Advertisement
#CatatanMenjelangRamadhanPojokSeni
Era generasi milenial saat ini, ada satu kata yang mengalami perubahan makna dan menjadi begitu trend saat ini, yakni "hijrah". Terjadi sinestesia terhadap kata tersebut, namun perubahan tidak terjadi secara gramatikal, tetapi terjadi kemungkinan karena proses penafsiran.
Dengan demikian, kata "hijrah" yang mulanya berarti "Perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy..." (versi Kamus Besar Bahasa Indonesia), atau "Perpindahan/migrasi dari Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Mekkah ke Madinah pada bulan Juni tahun 622" (versi sejarah) berubah makna dengan cukup signifikan. Perpindahan atau perubahan tempat, berubah makna menjadi perubahan pakaian dan tingkah laku yang lebih syari.
Meski perubahan ini terjadi secara diakronis, namun langsung disetujui oleh sebagian umat Islam. Apalagi, perubahan makna kata itu juga diproklamirkan oleh ulama atau ustad yang sedang populer di dunia maya. Sekarang, timbul pertanyaan, apa masalahnya? Apakah ada dampak yang terjadi karena perubahan makna tersebut?
Mari kita lihat sekali lagi. Coba perhatikan ilustrasi ini:
- Seorang lelaki, jarang salat apalagi puasa dan zakat. Sering berbuat onar, minum-minuman keras sampai mabuk, kemudian menghabiskan malam di tempat dugem. Kemudian, seperti mendapat hidayah, ia "hijrah". Sekarang, ia jadi rajin ke masjid, juga aktif dalam gerakan remaja masjid.
- Seorang perempuan, membiarkan saja rambut panjangnya terurai. Tidak hanya jarang salat, ia juga rajin menggunjing baik di dunia nyata, maupun di dunia maya. Sampai suatu ketika, ia hijrah. Sekarang, ia mengenakan hijab yang panjang, menutupi seluruh lekuk tubuhnya. Kemudian, ia juga menjadi lebih rajin beribadah.
Secara etimologis, kata "tobat" jauh lebih tepat untuk menggambarkan situasi tersebut. Namun, seperti dalam dua situasi tersebut, di era milenial ini kata hijrah lebih sering digunakan. Dengan demikian, kata hijrah memiliki definisi baru, yakni "perpindahan seseorang baik secara sikap, perilaku, tampilan dan pakaian seseorang dari sesuatu yang buruk, ke (menjadi) sesuatu yang (dianggap) lebih baik".
Tentu saja, kata kunci dari "hijrah" adalah "pindah", maka definisinya tetap mempertahankan esensi dari hijrah yang sesungguhnya. Dengan mempertahankan esensi "pindah", secara lugas kita artikan bahwa "hijrah" ingin diartikan sebagai perpindahan tempat atau kita sebut saja "tingkatan".
Kemudian, di mana sesat pikir (logical fallacy)-nya?
Kata tobat yang sebenarnya juga ditarik dari Bahasa Arab, at-Taubah ( تَوَبَ ) yang artinya kembali. Manusia sebenarnya berawal dari sesuatu yang suci, putih dan fitrah. Dunia dan lingkungan yang membuatnya menjadi sesat. Dengan demikian, tobat menjadikan seseorang akan "kembali" ke fitrahnya, seperti ketika ia baru dilahirkan.
Tentunya, kata "tobat" sebenarnya adalah kata yang tepat, bahkan paling tepat untuk menggambarkan situasi yang saat ini diganti secara sembrono dengan kata "hijrah". Perbedaan mendasar dari kata "tobat" dan "hijrah" bila menilik dari esensinya adalah, tobat berarti kembali, sedangkan hijrah berarti pindah. Dengan kata lain, tobat berarti pulang, hijrah berarti pergi.
Kita anggap manusia berada di titik A ketika lahir, dengan kata lain titik A berarti awal/fitrah. Karena pengaruh lingkungan kehidupan ada yang "pindah" ke titik B, ada juga yang pindah ke titik C sampai ada yang tersesat terlalu jauh hingga pindah ke titik "Z". Maka, untuk "ke titik A" manusia perlu "tobat" (kembali).
Dengan kata "hijrah", analoginya menjadi jauh berbeda. Seakan manusia itu berada di titik rendah, kemudian hijrah ke titik lain (yang lebih tinggi). Manusia tidak disebut "kembali" tapi "pindah", dan "pindah" yang dimaksud adalah ke tempat yang lebih tinggi dan lebih dekat dengan Tuhan. Di sini sesat pikirnya bermula. Dan berakhir pada seseorang merasa lebih tinggi dari yang "belum hijrah".
Dampak Logical Fallacy Ini? Negatif atau Positif?
Kesalahan penggunaan kata "hijrah" dan "tobat" ini berdasarkan analisa di atas, tentu sudah kita pastikan sebagai logical fallacy. Tapi apakah ada dampaknya? Sebab, bahkan sebuah sesat pikir yang paling sesat sekalipun, apabila tidak ada dampak negatifnya, tentu tidak perlu dirisaukan, bukan?
Namun, ternyata fakta yang kita temukan di lapangan berbeda. Perubahan kata yang dimaksud ini malah menghasilkan sesuatu yang negatif. Karena berkaitan dengan "berpindah" maka ada sekelompok orang yang sudah "pindah" menganggap dirinya lebih baik (bahkan di mata Tuhan) dibandingkan dengan yang belum "pindah".
Wanita berhijab lebar akan menganggap dirinya lebih tinggi derajatnya, lebih mulia dan spesial, ketimbang yang hijabnya pendek. Wanita yang berhijab pendek juga akan berpendapat sama ketika melihat wanita yang berpakaian tertutup tapi tidak berhijab. Begitu juga wanita yang berpakaian tertutup akan memandang wanita yang berpakaian terbuka memiliki derajat yang berada di bawahnya. Hirarki manusia kembali tercipta (atau lebih tepatnya, diciptakan) hanya karena perubahan sebuah kata.
Berbeda dengan kata tobat, yang bermakna kembali. Tidak ada hirarki di sana. Tidak ada yang lebih tinggi, lebih rendah, lebih dekat dengan Tuhan, lebih jauh dari Tuhan, lebih dekat dari surga, lebih dekat ke neraka dan pernyataan komparatif atau bahkan superlatif lainnya. Yang ada hanyalah, orang yang "telah kembali" dan orang yang "masih tersesat". Tapi, tidak ditemukan hirarki di sana, karena di kata "tobat" tidak menyebutkan ada tingkatan.
Apabila kata "tobat" yang digunakan, maka manusia akan selalu ingat dengan dosa yang telah dibuatnya. Maka manusia akan menyadari bahwa dia memang diciptakan sebagai "tempatnya salah dan dosa". Bahwa ada kemungkinan bahwa dia juga akan tetap melakukan dosa yang lain.
Tapi, dengan kata "hijrah" maka manusia tersebut telah berpindah ke tempat yang lebih spesial. Kemungkinan ada dosa dan kesalahan menjadi jauh lebih kecil, karena dia merasa berada di tingkatan yang lebih baik ketimbang pendosa.
Hasil akhirnya? Seperti yang Anda lihat selama ini. Perpecahan, saling merendahkan, saling curiga, dan sebagainya. Apakah hanya karena kata "hijrah" semua ini bermula? Tentu saja tidak. Tapi, percayalah, kata ini justru akan menjadikan perpecahan bisa semakin meruncing.
Penulis: Adhyra Irianto