Advertisement
pojokseni.com - Karya-karya Samuel Beckett, mencoba mengekspresikan kesukaran mencari makna di dunia yang perubahannya terus terjadi secara konstan, tidak berhenti, terus berputar-putar, sirkular dan tiada akhir. Oleh karena itu, Beckett menemukan bahwa bahasa menemui satu titik buntu: ketidakmampuan dan keterbatasan menjadi penyampai pesan tertentu yang sudah melampaui tahap konseptual. Sebagaimana pengenalan obyek alami dalam lukisan, untuk melampaui tahap perkenalan itu, lukisan dengan obyek alami ternyata tak mampu melakukannya.
Bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi, juga sebagai media ekspresi pernyataan, makna dan instrumen penyampai atau mendapatkan pengetahuan. Namun, hal berbeda yang dilakukan Beckett, bahwa makna justru tidak disampaikannya lewat bahasa, tapi lewat wahana dramatik. Bisa dikatakan, Beckett telah melampaui bahasa, menemukan sarana ekspresi yang tepat untuk menyampaikan apa yang dia inginkan, namun realitas yang disampaikannya justru berada di balik bahasa.
Dalam "Waiting for Godot" misalnya, ketika kedua gelandangan itu berkata "Mari kita pergi" faktanya mereka bahkan tidak bergerak dari posisi itu. Ada hubungan kontrapuntal antara bahasa dan laku di atas panggung, yang menjadi penguat apa yang hendak disampaikan di balik kata-kata itu. Mimik, ekspresi, gestur, kebisuan, dan semua yang digunakan Beckett di atas panggung, saling tumpang tindih dengan bahasa, justru menjadikan keterbatasan bahasa menjadi kekuatan yang baru.
Niklaus Gessner, menuliskan dan mentabulasikan berbagai macam disintregasi bahasa dalam berbagai karya Beckett, khususnya di "Waiting for Godot". Mulai dari kata-kata yang bermakna ganda (double-entendres), kesalahpahaman sederhana, tanda ketidakmampuan berkomunikasi, pengulangan sinonim, kata-kata yang tak punya makna (klise), kata yang tidak tepat dengan gambaran situasi, gaya telegrafik, kalimat atau bahasa yang kehilangan struktur gramatikal, kalimat omong kosong, hilangnya tanda baca, hingga pertanyaan retorik.
Baca juga:Semuanya menggambarkan disintergrasi bahasa, yang dengan sengaja digunakan Beckett untuk penyampaian makna. Keterceraiberaian bahasa tersebut menegaskan ketidakadanya pertukaran pemikiran dialektis seperti yang sewajarnya digunakan oleh seseorang dengan orang yang lain dalam berkomunikasi melalui bahasa.
Tapi, lihat dengan jelas bagaimana penegasan-penegasan melalui keterceraian bahasa hadir sebagai "tanda". Lihat beberapa contoh berikut ini:
- Pertanyaan "Apakah kau bahagia?" yang ditanyakan pada seorang anak pembawa pesan dari godot dijawab "Aku tidak tahu" (Waiting for Godot)
- "Baik, aku langsung lupa ataupun aku tidak pernah lupa" (Waiting for Godot)
- "... celoteh, celoteh kata-kata, seperti anak soliter yang mengubah dirinya menjadi anak-anak, dua, tiga, sehingga bersama-sama saling berbisik di kegelapan," (End Game)
Masih banyak contoh disintegrasi bahasa formal yang ditemukan dalam karya-karya Beckett, seperti dalam "Krapp's Last Tape", "All That Fall" dan "Embers". Serta beberapa karya yang lainnya.
Martin Esslin menyimpulkan bahwa pemakaian bahasa khas Beckett tersebut sengaa dirancang dengan tujuan menurunkan nilai bahasa sebagai sarana pemikiran konseptual. Bahasa juga dihindari atau bahkan ditolak sebagai media komunikasi dengan jawaban yang sudah terbiasa dan sudah ada. Nyata bahwa disintegrasi bahasa adalah media Beckett untuk mengomunikasikan hal yang tidak bisa disampaikan lewat bahasa. Meski disebut paradoks, namun tetap masuk akal.
Kesadaran atas realitas yang ada di balik penalaran-penalaran dan pengertian konseptual adalah satu hal yang menjadi pencarian Beckett melalui karya-karyanya. Meski dia juga disebut seorang maestro penggunaan bahasa sebagai media artistik. Namun, ia justru menambahkan dimensi baru pada bahasa dan menjadikan bahasa justru sama dengan musik latar, yakni sebagai pengiring lakuan. Dan melalui lakuan (yang diiringi bahasa) itulah, ia melakukan "tour de force" yakni langsung berdampak pada penonton, dan melampaui tahap pemikiran konseptual. (ai/pojokseni)