Advertisement
pojokseni.com - Baru-baru ini, sejumlah warganet Indonesia menandatangani petisi boikot film bertajuk Kucumbu Tubuh Indahku karya sineas kenamaan Indonesia, Garin Nugroho. Petisi berjudul "Gawat! Indonesia sudah memproduksi film LGBT dengan judul Kucumbu Tubuh Indahku" diunggah ke situs Change.org dan ditandatangani sekitar 68 ribu orang.
Seperti yang sudah-sudah, boikot tersebut dijawab dengan pelarangan film itu di berbagai daerah. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga disurati, berdasar petisi, yang intinya bersikeras film itu harus dihapuskan. Alasannya, merusak moral bangsa yang relijius ini.
Kembali sedikit ke beberapa bulan yang lalu, iklan dari salah satu toko daring yang memuat 4 anggota girlband asal Korea juga kena boikot. Petisi yang ditandatangani 75 ribu orang itu menganggap rok mini dan "aurat" yang ditampilkan empat gadis muda dari negeri Ginseng itu. Boikot tersebut juga berakhir dengan pelarangan.
Buku-buku yang "berbau" komunis juga tak luput dari aksi boikot-boikot dunia maya. Bahkan ada beberapa organisasi yang membawa nama agama melakukan penggerebekan ke sejumlah perpustakaan, bazar buku dan pameran buku untuk mencari buku "terlarang" itu.
Setelah buku dan film, masih ada juga pertunjukan teater dan diskusi yang terkena dampak dari boikot-boikot ini. Pertunjukan teater Tan Malaka misalnya yang pernah digeruduk massa karena berbau "komunis". Begitu juga dengan "LadyFest" di Yogyakarta karena dianggap mendukung LGBT. Intinya, komunis, LGBT, dan sebangsanya harus dilenyapkan dari muka bumi, sedangkan boikot, grebek dan gruduk adalah bentuk jihad untuk menumpas keangkaramurkaan itu.
Tapi, tunggu dulu. Kembali ke film Garin Nugroho yang terimbas boikot paling anyar ini. Apa yang sebenarnya diceritakan oleh film yang dinyatakan terlarang oleh "68 ribu penandatangan petisi ini?"
Cerita yang diangkat tentang seorang penari Lengger Lanang, salah satu kesenian yang nyaris punah, karena termasuk seni tradisi lintas gender. Tentu sangat berpotensi di-BGG (Boikot, Grebek, Gruduk) oleh orang-orang yang tak ingin kehidupan yang indah nan relijius ini diganggu dengan LGBT. Pornografi, Komunis dan Antek Aseng.
Para penari Lengger Lanang memilih berhenti, ketimbang harus berdiri menantang isu LBGT. Hasilnya, kesenian tradisi yang sudah ada sejak zaman kerajaan ini musti siap-siap untuk dihapuskan dari cerita hidup masyarakat yang modern sekaligus agamais ini. Seni tradisi yang siap-siap untuk menjadi sejarah.
Garin Nugroho (mungkin) memandang hal itu sebagai sesuatu yang seksi untuk diangkat ke layar kaca. Sebuah perjalanan seorang penari Lengger yang menemukan keindahan, makna dan hal-hal yang menggetarkan jiwa dalam kehidupannya, lewat tarian. Sampai di sini, rasanya cukup untuk menggambarkan bahwa film ini sudah memiliki misi kemanusiaan dan kebudayaan di dalamnya. Namun, karena sudah diboikot puluhan ribu jiwa, mau apalagi?
Keadilan Itu Buta, dan Tak Ada Kebenaran Hakiki
Keadilan itu buta, ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Maka, keadilan hanya akan memandang ke satu pihak yang lebih banyak fakta dan buktinya. Kadang, keadilan akan memihak ke bagian mana yang lebih banyak orangnya.
Begitu pula dalam beberapa kasus BGG (Boikot, Grebek, Gruduk) yang disebutkan di atas. Mulai dari film, buku, pertunjukan teater sampai diskusi pernah di-BGG. Apa tujuan orang-orang melakukan BGG? Hanya satu, melindungi moral dan akhlak. Subhanallah. Mulia sekali, kan?
Ini juga menjadi bukti bahwa warga Indonesia tetap beringas, seperti dulu kala ketika media sosial masih belum ada. Kebiasaan penghakiman massal sudah ada sejak dulu, bahkan sering pula salah sasaran, tapi tak membuat jera. Pernah seorang tukang servis sound system digebuki dan dibakar massa karena dituduh mencuri sound system masjid. Pernah pula seorang pencuri ayam menemui ajal setelah dipukuli orang satu kampung. Pasangan kekasih yang belum menikah diarak tanpa pakaian karena kedapatan bersetubuh. Pernah juga seorang anak kecil yang "menghina agama" dipersekusi satu kampung.
Bagi orang-orang yang melakukan BGG, mereka sedang melakukan satu hal yang mereka sebut, kebenaran. Bila ada yang sedang pesta dan makan daging babi, maka bagi pihak lain yang mengharamkan daging babi, pesta itu akan dibubarkan. Bagi seorang pedagang yang berani berjualan makanan di saat bulan puasa, maka harus rela warungnya dibuat berantakan. Alasannya apa? Menegakkan kebenaran!
Belum cukup sampai di situ, ada jutaan orang yang datang dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta, karena calon gubernur Jakarta dituding melecehkan agama. Bahkan, dengar-dengar, bila hasil pemilihan presiden nantinya tidak memenangkan calon pilihan mereka, akan ada aksi yang membawa jutaan orang lagi. Sampai kapan keberingasan ini akan berakhir?
Untuk menyatakan satu kebenaran, tentu sangat banyak yang harus dipertimbangkan. Karena kebenaran lebih sering berupa perspektif, yang akan berbeda-beda setiap orang. Ada yang menganggap lembu/sapi adalah hewan suci yang harus dijaga sampai mati, tapi ada juga yang akan membantai ribuan sapi dalam satu hari, kemudian membagi-bagikan dagingnya. Yang mana kebenaran dari dua contoh kasus itu? Tergantung, apa agama Anda, maka kebenaran akan jadi berbeda.
Begitu juga dengan daging babi, ada yang memakannya, ada pula yang mengharamkannya. Mana yang kebenaran? Lagi-lagi tergantung perspektif Anda.
Lalu, bagaimana dengan memaksakan kebenaran? Dari perspektif manapun, yang Anda lakukan adalah sebuah kesalahan. Kebenaran yang Anda pegang, itu hak Anda, tapi ketika memaksakan pada orang lain, itu adalah kesalahan.
Contoh banyaknya Boikot, Grebek, Gruduk alias BGG ini, adalah bukti bahwa ada banyak orang yang mencoba untuk memaksakan kebenaran bagi dirinya, harus jadi kebenaran bagi semua orang di dunia ini. Untuk lebih kuat, harus mengajak ribuan orang lainnya. Ingat kasus Audrey yang petisinya sampai ditandatangani jutaan orang beberapa waktu yang lalu? Itu salah satu bukti, bahwa banyaknya yang menandatangani petisi, bukan berarti kebenaran hakiki. Bisa jadi, itu bukti rendahnya literasi.
Ada banyak pemikir dan pegiat seni, sekarang mulai cemas-cemas dengan petisi. Apabila masalah krisis literasi tak kunjung diperbaiki, maka hal ini akan terus terjadi. Akan lebih baik bila petisi-petisi itu dimulai dengan sebuah diskusi. Bila sudah sampai pada deduksi, bukan sekedar asumsi atau malah spekulasi, baru keputusan akhir bisa disepakati. (ai/pojokseni)
Catatan: Film berjudul "Kucumbu Tubuh Indahku" karya Garin telah memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi, antara lain Asia Pacific Screen Award, film terbaik Festival Des 3 Continents Nantes 2018, dan mengikuti seleksi Festival Film International di Venesia. Sebelum akhirnya, kena boikot di negeri sendiri.