Advertisement
Nyanyi Sunyi Revolusi (sumber foto: Tribunnews) |
Oleh: Iswadi Pratama*
Membaca tulisan Zen Hae tentang pertunjukan “Nyanyi Sunyi Revolusi” yang disiarkan di media online Beritagar, 10 Februari 2019, saya tertarik untuk menanggapi beberapa hal berkaitan dengan ulasan Zen atas teks tertulis (naskah), dan teks pertunjukan di panggung.
Pertunjukan “Nyanyi Sunyi Revolusi” diangkat dari naskah yang ditulis Ahda Imran tentang Penyair-Bangsawan asal Langkat, Sumatera Utara, dan dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 2-3 Februari 2019 lalu.
Tentang Daun-Daun Kering, Hujan, Peziarah dan Makam
Zen memulai tulisannya dengan mengungkapkan ketergugahannya pada simbol daun-daun kering yang gugur pada beberapa adegan. Simbol ini, menurut Zen, cukup berhasil menggambarkan kematian yang mengenaskan yang menimpa Amir Hamzah. Lalu pada paragraf berikutnya Ia menulis:
“Namun, kemudian, hujan, makam, peziarah--juga sosok-sosok yang muncul dari belakang panggung--membuat perlambang itu (daun-daun kering yang gugur), terdesak oleh tenaga melodramatik yang sejak semula telah mengendalikan pementasan ini.”
Paragraf di atas mengesankan bahwa Zen membaca hujan, makam, peziarah, dan sosok-sosok yang muncul dari belakang panggung dalam bagian akhir pertunjukan adalah; simbol-simbol yang menebalkan kesedihan atau keharuan, atau sesuatu yang syarat emosi yang sejak awal menggerakkan pertunjukan.
Bila kehadiran hujan, makam, peziarah, dan sosok-sosok dari belakang panggung itu “dibaca” semata untuk meneguhkan kematian Amir yang memilukan, maka Zen benar bahwa semua itu hanyalah melodrama yang tak perlu. Tetapi bila saja Zen mau lebih tabah menelisik simbol-simbol itu dalam kaitannya dengan seluruh cerita, rasanya Ia perlu argumentasi yang lebih jitu.
Mari kita lihat bagaimana simbol-simbol itu dalam konteks keseluruhan cerita/pertunjukan:
1). Hujan, dalam pertunjukan itu, diperistiwakan jauh setelah Amir Hamzah mati. Yakni saat Kamaliah, isteri Amir, datang ke makamnya. Makam, yang dalam bagian lain drama tidak pernah diakui oleh Kamaliah sebagai makam Amir Hamzah, sebab bagi Kamaliah Amir masih hidup.
Peristiwa daun-daun kering gugur dihadirkan dalam pertunjukan itu pada tiga bagian; setiap kali sajak Amir dibacakan, baik oleh Tahura (Anak Amir Hamzah), maupun oleh Amir sendiri. Sebagai simbol, ia memang hendak menyiratkan kematian. Sebuah kematian yang seakan sia-sia, mengenaskan; sebagaimana yang telah pula ditafsirkan oleh Zen.
Namun, hujan di bagian akhir drama itu--bila secara konsisten tetap dibaca sebagai sebuah simbol sebagaimana daun-daun kering yang gugur; meng-aprosiasikan (mengeksplisitkan) makna bahwa “daun-daun kering yang gugur” itu tidaklah sia-sia.
Hujan akan menjadikannya membusuk dan lalu diurai oleh mikroorganisme lalu menyuburkan tanah dan kembali diserap oleh akar dikirim ke batang, dan hidup dalam tumbuhan yang baru. Terus begitu, tanpa akhir. Sebagaimana upaya Amir Hamzah memperjuangkan bahasa Melayu Baru yang lalu sangat berperan dalam perkembangan sastra (puisi) Indonesia modern sejak Chairil Anwar hingga penyair yang hidup hari ini.
Bila Zen memilih untuk membaca daun-daun kering yang gugur dalam makna semiotiknya (sebagai simbol), mengapa Zen tak berlaku sama dalam membaca hujan? Mengapa Ia membaca hujan dalam pertunjukan itu lebih kepada makna empirik (peristiwa yang sebenarnya) yang seakan hendak menjelas-jelaskan kesedihan atas kematian Amir?
Dalam hal ini saya berprasangka bahwa ideom hujan yang nyaris tak pernah absen dalam sejumlah besar puisi lirik Indonesia, adalah faktor yang terlanjur membentuk persepsi Zen. Sehingga Zen melihat “hujan” dalam pertunjukan tersebut sama seperti Ia membaca hujan dalam puisi-puisi lirik yang emosional dan acap terlanjur dianggap klise atau “melow” .
Hal yang juga pernah dengan demikian antusiasnya ditulis Nirwan Dewanto ketika membicarakan sajak “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono.
2) Kehadiran makam di akhir pertunjukan, memanglah sebuah “pelengkap” yang--lagi-lagi--bisa dianggap tak perlu bila tujuannya semata hendak menjelaskan kematian dan kesedihan akan kehilangan Amir Hamzah.
Namun makam di panggung “Nyanyi Sunyi Revolusi” bukanlah makam yang biasa kita lihat dalam banyak sinetron di televisi yang kehadirannya memang bertujuan untuk “mengelus-elus” kesedihan. Makam Amir Hamzah, adalah konflik tersendiri dalam keseluruhan cerita yang ditulis Ahda Imran. Ketika jenazah Amir ditemukan dan dipindahkan ke sebuah makam yang lebih layak, kontroversi tentang kematian Amir perlahan-lahan menemui titik terang.
Meskipun tak pernah sampai seratus persen jelas benar. Bahkan Kamaliah, Isteri Amir--sebagaimana yang telah disinggung pada bagian 1 di atas--tak pernah mengakui/menerima kematian Amir juga tak mau mengakui bahwa makam yang dibangun di Langkat itu adalah makam suaminya.
Berdasarkan fakta sejarah itu, kehadiran makam dalam pentas Nyanyi Sunyi Revolusi bertujuan meng-aprosiasi (membuat makna terasa eksplisit dan dekat) bahwa Kamaliah sesungguhnya bukan tak tahu yang mati dalam pembantaian itu adalah suaminya, melainkan Ia tak berani membayangkan atau menerima kematian yang sangat memilukan itu--sepanjang sisa hidupnya.
Itulah mengapa, adegan Kamaliah mendatangi makam Amir disajikan di bagian akhir; yakni setelah Kamaliah wafat. Sehingga peristiwa datangnya Kamaliah ke makam Amir adalah sebuah peristiwa fiksi; sebuah dunia imajiner yang tak ada dalam catatan sejarah.
3) Peziarah: Bila kedatangan seorang peziarah ke makam Amir juga dibaca Zen sebagaimana kehadiran makam dan hujan--yang hanya mempertebal suasana melodramatik mengenai kematian dan kehilangan Amir, maka ia memang tak diperlukan. Tetapi Peziarah di sana, seorang pesuruh di saat Amir menjabat sebagai Asisten Resident di Binjai, seorang yang sebenarnya a-historis, adalah juga sebuah “narasi kecil” di antara narasi besar tentang Amir Hamzah, korban Revolusi Sosial di Langkat, Pelopor Poejangga Baroe, Pergolakan Politik Indonesia pasca 1945, dan seterusnya. Kedatangannya hendak meneguhkan pribadi Si Penyair yang lembut dan selalu berbuat baik kepada siapa pun.
Peziarah tidak datang untuk mengungkit peristiwa kematian Amir, melainkan hendak menyampaikan rasa terimakasihnya pada Amir yang telah membelikannya sepeda untuk bekerja. Sisi humanis seorang tokoh yang oleh Zen sendiri--dalam ulasannya atas pertunjukan itu--dianggap sangat penting untuk ditampilkan, hal mana yang tak akan pernah kita temui dalam tulisan kritik sastra dan bisa diharapkan dalam sebuah drama atau film mengenai kehidupan seorang tokoh. Dan pertunjukan malam itu sudah menyajikannya untuk Zen, namun Ia tak sempat mencicipinya. Sebab ia terlanjur merindukan sisi kepenyairan Amir belaka.
Atau barangkali, Zen terlanjur “anti” dengan kehadiran makam di sana. Sebuah makam yang bila dibaca dari sisi artistik hendak mengeplisitkan gagasan bahwa seluruh peristiwa dalam drama itu terjadi di sebuah pemakaman. Dengan demikian, peran-peran yang disaksikan penonton malam itu adalah sosok-sosok intenzible (sosok-sosok yng muncul dari dalam gelap di bagian akhir pertunjukan): mereka ada tapi seakan tak ada. Sebagaimana Amir Hamzah yang hanya dikenal oleh segelintir sastrawan Indonesia, tetapi tidak oleh sebagian besar masyarakat juga penonton yang datang dalam pertunjukan.
Nyanyi Sunyi Revolusi |
Manusia-Penyair
Pada pragaraf selanjutnya Zen menulis, seharusnya drama Nyanyi Revolusi bisa lebih memunculkan sosok Amir Hamzah sebagai “Manusia-Penyair”. Tulisnya: “Bagaimana sebenarnya pergulatan penyair ini dengan kata-kata sehingga bisa menghasilkan puisi-puisi lirik yang telah menjadi klasik dalam sejarah sastra Indonesia Modern?
Seorang Penyair, kita tahu, adalah seorang yang secara intens bergulat dengan kata-kata dan menulis puisi dalam kesendiriannya.
Pertanyaannya: bagaimana memperistiwakan pergulatan penyair dengan kata-kata sehingga dia bisa menjadi sebuah peristiwa yang memungkinkan di atas panggung? Dunia kepenyairan Amir Hamzah adalah sebuah dunia yang sangat personal dan tak tersedia catatan atau dokumen sejarah yang cukup mengenai itu. Ini berbeda sama sekali bila kita mengangkat kehidupan seorang tokoh politik, misalnya.
Di mana si tokoh akan memiliki konflik-konflik yang sangat mungkin untuk diperistiwakan di atas panggung: konflik dengan negara, kekuasaan, konflik dengan kelas sosial, dan lain sebagainya, adalah hal yang cukup-syarat untuk menjadi peng-adegan di atas pentas. Namun konflik penyair dengan kata-kata dan imajianasinya sendiri--sebagaimana penyair seperti Amir Hamzah, akan seperti apa adegan di atas panggung nanti?
Bila saja Amir sebagai penyair juga pernah berkonflik dengan kekuasaan; karyanya disensor atau dilarang terbit, atau ia ditangkap dan dipenjara karena puisi-puisinya, atau puisi-puisinya mampu menggerakkan dan memobilisasi massa sebagaimana W.S Rendra--akan memungkinkan menjelmakannya menjadi adegan-adegan yang memikat di atas Panggung.
Tetapi Amir, penyair yang “pendiam” ini, bagaimana kita bisa merancang sebuah peristiwa yang akan betah disaksikan oleh penonton?
Amir sebagai Manusia-Penyair, menurut hemat saya, akan sangat memungkinkan dijelmakan dalam film atau novel. Tetapi di panggung teater, rasanya pentas akan terasa “lebih sunyi” dari sajak-sajak Amir sendiri. Dan kita belum memiliki penonton se-tabah itu.
Tentang Tahura
Pada paragraf lainnya Zen menulis:
“Orientasi tersirat dalam Nyanyi Sunyi Revolusi dianggap tidak cukup. Perlu dihadirkan tokoh dari dunia hari ini; Tengku Tahura; untuk menegaskan secara berlebih-lebihan bahwa pentas ini mesti diserap oleh kita yang hidup di masa kini.”
Bila kita cermati, dalam naskah Nyanyi Sunyi Revolusi, ada 4 narator yang digunakan penulis untuk membangun plot yang tumpang tindih.
Pertama, Tahura. Ia menuturkan kisah-kisah Amir Hamzah berdasarkan cerita Kamaliah, Ibunya. KIsah mengenai Amir yang disampaikan Tahura adalah terbatas kisah yang diketahui sang Ibu; tentang Ilik Sundari, kekasih Amir, tentang posisi Amir Hamzah yang terambing antara kepentingan bangsawan langkat dan keberpihakannya pada kubu nasionalis, tentang kegelisahan Amir yang tidak pernah dipercaya oleh Sultan, ayah Kamaliah.
Juga tentang bagaimana Amir dijemput, untuk meudian hilang selama-lamanya. Di sisi lain, Penulis juga memanfaatkan tokoh Tahura untuk menuturkan sosok Ibunya yang sangat ingin bertemu Ilik Sundari untuk meminta maaf sebab merasa telah merebut Amir darinya.
Kedua, Ilik Sundari. Sosok Ilik digunakan Penulis untuk menggambarkan bagaimana Amir terlibat dalam pergerakan politik, upayanya memperjuangkan bahasa Melayu Baru menjadi bahasa nasional bersama Armyn Pane dan Sutan Takdir dengan mendirikan Poedjangga Baroe, semangat nasionalismenya, juga--tentu saja, bagaimana kisah percintaan mereka. Bila Tahura menuturkan kisah-kisahnya berdasarkan cerita Sang Ibu, maka Ilik Sundari menurutkannya langsung kepada penonton.
Ketiga, Amir Hamzah. Selain sebagai tokoh yang diceritakan, Amir juga mengisahkan dirinya sendiri langsung kepada penonton lewat beberapa monolog-interior yang di sisipkan di antara kisah-kisah mengenai dirinya oleh tokoh-tokoh lain.
Keempat, Kamaliah. Selain menyampaikan kisahnya kepada Tahura, lalu Tahura mengisahkannya kepada penonton, Kamaliah juga memiliki bagian di mana Ia sendiri menuturkan peristiwa penculikan Amir.
Kelima, Penulis. Adegan awal; saat Amir kecil belajar silat dan adegan saat eksekusi Amir, adalah adegan-adegan yang dikisahkan langsung oleh pengarang. Tidak ada Narator yang diambil dari tokoh-tokoh dalam cerita untuk menuturkan dua peristiwa tersebut.
Lalu seluruh kisah tersebut kembali ditutup oleh Tahura yang dalam lakon ini digambarkan sedang berziarah di makam ayahnya.
Saya kira, Zen memang sedang mempersoalkan kehadiran Tahura kembali di akhir cerita. Sedangkan bagi saya, pemilihan Penulis memunculkan kembali tokoh Tahura itu dengan suatu pertimbangan bahwa sosok Tahura justru sosok yang mau digambarkan sebagai tokoh yang paling banyak menanggung beban dari kisah Amir Hamzah. Di satu sisi ia menanggung amanat dari Ibunya untuk mencari Ilik dan meminta maaf kepada wanita itu.
Di sisi lainnya, Ia juga merasakan dampak dari kecamuk Revolusi sosial--bahkan jauh setelah masa itu berlalu; kebencian, sinisme, dan claim sebagian orang bahwa Ia adalah anak dari seorang pengkhianat bangsa--bagi kubu yang bersebrangan dengan Amir Hamzah dan para bangsawan langkat. Tahura telah hidup dengan beban sejarah dan masa lalu kedua orang tuanya.
Penulis mau tak mau memang harus memberi “dua tugas” pada Tahura: Sebagai penutur kisah (di bagian awal drama), dan sebagai dirinya sendiri ( di bagian akhir). Dan kedua “tugas” itu memang akan saling mengacaukan bila begitu saja dileburkan.
Selain itu, dengan plot yang tidak linier, melainkan saling tumpang-tindih, orientasi tersirat bisa kurang membantu bagi penonton untuk menangkap keutuhan cerita. Terkecuali bagi mereka yang terbiasa membaca novel atau karya sastra.
Sedangkan pentas Nyanyi Sunyi Revolusi memang lebih ditekankan untuk memperkenalkan Amir kepada sebagian besar penonton yang notabene memang bukan dari kaum pembaca sastra.
Masalah Artistik
Selanjutnya, Zen juga mengatakan “...pentas ini masih dirundung masalah artistik yang penting--selain para bintang yang bermain biasa-biasa saja..”
Kita tidak bisa tahu, “masalah artistik yang penting” yang dimaksud Zen itu mengenai apa saja? Zen tidak memberikan alasan (argumen) apa-apa untuk pernyataannya itu. Karena tidak ada rincian masalah artistik yang dimaksudnya, maka bisa jadi seluruh unsur artistik dalam pertunjukan dianggap bermasalah: tata cahaya, musik, dekor- panggung, busana, make-up, bloking pemain, karakterisasi, tata suara dan seterusnya. Padahal, sebuah paragarf bisa mencukupi untuk menjelaskan “masalah artistik” dimaksud.
Karena tanpa penjelasan dan bukti berupa fakta, maka pernyataan itu bisa diterima sebagai sebuah “celaan” yang menganggap pertunjukan memang tak dikerjakan dengan baik. Hal itu ditambah pula dengan pernyataan “Selain para bintang yang bermain biasa-biasa saja”--juga tanpa alasan dan fakta yang mendukung pernyataan ini.
Seolah pernyataan itu dengan sendirinya sahih sehingga tak perlu dilambari sebuah argumentasi pun. Dan bagaimana pula dengan aktor-aktor yang “bukan bintang” dan mereka bermain di sana dan turut membangun peristiwa di atas pentas.
Apakah permainan mereka tak perlu dibicarakan--barang sebaris dua baris kalimat? Bukankah cukup berbahaya jika pernyataan Zen itu diterjemahkan: “Jika yang bintang pun bermain biasa-biasa saja, apalagi yang bukan bintang”.
Kalau saja pernyataan itu bersifat lisan sebagaimana yang biasa disampaikan oleh penonton seusai menyaksikan sebuah pertunjukan, tanggapan seperti ini memang menjadi berlebihan dan tak perlu. Tapi ia ada dalam sebuah ulasan tertulis dari seorang yang berprofesi sebagai penulis juga kritikus sastra dan seni pertunjukan, maka pernyataan itu bisa membangun sebuah opini dan wacana.
Karena tak didukung oleh data dan fakta yang memadai, pernyataan itu akhirnya jatuh sebagai “kritik pra-predikatif”; kritik tanpa argumentasi; sebuah kritik yang gagal.
Tentang Melodramatik
Saya bisa menerima kalau Zen menulis bahwa pertunjukan itu memiliki tenaga melodrama--sepanjang pengertian melodrama adalah sebuah karya sastra/drama film/musikal yang banyak meminta keterlibatan emosional penonton. Tetapi menggeneralisir bahwa pertunjukan Nyanyi Sunyi Revolusi adalah pertunjukan yang sejak awal sampai akhir digerakkan oleh tenaga melodramatik, saya kira kurang jitu.
Sesuatu dikatakan melodrama bukan semata-mata karena ada unsur emosional yang besar dalam cerita. Melainkan--dan lebih utama karena alur dibangun dari sebuah konflik antara tokoh “pahlawan” yang memperjuangkan nilai-nilai kebajikan melawan sesuatu yang jahat, dan berakhir dengan kemenangan si “pahlawan” atau “si jagoan”.
Kisah Amir dalam pentas “Nyanyi Sunyi Revolusi” memang memerikan peristiwa emosional berupa kasih tak sampai, perjodohan, dan masa lalu yang indah, tetapi ia juga memberi kita suatu ironi: bagaimana seorang yang hampir seluruh hidupnya digambarkan amat baik dan santun kepada siapa pun; justru mati dengan cara yang sangat brutal.
Ironi itu masih bertambah bahwa orang yang membunuhnya adalah guru silatnya sendiri yang sejak ia kecil mengajarkan untuk pantang berdendam, membenci, dan mengumbar amarah.
Amir bukanlah tokoh pahlawan yang memenangkan perlawanan atau perjuangannya. Ia, justru mati bersama keyakinannya yang sangat kukuh itu atas kebajikan. Ia mati di atas rasa percayanya bahwa memafkan itu lebih utama.
Saya bisa mengerti, bahwa kata “melodrama” di abad post-modern ini adalah sebuah kata yang terlanjur identik dengan “berselera rendah”. Sehingga, cukup dengan menyematkan sifat “melodrama” pada sebuah karya, maka kita akan membuatnya menjadi barang “makruh” mungkin “mubah” bagi para peng-iman “sastra-tinggi”.
Tapi bahkan sebuah karya yang benar-benar diniatkan sebagai karya melodrama (pop), kadang bisa lebih diharapkan dalam mengedukasi masyarakat untuk perlahan-lahan beranjak agar menyukai “sastra-tinggi”. Dan “Nyanyi Sunyi Revolusi”, saya kira, telah berusaha merentangkan kedua tangannya untuk menggapai kaum yang menghuni dua ranah itu.
Bandar Lampung, 18 Februari 2019
Penulis adalah Sutradara di Teater Satu Lampung