Advertisement
Catatan Rudolf Puspa
“Dunia ini panggung sandiwara” begitu sebuah lagu yang dinyanyikan Ahmad Albar di umur mudanya dan menjadi terkenal bahkan hingga kini jika dinyanyikan masih punya daya sentuh yang dalam.
Selanjutnya dalam menutup tahun 2018 paus Fransiskus di Vatikan menyerukan bahwa “Jangan menyerah... Jangan berhenti mengasihi orang orang yang engkau cintai.....Jangan menyerah untuk menjadi bahagia karena kehidupan adalah sebuah pertunjukan yang menakjubkan”
Sebuah pertunjukkan terjadi ketika minimal ada dua unsur yakni pemain dan penikmat. Karena ruang pertunjukkan adalah dunia ini maka ruangpun menjadi sangat luas dan sering kita sulit menemukan dimana tepinya, dimana batasnya. Semakin kini semakin kita rasakan apa yang sering disebut dunia global dimana tak ada lagi batas2 tiap negara sehingga antar manusia kini sangat mudah untuk berkumpul, bergaul dan terciptalah sebuah pertunjukkan di mana pemain dan penikmat campur aduk dalam satu ruang yang sangat luas.
Berbagai karakter, budaya, peradaban hadir dan memainkan cerita masing-masing. Lalu lalang antar warga bangsa, antar etnis, antar pemimpin, antar golongan bertemu, berseminar, berdialog, berdebat untuk menyampaikan argumentasi tentang gagasan masing-masing dengan harapan bisa diterima. Dalam kegiatan yang dimaksud untuk perdamaian dunia toh disana sini terselip “nafsu” adab manusia yang tak beradab seperti kekerasan, radikal karena merasa yang paling benar dan dunia global harus mengikutinya.
Bagaimana mungkin dunia global sudah menjadi panggung sandiwara yang luas masih dipaksakan masuknya lagu lama yakni menjadi peran super power? Untuk melindungi bisnis ekonominya harus menggunakan kekuatan kapal perang dan bom lewat udara? Masih mempertahankan hak veto dalam sebuah organisasi besar seperti perserikatan bangsa bangsa? Bukankah sebuah perdamaian dunia justru diperlukan kesadaran bahwa karya sebuah pertunjukkan yang menakjubkan adalah timbul dari sebuah kerjasama yang sangat kuat? Salah satu kekuatan untuk tercapainya hasil karya kolektif adalah kemampuan mendengar dan melihat serta merasakan.
Kini kita arahkan mata hati kedalam negeri sendiri yang juga adalah bagian dari panggung sandiwara besar. Panggung sandiwara Indonesia yang memiliki gelar sebuah negeri gemah ripah toto tentrem kerto raharjo. Masihkah kedahsyatan bumi pertiwi bisa kita saksikan, kita rasakan? Setelah melewati pemerintahan hasil kemerdekaan yang cukup puluhan tahun kemudian masuk orde yang mampu memerintah 32 tahun dan kini sedang menjalani orde yang sering disebut reformasi.
Baru tahun 2014 dengan terpilihnya presiden yang ke tujuh kita dengar ungkapan yang sungguh monumental yakni Indonesia perlu revolusi mental. Kembali teringat masa Sukarno yang sedang menjalankan apa yang dulu disebut pembangunan nation and character yang kemudian terhenti 32 tahun lamanya. Kini yang terasa adalah betapa beratnya menciptakan sebuah gerakan untuk menjadi bangsa yang bisa dan mau berubah. Celakanya justru para pemain yang sudah merasa senior dan nikmat dengan keberhasilannya dalam pertunjukkan masa lalunya; kini terkesan keberatan untuk berubah.
Mereka sangat menolak untuk merubah “pakem” lama yang telah memberikan kekayaan materi luar biasa. Apalagi menyerahkan perannya ke pemain baru yang masih muda. Maka dengan segala cara kekayaannya mereka gunakan untuk memepertahankan kedudukannya. Dan ketika mulai terancam lalu menjalin kerjasama dengan kekuatan luar yang kebetulan juga sedang merasakan gerah oleh gerakan baru yang sedang ingin mengubah diri menjadi bangsa yang bergerak bersama sama membangun diri bagi kesejahteraan bersama. Penyakit lama sejak dahulu kala pun muncul yakni menghalalkan segala cara.
Panggung kitapun kini menjadi sebuah pertunjukkan yang menakjubkan. Hukum panggung seperti kerjasama, saling menghargai, etika pergaulan, keindahan berkata dalam senyum sapa mulai menghilang dan berganti dengan munculnya anasir2 bertopeng penyebar fitnah, berita2 bohong terus menerus karena memiliki keyakinan sebuah ilmu bahwa bohong yang ditiupkan terus menerus akan diterima sebagai kebenaran. Lalu apa jadinya jika sebuah festival, lomba, berubah menjadi sebuah pergumulan atau tawuran yang melanggar segala tata krama?
Kini bukan lagi melihat karya lawan untuk meningkatkan karya cipta yang lebih indah tapi justru mencari akal bagaimana menciptakan sabotase melalui edaran atau iklan-iklan yang serba memburukkan lawan. Sangat dibutuhkan hakim atau juri yang netral yang sudah selesai dengan dirinya sehingga berani dan mau serta mampu menjatuhkan sangsi bagi yang melanggar aturan.
Dalam sebuah panggung sandiwara ketika ada pemain yang benci, iri atas keberhasilan yang lain jika kemudian melakukan gerakan-gerakan untuk menjatuhkan lawan main jadinya seperti cerita Habil dan Qabil anak Adam dan Hawa. Cerita dimana karena rasa iri karena kalah maka berusaha membunuh Habil dengan cara curang dan berhasil. Haruskah kita membiarkan saja sifat Qabil menyusup ke para pemain-pemain sandiwara yang dahsyat ini?
Jika menyadari telah tumbuhnya kebiadaban ada didepan mata kita maka mau tidak mau harus bergerak bersama sama untuk mengelus dengan kasih sayang sehingga kehidupan bangsa ini kembali berjalan di sebuah panggung besar menjadi seperti apa yang dikatakan Paus Fransiskus bahwa kehidupan adalah sebuah pertunjukkan yang menakjubkan. Menakjubkan karena hadir sebagai sebuah keindahan hidup.
Bangsa ini adalah pemain-pemain utamanya sekaligus menjadi penikmatnya. Tak ada lagi sekat sekat yang membedakan mana pemain mana penonton. Seperti halnya dunia yang mengglobal maka negeri kita bukan lagi milik perseorangan atau kelompok atau golongan namun milik bersama seluruh rakyat Indonesia bahkan duniapun sudah sedang mendekati karena merasa ikut memiliknya. Mereka datang untuk berwisata atau berdagang yang akhirnya kita harus menerima kenyataan bahwa kini yang diperlukan adalah kemampuan untuk berkolaborasi. Bukan zamannya lagi monopoli dan sejenisnya.
Ideologi bangsa sudah begitu kuat dan rasanya tidak tergoyahkan dengan ideologi apapun sehingga harus kita hidupi dan lawan siapapun yang ingin menggantikannya. Ada satu sila yang sangat dahsyat yakni dalam segala hal kita harus segera duduk bersama dan menyelesaikan segala persoalan melalui musyawarah. Justru ini lebih dahsyat dibanding demokrasi. Musyawarah tak mengenal voting. Dan ini kehebatan bangsa Indonesia sejak kelahirannya yang dikuatkan dalam proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Musyawarah sebaiknya kembali diajarkan sejak dini karena rasanya kita akan mampu mendengar dan menghormati pikiran orang lain. Jika mampu mendengar dan menghormati maka akan tumbuh menjadi manusia yang memiliki daya kasih yang kuat. Maka panggung sandiwara kita akan memancarkan sinar kasih apapun cerita yang sedang berlangsung. Dengan demikian kitapun akan selalu diliputi rasa bahagia . Bukankah bahagia adalah tujuan setiap anak bangsa, anak manusia di dunia? Bahagia adalah yang mampu mencari kasih di dalam penderitaan, bencana, permusuhan.
“Jangan menyerah... Jangan berhenti mengasihi orang orang yang engkau cintai.....Jangan menyerah untuk menjadi bahagia karena kehidupan adalah sebuah pertunjukan yang menakjubkan”
Rudolf Puspa
Jakarta 3 Januari 2019.