Advertisement
pojokseni.com - Era teknologi 4.0 memaksa seluruh negeri di atas planet bumi ini untuk melakukan sejumlah percepatan, kalau tidak mau ditinggal di gerbong belakang. Negara adikuasa, dan negara produsen, kerap disebut negara pertama dan kedua, sudah lebih dulu berlari laju meninggalkan negara-negara berkembang (atau sering pula disebut, negara ketiga). Termasuk salah satunya, tanah air kita tercinta yang sedang asyik digoyang-goyang berbagai patogen, semakin meruncing pasca pilpres.
Tapi, percepatan di negara ketiga harus berjalan lebih cepat, kata pemerintah. Itu bisa disetujui, karena tak ada yang mau tinggal di negara miskin lagi terbelakang. Untuk itu, sendi-sendi yang dapat menghidupkan negara sedang digenjot sampai titik batasnya. Salah satu di antaranya, seni dan (tentunya) seniman.
Dulu, apalagi di daerah "ketiga" di negara "ketiga", seniman bukan sebuah profesi. Seniman, bagi masyarakat menghadirkan sebuah stereotype. Dikatakannya seniman adalah gambaran paling pas untuk jadi contoh buruk di masyarakat: gondrong, pakai anting, pakai tatto, suka mabuk, pengangguran, dekil, eksentrik, dan tak disiplin.
Kecele, karena sekolah tinggi seni melahirkan seniman-seniman yang berambut pendek, tidak pakai anting, tidak ada tatto, tidak merokok, tidak suka mabuk, rapi jali, harum dan necis, serta disiplin tinggi. Maka orang-orang seperti itu dianggap bukan seniman, tapi pengangguran yang berstatus sarjana.
Faktanya, sejumlah kegiatan dibuat oleh pemerintah, khusus untuk seniman. Mulai dari Seniman Mengajar, Gerakan Seniman Masuk Sekolah, Seniman Masuk Desa, Beasiswa Seni, Residensi, sampai yang paling terakhir dan sedang disusun programnya, Sertifikasi Seniman.
Program yang paling terakhir disebutkan, mau tidak mau, menghadirkan pro-kontra. Lebih lanjut, sepertinya yang akan terlebih dulu terpapar "sertifikasi" adalah para sarjana seni, baik teater, musik, tari, rupa dan sebagainya. Sertifikasi, bukan wacana baru, dan sejak dipaparkan pada publik itulah, pro-kontra dimulai.
Sebenarnya, untuk menjadikan seniman sebagai profesi yang sesungguhnya, bukan sekedar hobi, maka sertifikasi seniman menjadi hal yang wajib. Sertifikat tersebut bahkan akan ditanyakan ketika seniman yang terkait akan pentas ke luar negeri, misalnya. Sebuah grup tari dari Indonesia beberapa waktu yang lalu, akan pentas di luar negeri, lalu pihak setempat mempertanyakan sertifikat seniman yang akan pentas di sana. Hal itu memicu pembicaraan yang serius terkait sertifikasi seniman ini. Hanya, pertanyaan yang muncul kemudian, siapa yang yang memberikan sertifikasi? Lembaga apa yang berwenang mengeluarkan sertifikasi bagi seniman?
Sejumlah Seniman Senior Ikuti Pelatihan dan Pembentukan Assesor Sertifikasi Seniman
Direktorat Kesenian, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bertindak cepat dengan melakukan pelatihan bagi assesor kompentensi bidang seni. Pelatihan ini digelar di Ubud, Bali, beberapa waktu lalu. Berikut nama-nama asesor "generasi pertama" yang mengikuti pelatihan tersebut:
- Nano Riantiarno,
- Tisna Sanjaya,
- Benny Yohanes,
- Subarkah,
- Rima Ananda,
- Koes Yuliadi,
- Nanang Arisona,
- Citra Smara Dewi,
- Mikke Susanto,
- Sudjud Dartanto,
- Melati Suryodarmo,
- Joko Dwi Avianto,
- M. Sigit Budi Santoso,
- Sari Madjid,
- Retno Dwimarwati,
- Adam Wahida,
- Ponimin,
- Suhendi Afriyanto,
- Otto Sidharta,
- Suyanto,
- Cahya Hedi,
- Yayat Hidayat K.,
- Asep Nata,
- Deni Hermawan
Deretan nama seniman senior Indonesia tersebut akan menjadi asesor sekaligus yang melakukan uji kompetensi pada seniman.
Sistem dan Metode Sertifikasi Kompetensi Seniman
Sistem sertifikasinya sederhana, pertama memastikan dulu bahwa keahlian tersebut digunakan atau terkait dengan kepentingan pengguna di bidang industri. Kemudian, memastikan bahwa profesi tersebut berguna untuk tempat kerja yang diinginkan.
Setelah itu, baru dilakukan pengujian kompetensi seni dari seorang seniman (ataupun calon seniman). Uji yang dilakukan adalah uji kompetensi dan portofolio. Uji kompetensi dengan standarisasi dilakukan untuk menyetarakan kompetensi seniman, mulai dari sikap, pengetahuan dan keterampilannya. Tentu saja, seniman yang berasal dari jalur pendidikan seni secara formal, maupun lainnya (non-formal) akan mendapatkan standarisasi yang berbeda.
Kemudian, bagi seniman baru, terutama yang rekam jejaknya masih perlu diuji lagi, maka dilakukan uji kompetensi dengan metode observasi-demonstrasi serta tes lisan. Hal itu ditujukan untuk memastikan kompetensi yang mereka miliki, sekaligus memetakan kluster profesi bidang seni.
Hal yang berbeda akan didapatkan bagi seniman yang secara kontinyu dan rutin terus melakukan proses kesenian selama minimal 5 tahun berturut-turut. Portofolio mereka akan diperhatikan dengan baik, dan dari portofolio itu juga dinilai sejauh mana profesionalisme seniman tersebut. Untuk melengkapinya, akan ada wawancara yang cukup untuk melengkapi bukti uji kompetensi tersebut.
Sekarang, apabila Anda pekerja seni, kembali pada diri Anda. Apakah Anda ingin mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi tersebut? Tentunya, sertifikasi ini menjadi prasyarat untuk pementasan di luar negeri dan prasyarat lainnya. Tapi, bila tidak ingin mengikutinya, rasanya juga tidak ada paksaan. Toh, penonton juga tidak peduli apakah seniman yang pentas itu tersertifikasi atau tidak. Namun, bila (mungkin) akan ada perbedaan tertentu dengan seniman yang tersertifikasi dalam berbagai hal, hal itu harus diterima dengan lapang dada bagi seniman yang ogah ikut sertifikasi ini. (ai/pojokseni)