Advertisement
pojokseni.com - Musik adalah bahasa yang universal. Karena itu, musik selalu kompatibel dengan segala zaman, mulai dari era fonotograf, kaset tape, kaset CD, sampai era streaming seperti saat ini.
Setiap generasi memiliki musiknya sendiri, begitu pula pemusiknya. Era tahun 60-an sampai 70-an, Led Zeppelin, The Beatles, sampai Bee Gees memiliki banyak pendengar, dan konsernya selalu berjubel. Era 80-an milik band-band ajaib seperti Queen, Rolling Stones, Eagles, Deep Purple dan banyak band-band keren lainnya. Seperti pendahulunya, band-band ini juga punya penggemar sendiri, dan selalu memenuhi tempat konsernya.
Naik lagi ke era 90-an ketika band semacam Gun n Roses, Oasis, Bon Jovi, Skidrow, Red Hot Chili Peppers dan banyak nama lainnya merajai musik dunia. Bahkan beberapa nama tersebut pernah menggelar konser di Indonesia. Setelah itu, era awal 2000-an masih hadir lagi band-band yang ikonik, seperti Linkin Park, Limp Bizkit dan banyak nama lainnya.
Tahun 2000-an di Indonesia, juga musik sedang semangat-semangatnya. Band-band besar Indonesia banyak menelurkan masterpiece-nya di era itu. Dewa 19, Gigi, Padi, Sheila on 7 dan band-band yang kerap bersliweran di berbagai stasiun TV, radio dan kaset hingga di pinggir jalan. Konsernya juga selalu dipenuhi massa, semua bergoyang ikuti irama.
Baca Juga:
Kebetulan, penulis mengikuti beberapa konser seperti Dewa 19 yang dibuka oleh Ratu (mas Ahmad Dhani masih mesra dengan mbak Maia), ada band keren Funky Kopral dan banyak nama-nama lainnya. Di era itu juga, nama Peterpan dan Ungu muncul sebelum akhirnya menjadi band besar di negeri ini.
Menonton konser, sangat berbeda rasanya dengan mendengar lewat kaset, atau menonton di televisi. Sebuah hal yang tak bisa dikalahkan, meski oleh teknologi, yakni interaksi tubuh (tentang interaksi tubuh akan dibahas dalam artikel lainnya). Menonton konser memberikan sensasi yang berbeda, menikmati musik yang dimainkan langsung, menjadikan kepuasan tersendiri ketika mendengarkan musik.
Di era milenial, band-band baru juga bermunculan, meski didominasi oleh boyband. Tapi, konser mereka juga dipenuhi massa. Nama-nama "pemain lama" seperti yang disebutkan di atas, juga sering menggelar konser dan penontonnya tak pernah sepi.
Tapi, ada hal yang berbeda dengan menonton konser di tahun 2000-an ke atas, dengan era milenial ini. Bisa dikatakan, kenikmatan dan kepuasan menikmati musik lewat menonton konser itu terakhir bisa dinikmati di tahun 2000-an. Sebelum muncul sebuah benda yang merusak segala, bernama "smartphone".
Apa saja yang berbeda?
1. Lebih banyak videografer dan fotografer, ketimbang penikmat musik.
Yah, ini satu yang mengurangi nikmatnya nonton konser musik di era milenial ini. Anda akan melihat ratusan bahkan ribuan orang mengangkat tangannya ke atas, sebuah smartphone menengadah, mengarah ke panggung. Alih-alih menikmati musik, Anda justru akan menikmati pemandangan ratusan smartphone di udara.
Terakhir, Anda akan melihat video amatir tersebut diunggah ke Youtube atau mungkin sosial media mereka masing-masing. Apakah mereka akan menikmati musik dengan fokus, konsentrasi dan meresapi setiap nadanya? Saya rasa tidak.
2. Lebih banyak menikmati wajah ketimbang musik
Ada jutaan orang berjubel datang ke sebuah konser. Hanya ada satu alasan, yakni menikmati musik. Tapi sayangnya, itu dulu. Sekarang, lebih banyak yang menikmati wajah cantik, atau wajah tampan dari pemusiknya. Itulah alasan kenapa konser boyband dan girlband selalu dipenuhi manusia.
Fredy Mercuri yang tidak masuk kategori tampan, bila berada di era ini dan Queen baru memulai karirnya di tengah gempuran boyband itu, rasanya akan sulit berkembang.
Apa kerugiannya? Anda mungkin bisa mendengar teriakan massa melantunkan lagu yang dinyanyikan saat konser. Tapi, masih akan kalah dengan jumlah teriakan kaum hawa meneriakkan nama vokalis tampan.
3. Banyak Lipsync
Ini satu lagi hal yang tak bisa dimaafkan. Pernahkah Anda menonton konser, tapi yang Anda lihat bukan orang yang bermain musik atau bernyanyi, justru, yang terlihat adalah segerombolan orang berjoget sensual, dengan lagu yang diputar di belakangnya?
Jadinya, persis seperti melihat seorang berjoget atau menari. Tidak ada yang salah sebenarnya. Tapi menjadi salah bagi orang yang datang bukan untuk menikmati tarian, tapi untuk menikmati musik. Musik yang didengar, bukan dilihat.
Itu beberapa hal yang menjadikan konser musik di era milenial menjadi kurang greget dibandingkan konser musik di era 2000-an ke atas. Apakah Anda juga merasakannya? (ai/pojokseni.com)