Advertisement
(Pertunjukan Teater bertajuk “Bukik Tui” karya/sutradara Frisdo Ekardo) |
pojokseni.com - Berpijak
pada teori Darwin, sejak 4 miliar tahun yang lalu manusia telah berevolusi
secara natural melalui proses seleksi alam. Manusia mengalami perubahan
biologis yang dapat teridentifikasikan melalui struktur tubuh yang dimilikinya.
Revolusi kognitif telah berhasil mengubah manusia kera (primitif) menjadi
manusia modern. Pada tahap ini, perkembangan manusia modern dari manusia
primitif sangat signifikan. Dari manusia primitif yang memiliki kadar
intelektual rendah dan memiliki tingkah laku masih menyerupai binatang, menuju
manusia modern yang cerdas.
Berkembangnya
kecerdasan manusia ternyata tidak hanya memberikan sebuah kemajuan, tetapi juga
menawarkan sebuah resiko yang besar. Perkembangan kecerdasan manusia ditandai
dengan revolusi industri, dimana seluruh aspek kehidupan manusia berkembang dan
mengalami perubahan secara besar-besar. Sebuah era baru telah lahir,
dimana modernitas membuat roda zaman
berputar kian tak terkendali dan menggilas manusia-manusia yang tidak siap
untuk berhadapan dengan era modern.
Modernitas telah
melahirkan manusia-manusia yang konsumtif, pragmatis, hedonis dan matrealistis,
sehingga kapitalisme menjadi salah satu aktor determinasi modernitas. Inilah
dampak negatif yang dibawa oleh gelombang modern, dimana manusia modern semakin
kehilangan kemanusiaannya. Untuk sebuah kepentingan, manusia akan saling
menindas, mengatur, memaksa, membunuh sesama manusia. Seperti yang dikatakan
oleh Karl Marx, bahwa modernisasi semakin memperluas jurang ketidaksetaraan
antar manusia dan berpotensi membuat manusia semakin berjarak dari manusia
lainnya.
Kritik atas dapak
negatif dari modernitas inilah yang menjadikan ide penciptaan karya dari
pertunjukan teater Bukik Tui karya/sutradara
Frisdo Ekardo. Pertunjukan teater yang berdurasi 50 menit ini merupakan karya
Tugas Akhir Mahasiswa Pascasarjana Institut Seni Indonesia, dengan minat
Penciptaan Seni Teater. Karya Bukik Tui
ini dipentaskan di Gedung Pertunjukan Hoerijah
Adam pada tanggal 18 Juni 2019 pukul 20:00 WIB. Teater eksperimental berbasis
riset ini mendapatkan bimbingan dari Dr. Sulaiman Juned, M.Sn dan Dr. Edwar
Zebua M.Pd.
Bukik
Tui menceritakan tentang lelaki tua yang bernama Jang dan berkerja sebagai
penambang kapur di Bukit Tui. Jang adalah tokoh perwakilan dari para penambang
kapur yang telah tersungkur menjadi korban revolusi idustri. Jang bersama para
penambang lainnya adalah saksi, dimana manusia dipaksa bekerja seperti sapi
perah untuk kemakmuran manusia lainnya. Jang adalah salah satu contoh dari
manusia yang tergilas roda zaman karena tidak mampu melawan modernitas.
Frisdo
sebagai pengkarya membaca fenomena sosial yang tragis di Bukit Tui sebagai ide
karyanya. Dimana fenomena ini seakan tertutup kabut tebal dan tersembunyi
dibalik bongkahan-bongkahan kapur di Bukit Tui. Melalui karya teater Bukik Tui,
kiranya Frisdo ingin membawa keadaan yang sesungguhnya yang terjadi di balik
Bukik Tui ke permukaan publik. Tidak hanya itu saja, Frisdo juga mengajak para
penonton untuk kembali mengkritisi modernitas secara rasional dan logis untuk
kebutuhan menjadi manusia yang seutuhnya.
Eksplorasi Tubuh Pantomim
Hal berbeda ditawarkan
oleh Frisdo dari karya Bukik Tui-nya, dimana Frisdo menggunakan tubuh pantomim
sebagai media ucap dan media penyampaian makna. Frisdo melakukan eksplorasi terhadap seni
pantomim dan memberikan tawaran baru dalam bentuk teater eksperimental. Tubuh
pantomim ditata ulang, dibongkar dan direkonstruksi oleh Frisdo, kemudian
disusun kembali dalam pola yang baru untuk kebutuhan karyanya.
Pantomin yang biasanya
berangkat dari kisah-kisah yang sederhana dengan gerakan-gerakan yang lucu dan
komunikatif. Di tangan Frisdo, pantomim dapat membawa pesan yang jauh lebih
dalam dan filosofis. Sungguhpun begitu, Frisdo tetap tidak menghilangkan ciri
khas pantomim yang lucu dan karikatural. Sehingga pesan yang ingin disampaikan
oleh Frisdo berhasil tersampaikan melalui spektakel yang mencuri perhatian. Melalui karya ini, Frisdo telah mematahkan
paradigma klasik yang menganggap pantomim hanya sekedar pertunjukan hiburan
yang hanya mengutamakan kelucuan saja.
Sayangnya, para aktor
Bukik Tui memiliki teknik gestur pantomim yang berbeda, ketimpangan inilah yang
membuat kesatuan dan kepadupadanan karya menjadi terganggu. Ketidakseimbangan
teknik dari para aktor sangat kentara terlihat pada peritiwa yang menggunakan
pola-pola rampak. Meskipun tidak mengganggu jalannya cerita, tetapi sebagai kebutuhan
spektakel, teknik aktor yang tidak balance
cukup disayangkan.
Frisdo juga tidak
menggunakan rias topeng khas pantomim untuk aktor-aktornya, keputusan ini
tentunya cukup berisiko. Dimana setiap mimik dan ekspresi para aktor tidak
dapat tertangkap dengan jelas oleh penonton. Hal ini tentunya sedikit menggangu
hubungan emosional antara spektakel dan spektator, karena para penonton
kesulitan untuk menangkap perasaan yang disampaikan oleh aktor. Pilihan rias
tersebut tentunya sangat krusial pada pertunjukan yang menjadikan pantomim
sebagai basis, karena selain bahasa tubuh, mimik wajah juga menjadi elemen
penting bagi pantomim.
Secara keseluruhan,
pertunjuakan teater Bukik Tui berhasil menyita perhatian penonton untuk tidak
berpaling dari awal hingga akhir pertunjukan. Gimmick, suspense dan surprise yang ditawarkan Frisdo terasa
begitu tergarap, inilah yang menjadi alasan penonton tetap betah dan terbawa
ikut ke dalam cerita. Melalui karya Bukik Tui, Frisdo berhasil memberikan
sebuah tawaran baru pada bentuk karya pantomim. (isi/pojokseni.com)