Advertisement
pojokseni.com - Tidak ada yang bisa membantah bahwa karya-karya sastra terbaik sepanjang masa, hadir dari tangan Shakespeare. Seorang yang mendapat gelar kebangsawanan berkat karya-karyanya yang spektakuler, populer dan dicintai publik era itu.
Karya Shakespeare adalah ekspresi tertinggi dalam Bahasa Inggris, dan tak ada yang membantah itu. Untuk masalah kekaryaan, tidak ada yang bisa menghindari fakta bahwa karya Shakespeare tidak hanya sekedar indah - ia melampaui itu. Karya Shakespeare adalah karya yang agung, menggetarkan dinding-dinding zaman.
Wajar bila Shakespeare diagungkan pula, dianggap dewa kata-kata, mampu menggerakkan publik untuk merobohkan dinding istana, hanya dengan kata-kata, dan permainan apik aktor-aktornya. Shakespeare juga bisa dipastikan menjadi "nama asing" sastrawan yang banyak diketahui oleh orang awam sekalipun, meski mereka tak pernah membaca karyanya.
Tapi, bagaimana bila sebenarnya, Shakespeare bukan orang yang menulis karya-karya itu? Bagaimana bila sebenarnya ada 39 naskah drama yang diketahui karya Shakespeare, seperti Hamlet, Machbet, Romeo and Juliet, King Lear dan sebagainya itu, ternyata bukan karya Shakespeare? Jadi karya siapa?
William Shakespeare |
Setidaknya, itu yang menjadi pertanyaan utama para Oxfordian yang berujung pada hipotesis, bahwa hanya seorang aristokrat berpendidikan tinggi, berwawasan luas dan tahu banyak tentang sebuah kerajaan dan politik saja yang bisa menciptakan karya-karya ajaib tersebut. Sedangkan Shakespeare, yang merupakan anak orang biasa (mantan orang kaya), berjualan barang-barang ilegal, juga tidak begitu berpendidikan, bahkan diduga tidak bisa menulis dengan baik, bagaimana bisa menciptakan karya-karya monumental itu?
Karya-karya Shakespeare tersebut sangat sarat dengan filosofi, psikologi, sosial, politik dan nilai kehidupan hingga para filsuf di era setelahnya menemukan banyak sudut pandang baru dari drama-drama karangan Shakespeare. Nama yang juga unik "shake and speare" (guncang dan tombak) menjadikan teori tersebut semakin kencang berhembus. Bila Anda membaca teori Oxfordian tentang "Shakespeare adalah seorang penipu", maka Anda mungkin juga akan berpendapat bahwa teori itu masuk akal.
Pertanyaannya, bila memang bukan Shakespeare yang menulis karya itu? Lantas siapa? Siapa yang karyanya begitu agung, menjadi penggerak zaman di saat itu?
Teori Shakespeare Penipu dalam Film Anonymous
Film Anonymous. Edward de Vere (duduk)disebutkan sebagai penulis asli dari karya-karya Shakespeare |
Film bertajuk "Anonymous" karya Roland Emmerich's (2011) mengemukakan teori bahwa sebenarnya nama Edward de Vere, Earl of Oxford ke 17 adalah aristokrat yang dimaksud. Seorang "mantan pacar" Ratu Elizabeth I yang coba menegur dan melindungi ratu dari seorang penasehat kerajaan bernama Robert Cecil (seorang yang bungkuk badannya). Hanya saja, teguran dan perlindungan itu dibuatnya menjadi naskah drama.
Ada banyak hal yang membuat Edward de Vere terpaksa menyembunyikan identitasnya, dan "meminjam" nama William Shakespeare untuk mendapatkan pujian dan tepuk tangan dari keagungan tulisan itu. Semuanya terkait dengan konspirasi, intrik politik, tekanan dan sebagainya. Sampai akhirnya, diketahui bahwa Robert Cecil mencoba untuk menghancurkan karya-karya "William Shakespeare" yang sesungguhnya, ketika Edward de Vere meninggal pada tahun 1604. Apalagi, di era itu sebenarnya situasi politik benar-benar memanas, sehingga ketika Elizabeth I meninggal, tahta turun ke kemenakannya, yakni James I.
Kembali ke pertanyaan semula? Jadi, benar karya-karya itu bukan karya Shakespeare? Apalagi setelah melihat fakta bahwa Oxfordian begitu getol untuk menumbangkan Shakespeare di London, tempat di mana karya-karya itu dilahirkan.
Cacatnya Teori "Shakespeare Penipu"
Drama "Romeo and Juliet" karya Shakespeare |
Sampai saat ini, masih banyak yang memperdebatkan hal itu. Kemunculan film "Anonymous" di tahun 2011 menjadikan perdebatan itu semakin panas. Namun, menunjukkan bahwa Edward de Vere adalah orang yang memiliki skill menulis sangat ajaib, dan karya-karyanya tidak ada yang menggunakan namanya rasanya bisa menjadi sebuah klaim yang tak berdasar.
Salah satu detailnya adalah, Edward de Vere meninggal tahun 1604, sedangkan karya Shakespeare bertajuk "Jacobean" ditulis dan dimainkan di tahun 1614, atau 10 tahun kemudian. Itu salah satu kejanggalan dari teori bahwa Edward de Vere adalah "Shakespeare sebenarnya".
Tidak hanya Jacobean, namun karya-karya lainnya juga banyak yang lahir ketika Edward de Vere telah meninggal, termasuk King Lear. Di film tersebut, nama Kit Marlowe, seorang penulis naskah drama Inggris yang mempengaruhi Shakespeare lewat karya-karyanya juga muncul. Anehnya, Kit Marlowe tetap hadir di film yang menunjukkan setting tahun 1598. Padahal, Kit Marlowe yang sebenarnya meninggal tahun 1593. Fakta-fakta kecil itu menjadi beberapa hal yang menjadikan film Anonymous sepertinya mencoba membangun kembali sejarah (termasuk sejarah sastra) dengan mengabaikan sejumlah fakta sejarah lainnya.
Fakta yang diabaikan lagi dari film Anonymous misalnya sebenarnya sosok rakyat jelata yang buta huruf bernama William (yang kemudian akrab disapa "will") dan entah apa nama belakangnya. Edward de Vere-lah yang menciptakan nama "Shakespeare" tersebut. Dengan filosofi yang begitu dalam dari kata "guncang" atau Shake dan "tombak" atau Speare. Tentu saja, ini mengabaikan fakta bahwa orang tua William Shakespeare bernama Jhon Shakespeare. Hal itu tentunya menunjukkan bahwa sebenarnya William Shakespeare tak pernah merubah namanya, seumur hidupnya.
Fakta lainnya, di film tersebut, William Shakespeare digambarkan sebagai seorang yang bodoh, tak bisa membaca tulis, apalagi huruf latin, namun berbakat sebagai aktor. Namun, faktanya bahwa William Shakespeare mungkin memang tidak mendapatkan pendidikan yang tinggi seperti para aristokrat (dalam hal ini de Vere). Namun, faktanya, William Shakespeare telah mengarungi perjalanan panjang untuk mempelajari kebudayaan banyak bangsa, belajar huruf latin, dan sudah terbiasa menulis dan berbicara dengan huruf latin dan berbagai bahasa sejak usia 9 tahun.
Tanda tangan asli Shakespeare |
Apalagi, sejarah kerajaan Inggris era Elizabeth I memang ditulis serampangan dalam film itu. Tentunya, hal itu kemungkinan disebabkan oleh penulis film tersebut ternyata berkebangsaan Jerman. Wajar pula bila media sebesar Guardian menulis bahwa kisah yang ditampilkan di film "Anonymous" separuhnya adalah imajinasi, dan hanya sebagian kecil berupa fakta.
Film tersebut ingin mengarahkan kita pada satu fakta menggelikan: seorang dramawan terbesar sepanjang sejarah, adalah orang yang digunakan oleh seorang aristokrat untuk propaganda politik. Menggelikan, bukan?
Panggung teater di era itu, dianggap sebagai tempat di mana seorang bernama Edward de Vere dapat memanipulasi dan komulasi kebencian publik terhadap seorang bungkuk di istana bernama Robert Cecil, anak dari William Cecil. Belum ditambah kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi, justru terjadi di film itu. Hamlet dipentaskan ketika Cecil masih hidup, ini sebuah kepalsuan. Richard III dipentaskan, lalu publik Inggris marah dan menyerang Robert Cecil, lalu seluruh publik tersebut ditembaki sampai mati. Ini juga sebuah kepalsuan. Itu tak pernah terjadi, dalam buku sejarah manapun juga tak tertulis.
Jadi, bisa dikatakan bahwa film tersebut adalah sebuah karya yang kontrafaktual. Atau lebih tepatnya, menggelikan.
Adalah seorang bernama J Thomas Looney, warga Inggris yang pertama kali mengajukan teori bahwa Edward de Vere adalah orang yang menulis semua karangan Shakespeare itu. Dan Roland Emmerich dibantu dengan Orloff (seorang Jerman yang menulis sejarah Inggris dengan imajinasinya) sebenarnya adalah orang-orang yang setuju dengan pendapat Looney dan mewujudkannya. Sayangnya, untuk menerima nama Edward de Vere sebagai "William Shakespeare" terlalu beresiko dan malah berarti menerima sebuah kisah yang kontrafaktual dan penuh imajinasi itu.
Satu kemungkinan terbesar, munculnya teori tersebut berasal dari sebuah kesombongan. Hanya aristokrat sajalah yang mampu menciptakan mahakarya seperti karya Shakespeare itu. Seorang rakyat jelata, bukan bangsawan, tidak belajar di tempat pendidikan formal, tidak akan mungkin mampu melakukannya. Dan masalahnya adalah, Shakespeare menjadi antiklimas dari kesombongan itu. (ai/pojokseni)