tapi, Martin Esslin, masih dalam buku yang sama "The Teater of Absurd" menangkap adanya kemiripan antara akhir cerita End Game dengan sebuah naskah berjudul The Teater of Soul karangan Nikolai Evreinov yang terbit tahun 1915. Meski naskah ini tidak begitu dikenal, namun dianggap sebagai naskah penting karya dramawan asal Rusia tersebut.
Ada perang psikologis, tulis Esslin, dalam tubuh seseorang pemeran bernama Ivanov dalam naskah tersebut. Ia (tubuhnya) hanya duduk di sebuah kafe. Namun pikirannya sedang berperang dan berkecamuk. Ia bingung ingin pergi meninggalkan istrinya (yang sudah semakin berkurang ia cintai) dan pergi bersama seorang penyanyi malam yang ia cintai (dan mencintai dia) atau kembali pada istrinya dan kembali menjalani hidup seperti biasa, aman meski tidak nyaman.
Akhir dari pergolakan batin tersebut bukanlah sebuah keputusan. Ia memilih bunuh diri dengan senjata api, dan rohnya yang memilih untuk pergi, meninggalkan istrinya sekaligus penyanyi malam.
Terlepas dari kemiripan yang disangkakan oleh Esslin, naskah Endgame dengan segala kekayaan anehnya: setting ruang sempit, tong sampah, tokoh yang cacat, Clov yang pikirannya berkecamuk, dan sebagainya juga memberi ruang untuk interpretasi, meski tidak "sebebas" Waiting for Godot. Bila beberapa orang justru menggambarkan naskah itu sebagai "ketercerai-beraian diri seseorang ketika menghadapi kehancuran/kematian" ternyata masih kurang mampu menjawab dengan definitif.
Dan akhirnya, naskah End Game beserta karya-karya Beckett lainnya memang sebuah karya yang mesti diinterpretasikan dalam berbagai layer makna, berlapis-lapis dan universal, mesti dilepas dari segala macam unsur latar sosial. End Game, memang tidak lagi mengeksplorasi tingkat dasar dan permukaan, ia sudah langsung menembus ke jantung. Karya ini juga memang bukan sebuah imajinasi imitatif, tapi sebuah imajinasi yang lahir dari intuisi kreatif seorang Beckett. (ai/pojokseni)