Advertisement
pojokseni.com - Sebelum mengulas Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang menuai pro dan kontra, sekedar mengingat, mari kembali ke tahun 2009. Di tahun itu, RUU Perfileman juga menjadi bahasan dewan. Hasilnya, menimbulkan konflik dan menuai polemik.
RUU Perfilman dinilai otoriter, mengekang kreativitas dan menjadikan gerak dan langkah para sineas Indonesia menjadi lebih sempit. Tidak hanya itu, UU Perfilman yang disahkan setahun setelahnya, juga dianggap terlalu menguntungkan bagi industri besar. Hasilnya, ada banyak sineas Indonesia yang menuding bahwa UU Perfilman Indonesia sangat gagal.
Berkelang 8 tahun kemudian, sejumlah musisi mendatangi gedung DPR RI. Tujuannya, agar disusun UU Permusikan yang dapat menjadikan musisi dapat menerima royalti secara layak dan hak cipta dari karya dapat dilindungi. Tentunya, para musisi yang saling klaim karya, atau melakukan plagiasi dapat dijerat dengan UU ini.
Tapi, setali tiga uang dengan UU Perfilman, RUU Permusikan justru dianggap bakal mengekang kreativitas musisi dan otoriter. Lebih mengerikannya, harkat martabat, lirik, hingga urusan agama ikut melebur bercampur baur di dalam RUU yang ditolak oleh ratusan musisi tersebut.
RUU ini awalnya, diharapkan dan diusulkan dengan tujuan agar pemusik memiliki kesejahteraan yang baik, serta ada tata kelola yang baik untuk musik dari hulu hingga ke hilir. Faktanya, yang terjadi, malah muncul pasal-pasal karet yang bernada ancaman hadir dalam RUU tersebut.
Tentang pasal karet yang bisa saja dimanfaatkan sejumlah pihak untuk mengekang satu pihak ini, ternyata bukan kasus yang baru. Sebelumnya, kasus-kasus karet ini sudah muncul di UU Perfilman dan UU ITE. UU ITE bahkan sudah banyak memakan korban, salah satunya sastrawan gimbal Saut Situmorang.
Kemudian, ratusan musisi Indonesia melakukan banyak hal untuk menolak RUU tersebut, mulai dari tanda tangan petisi, berbicara di media dan aksi lainnya.
Penemuan Aneh dari RUU Permusikan
Beberapa media menuliskan beberapa temuan aneh dari RUU Permusikan, mulai dari proses pembuatannya, sampai pasal-pasal aneh di dalamnya. Keanehan yang dimaksud, mulai dari pasal-pasal yang saling tumpang tindih, sampai pasal karet.
Lihat saja pasal 5 di RUU Permusikan yang berisi larangan untuk membawa budaya barat yang negatif, merendahkan harkat martabat, menistakan agama, hingga membuat konten pornografi maupun karya provokatif. Tidak hanya itu, apabila melanggarnya, ada ketentuan pidana yang akan didapatkan pelanggarnya, seperti diatur Pasal 50.
Apabila UU permusikan di negara-negara yang musiknya sudah maju, seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang dan sebagainya tidak ada yang keluar dari aspek teknis dan kekaryaan, maka UU permusikan Indonesia justru lebih mengusik kekaryaan dan keluar dari aspek teknis yang mustinya diurus oleh UU.
Sampai yang paling lucu, ada sumber yang disertakan dalam naskah RUU Permusikan yang sumbernya mengambil dari makalah anak SMK yang dimuat atau diunggah ke blog gratisan, loh!
Kesimpulan
Untuk urusan seni, UU yang pernah dibuat di Indonesia tercinta ini justru cenderung ngawur, mengancam kebebasan, dan otoriter. UU Perfilman, UU ITE hingga terakhir RUU Permusikan adalah contoh nyata dari klaim ini. Entah bagaimana bila seni pertunjukan, sastra dan seni rupa juga akhirnya dibuat UU khusus, pasti akan menuai polemik pula.
Bagaimana kelanjutannya? Entahlah. Yang jelas, kita sudah muak dengan kekuasaan yang mengekang kreativitas. Sudah terlalu banyak kasus kreativitas seni yang harus bertemu dengan kekerasan ketika disandingkan dengan kekuasaan. Buku-buku dibredel, pertunjukan dibubarkan, diskusi akademik dikacaukan, dan sekarang UU pun harus mengekang kreativitas. Jadi, wajar saja seniman harus terus menerus melawan, kan? (ai/pojokseni.com)