Materi Puisi (I) : Tentang Kedalaman Tema dalam Komposisi Puitik -->
close
Pojok Seni
21 March 2019, 3/21/2019 01:13:00 AM WIB
Terbaru 2019-03-20T18:13:25Z
PuisiSastra

Materi Puisi (I) : Tentang Kedalaman Tema dalam Komposisi Puitik

Advertisement
Ahmad Yulden Erwin (bang AYE) sumber foto: LampungPro

Oleh: Ahmad Yulden Erwin*

Kedalaman Tema


Salah satu unsur terpenting di dalam komposisi puitik, sehubungan dengan "isi" puisi, adalah soal kendalaman tema. Ada satu konsep filsafat yang tepat terkait kendalaman tema dari seorang filsuf eksistensialis Jerman pada abad ke-20, Karl Jaspers, yaitu "chiffer-chiffer". Istilah ini diartikan sebagai "situasi-situasi batas" dalam eksistensi manusia. Menurut Karl Jaspers ada beberapa situasi batas yang akan membuat eksistensi manusia "retak" menuju pengalaman transendensi, di antaranya: kematian, penderitaan, perjuangan, kesalahan, kegagalan, cinta, dan keilahian.

Chiffer-chiffer ini mencipta rasa ambang dan membuka pilihan bebas manusia: menerima situasi-situasi batas itu atau menolaknya. Ketika eksistensi retak dalam situasi-situasi batas, menurut Karl Jaspers, tak selayaknya membikin manusia menyerah, namun itu justru merupakan celah bagi manusia untuk menyadari bahwa eksistensinya tidaklah identik dengan situasi rutin semata, dengan keterasingan dan kutuk kehampaan belaka. Setiap situasi batas adalah sebuah peluang bagi manusia untuk terus-menerus mentransendensikan kemanusiaannya, untuk melampaui keterbatasannya.

Dalam kaitannya dengan penulisan sastra, jika Anda memahami apa yang dimaksud dengan chiffer-chiffer atau situasi-situasi batas dalam hidup manusia, maka Anda akan memahami dengan baik tema-tema dasar apa yang akan menggugah "rasa" terdalam dari jiwa manusia. Orang tak akan tergugah membaca rasa sepi Anda yang ditulis dengan berlarat-larat. Karena kesepian dan keterasingan Anda bukanlah situasi batas bagi orang lain, bukan satu chiffer yang akan meretakkan eksistensi pembaca untuk bertransendensi, untuk "keluar" dari situasi rutinnya.

Tapi, jika Anda bisa menampilkan satu atau beberapa situasi batas di dalam kisah kesepian Anda, maka pembaca kisah Anda kemungkinan besar akan tergugah. Misal: kesepian saat menghadapi hukuman mati, kesepian saat berjuang mempertahankan keadilan, kesepian yang merindukan cinta seorang kekasih, kesepian dalam bayangan keilahian. Kesepian, atau mungkin lebih kena disebut keheningan, yang tercipta dalam situasi-situasi batas itu tak lain manefestasi dari "rasa ambang".

Salah satu kisah abadi yang menggunakan kekuatan dari chiffer-chiffer ini adalah "hikayat Joshua". Kisah ini tak akan menjadi kisah abadi yang mampu menggugah "rasa ambang manusia" selama 2000 tahun lebih dan bisa diterima di jantung kebudayaan berbagai bangsa, seandainya epik besar itu tidak memunculkan tema-tema dasar yang timbul dari situasi-situasi batas.

Penulis hikayat Joshua benar-benar "lihai" menggunakan kekuatan chiffer-chiffer secara total. Joshua digambarkan berjuang sendirian—chiffer berjuang yang ekstrim ini tergambarkan dalam kisah mulai dari pengembaraannya sendirian di gurun selama 40 hari tanpa makan dan minum, hingga saat ia memikul sendiri kayu salibnya ke Bukit Golgota. Ia juga digambarkan menahan siksaan yang tak terbayangkan kejinya—visualisasi chiffer penderitaan ekstrim ini dapat dilihat seperti dalam film Mel Gibson tentang "Kesabaran Kristus". Hal itu dilakukan oleh Joshua demi menebus dosa seluruh umat manusia—chiffer kesalahan yang bagaimana lagi akan mampu menandingi bila kesalahan itu melingkupi dosa seluruh umat manusia dari masa lalu hingga masa depan?

Alasan Joshua melakukan semua itu karena ia begitu mencintai "seluruh" manusia—chiffer cinta milik Joshua ini begitu universal, begitu tak terbatas, hingga nyaris mustahil bagi manusia mana pun untuk menyaingi keluasan dan ketulusan cintanya. Namun, ia juga mengalami rasa kegagalan total karena bahkan ia merasa Tuhan sendiri telah meninggalkannya pada saat menjelang kematiannya—chiffer kegagalan total ini diungkapkan dengan satu kalimat yang telah begitu terkenal, "Elloi, Elloi, lama sabachtani!" (manusia modern mungkin telah biasa meninggalkan Tuhan, tapi puncak kegagalan apa lagi yang bisa dirasakan melebihi ditinggalkan oleh Tuhan sendiri?).

Lalu, ia pun digambarkan mati di kayu salib dengan tubuh nyaris telanjang di antara dua penjahat yang juga disalibkan—chiffer kematian yang begitu ekstrem dalam keadaan yang mengenaskan dan hina; namun kemudian pada hari ketiga ia pun dibangkitkan kembali untuk melegitimasi keilahiannya, menjadi Tuhan yang Hidup di antara manusia (chiffer keilahian apalagi yang lebih ekstrem selain mewujudnya Tuhan yang maha gaib menjadi manusia yang hidup di alam nyata?). Dan Paulus memberikan kunci pembuka "chiffer-chiffer" dalam kisah epik terbesar itu, kisah Joshua, dengan satu kalimat: "Segalanya bermula dari kata..."

Situasi-situasi batas dalam hikayat Joshua benar-benar ditarik oleh "sang penulis" hikayat Joshua sampai batasnya, dan itu pula yang membuat hikayat Joshua ini menggugah secara "ekstatif" guna memicu "rasa ambang" atau keharuan bermilyar manusia selama dua ribu tahun lebih.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana mengomposisikan chiffer-chiffer itu menjadi sebuah kombinasi yang padu di dalam sebuah teks puisi? Di situlah rahasia dari "pendalaman-tematik". Begitu keseluruhan atau beberapa chiffer itu dikombinasikan secara "serentak" dengan piawai oleh sang penulis, maka setiap chiffer akan membuka kian besar "rasa ambang" dalam diri manusia, membuka berbagai pintu transendensi. Itulah "permainannya".

Dan hampir semua kisah-kisah yang dianggap suci atau dongeng-dongeng rakyat atau mitologi atau puisi-puisi epik atau prosa-prosa klasik atau puisi-puisi modern dunia yang terus dibaca hingga saat ini telah menggunakan strategi teks dengan bertumpu pada kuasa dari chiffer-chiffer ini. Seperti puisi pendek yang ditulis oleh penyair "dadais-Zen" dari Jepang, Sinkichi Takahashi, berikut ini:

ANGIN



Desau angin antara pohon-pohon cemara
mengalir tiada henti menuju awal
dari masa lalu yang tak pernah berakhir.
Dengar: kau telah mendengar segala hal.


-----------------------------------------------


Puisi-puisi Karya Joseph Brodsky (Rusia):



SURAT KEPADA SEORANG ARKEOLOG



Warga negara, musuh, anak mama, pemadat, kata-kata
sampah, pengemis, babi, orang Yahudi, cabul;
kulit kepala ini sering tersiram air mendidih
hingga otak kerdil kami terasa benar-benar matang.
Ya, kami tinggal di sini, dalam serakan beton, bata, puing
kayu ini: tempat kau datang untuk memilahnya.
Semua kabel kami bersilangan, berduri, kusut, atau terjalin.
Pula: tiada kami cintai perempuan-perempuan kami,
meski mereka mengandung darah-daging kami.
Dentang ialah suara linggis yang menghantam besi
masih lebih lembut ketimbang segala yang telah kami katakan
kepada diri sendiri. Orang asing! Hati-hati melewati
bangkai kami: segala yang serupa bangkai bagimu
justru membebaskan sel kami. Tinggalkan nama kami.
Jangan rekonstruksi vokal itu, konsonan, dan sebagainya:
mereka bukan burung penyanyi, tapi anjing pelacak gila
yang menelan jejaknya sendiri, taik, dan segala kulit kayu.


-------------------------------------------


SEBUAH LAGU



Aku berharap kau ada di sini, Sayang,
aku ingin kau ada di sini.
Aku berharap kau duduk di sofa
dan aku beringsut mendekatimu.
Saputangan itu bisa jadi milikmu,
air mata bisa jadi milikku, dagu terkatup.
Meski hal itu bisa, tentu saja,
menjadi sebaliknya.


Aku berharap kau ada di sini, Sayang,
Aku berharap kau ada di sini.
Aku berharap kita ada di mobilku,
dan kau akan menggeser perseneling.
Kita akan menemukan diri kita di tempat lain,
pada pantai yang tidak dikenal.
Atau kita dapat kembali
ke tempat semula.


Aku berharap kau ada di sini, Sayang,
Aku berharap kau ada di sini.
Aku berharap tak ada astronomi
ketika bintang muncul,
ketika bulan mencair
mendesah dan bergesekan dalam lelapnya.
Aku berharap masih ada koin
untuk menelponmu.


Aku berharap kau ada di sini, Sayang,
di belahan lain bumi ini,
saat aku duduk di beranda
minum bir. Sore itu, matahari terbenam;
bocah-bocah lelaki menjerit dan burung camar merintih.
Kini, apa gunanya lupa
bila maut tetap menguntit akhirnya?


-------------------------------------------


Latihan 1



Contoh:



Topik: Ibu
Tema: Ibu adalah orang tua perempuan yang melahirkan kita.


Tema di atas benar, tapi secara puitik dangkal, macam definisi kata di kamus.


Sekarang saya akan masukkan chiffer-chiffer itu ke dalam tema. Misalnya:


Topik: Ibu.
Tema: Ibu adalah sumber kekuatan yang menjadi wujud ilahi di muka bumi (chiffer keilahian).


Atau, secara lebih lengkap:

1. Topik: 


Ibu

2. Tema: 

Perjuangan seorang ibu menjadi pedagang sayur demi pengobatan suaminya.

3. Konflik: 


- Konflik internal: Seorang Ibu sempat ragu untuk menjadi penjual sayur, karena ia merasa itu adalah pekerjaan yang hina. Namun, kebutuhan keluarga dan demi pengobatan suaminya memaksa ia menjadi penjual sayur.
- Konflik personal: Dua orang anaknya yang masih SMP dan SMA juga tak setuju jika ibunya jadi penjual sayur.
- Konflik sosial: Masyarakat menganggap menjadi seorang penjual sayur di Pasar Tempel adalah pekerjaan yang rendah.
- Konflik dengan alam: Saat musim hujan, rumah ibu itu sering dilanda kebanjiran, dan banyak sayur-sayur yang dibelinya menjadi busuk.
- Konflik dengan Tuhan: Ia juga sering marah, karena Tuhan menimpakan kemiskinan padanya.


4. Chiffer-Chiffer: 


Seorang ibu berjuang (chiffer perjuangan) menjadi penjual sayur di Pasar Tempel untuk menghidupi keluarganya dan membiayai pengobatan suaminya yang terserang stroke (chiffer penderitaan), tetapi kemudian suami yang dicintainya (chiffer cinta) tersebut meninggal dunia (chiffer kematian).

Sekarang tema yang tadinya dangkal justru menjadi dalam dan konkrit menjadi realitas eksistensial.

Nah, kita bisa berlatih untuk merumuskan tema-tema apa pun di dalam hidup kita, menjadi tema-tema yang mendalam dengan memasukkan chiffer-chiffer ke dalam tema. Sekarang cobalah buat lima tema puisi dengan metode seperti yang saya contohkan di atas.


------------------------------------

Catatan:


1) Puisi adalah seni berbahasa dengan mendayagunakan secara optimum komposisi puitik. Tanpa komposisi puitik, maka itu bukan seni berbahasa, bukan puisi.

2) Komposisi puitik itu adalah kesatuan dari unsur-unsur yang membentuk puisi. Ada beberapa unsur pembentuk puisi: 1. Kedalaman tema. 2. Ketepatan sintaksis linguistik. 3. Ketepatan gita-puitik (aspek bunyi atau irama dalam puisi). 4. Ketepatan lukisan puitik (aspek majas visual dalam puisi). 5. Inovasi atau kebaruan (baik dalam tema maupun ekspresi puitik). Semua unsur itu haruslah padu tersusun di dalam satu puisi.

3) Ars poetica adalah satu konsep tentang seni puisi. Ars poetica ada bermacam-macam. Ada ars poetica puisi klasik, puisi romantik, puisi imajisme, puisi surealisme, puisi linguistik, dll. Namun, semua ars poetica itu dibangun dengan selalu memerhatikan komposisi puitik. Jadi, komposisi puitik adalah sesuatu yang lebih umum daripada ars poetica. Komposisi puitik ada pada semua ars poetica. Sedangkan ars poetica bisa berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

*Penulis adalah seorang sastrawan, pemikir dan penulis asal Bandarlampung

** Catatan PojokSeni:

Menurut Ahmad Yulden Erwin, ada lima unsur komposisi puitik yang harus dipenuhi oleh sebuah puisi, antara lain: kedalaman tema, ketepatan linguistik, ketepatan lukisan puitik, ketepatan gita puitik dan inovasi. Artikel yang baru saja Anda selesai baca di atas adalah unsur pertama, yakni kedalaman tema. 

Ads