Advertisement
Review Singkat Realisme
Realisme dalam teater yaitu dapat menciptakan sesuatu di atas panggung seperti “kenyataan” yang ada, menciptakan ilusi di atas panggung seolah-olah penonton menyaksikan apa yang terjadi seperti dalam kenyataan sehari-hari yang kemudian dituangkan ke dalam cerita di atas panggung. Begitupun dengan akting realis, dalam memerankan tokoh di naskah realis, akting yang disuguhkan haruslah seperti manusia di kesehariannya, memainkan tokoh, blocking, movement, gestur dan karakter dengan natural dan wajar seperti yang ada di lingkungan masyarakatAliran realisme menampilkan sisi lain kehidupan yang biasanya jarang diketahui masyarakat umum. Ataupun permasalahan hidup yang terjadi pada individu namun tidak diketahui masyarakat. Realisme menyajikan gambaran nyata dari kehidupan seperti naskah yang berceritakan tentang konflik kehidupan sehari-hari yang dialami oleh masyarakat dengan satu kurun waktu yang sama.
Realisme, seperti gerakan seni lainnya, senantiasa bergerak dan berkembang. Awal gagasan realisme dalam teater adalah keinginan untuk menciptakan ilusion of reality di panggung. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa realisme awal ingin membuat penontonnya lupa bahwa mereka sedang menonton drama. Untuk itu, adegan dalam kamar tidak lagi cukup ada layar yang diberi gambar, akan tetapi perlu diciptakan kamar yang sebenarnya. Inilah yang mengawali tumbuhnya realisme: convention of the fourth wall. Tampaknya, realisme ingin menyajikan kehidupan langsung di panggung.
Realisme dalam teater berkembang sejak 1850-an di Perancis. Penulis drama harus menggambarkan kenyataan hidup seobjektif mungkin. Untuk itu diperlukan observasi terhadap masyarakat, obyek dan cara menuangkannya secara obyektif tanpa mengubah kebenarannya (distorasi). Akibatnya pentas penuh dengan gambaran-gambaran detail kehidupan nyata sehari-hari. Mereka tidak menggarap lagi masa lampau, tetapi hanya menggambarkan masyarakat sekarang.
Yang muncul adalah gambaran masyarakat sekarang dekaden yang kadang-kadang menyinggung perasaan moral umum. Tetapi kaum Realis membela diri bahwa itulah masyarakat apa adanya, kalau penonton tidak menyukai tontonan masyarakatnya yang dekaden, ubahlah masyarakat itu, maka di panggung akan muncul pertunjukan yang lain.
Pengertian dan Batasan Post Realisme
Teater Post Realis lahir setelah teater klasik dan realisme, ketika Aristoteles dan Shopocles berkecimpung di teater klasik 4 abad SM, kemudian lahirlah teater realisme yang dikenal oleh Shakespeare, Bon Jhonsonm C Marlone dan Makore pada 16-17 SM. Dramaturgi realis sebenarnya sudah membengkok atau mengarah ke arah dramaturgi post realis. Tapi di realis semua tampak nyata dan berjalan sesuai fakta kehidupan. Tapi di post realis sendiri, ia keluar dari diri sendiri menjadi orang lain yang bukan dirinya secara ekstrim.
Akting post realisme bisa dikatakan akting realis ketika ia memainkan perannya sesuai dengan kehidupan sehari-hari, tetapi akan menjadi post realis ketika akting itu sendiri sudah keluar dari dirinya. Akting post realis juga mendekati akting absurd, karena keluar secara ekstrim dari dirinya dan menjadi orang lain seketika.
Brecht dan Teater Epik
Bagi Bertold Brecht, memanjakan penonton dengan pertunjukannya bukanlah tujuan utamanya, tetapi Brecht akan menghadirkan sebuah pertunjukan dengan penonton sebagai pengamatnya, jika akhirnya penonton terbiasa melakukan pelacakan dan pengamatannya terhadap sebuah pertunjukan yang disuguhkan maka tujuan Brecht terpenuhi.
Dalam pementasan teater epik sendiri, Brecht menjauhkan pertunjukan yang berbentuk tragedi yang direpresentasi dari masyarakat, Brecht menilai bahwa dramatik dianggap dangkal namun lembut untuk dinikmati karena terlalu mengagungkan pergulatan emosi sehingga tidak banyak pemikiran yang harus muncul.
Dalam pementasan epik, dijauhkanlah lakon tersebut dari masyarakat, sehingga penonton tetaplah duduk sebagai penonton, bukan dipaksa terenyuh dengan jalan cerita juga gembira tokoh-tokohnya, untuk perenungan pada sekitar. Maka teater bagi Brecht sendiri harus kembali menjadi sebuah penyadaran, bukan sekedar penggiring perasaan.
Brecht mengharapkan ilusi, pentas teater itu pencerahan/lebih rasio. Brecht ingin menggunakan teater untuk mempertunjukkan keadaan tersebut, di setiap kondisi yang ada, pilihan yang lebih luas tersedia dibandingkan dengan apa yang biasa diasumsikan orang. Adanya ruang yang dipertahankan ini, kemudian menghasilkan ranah untuk analisa, untuk perenungan pada sekitar. Maka teater bagi Brecht sendiri harus kembali menjadi sebuah penyadaran, bukan sekedar penggiring perasaan.
Dalam pementasan epik, dijauhkanlah lakon tersebut dari masyarakat, sehingga penonton tetaplah duduk sebagai penonton, bukan dipaksa terenyuh dengan jalan cerita tokoh tokohnya. Dalam bukunya Shomit Mitter Brecht mengungkapkan pertentangannya terhadap teater Stanilavsky, Brecht menjelaskan bahwa paksaan empati harus dihentikan karena kritiknya, bagaimana penonton disarankan untuk menguasainya. Bagi Brecht, realitas sosial tidak ditentukan dan tidak juga selalu dapat dipertahankan, maka ketika Stanilavsky menghasilkan kepatuhan, Brecht akan mencari bagaimana menciptakan ketidakpatuhan.
Ketika menempatkan kembali keseimbangan pada penekanan bahwa teater yang lebih berbicara adalah teater yang mampu mempertahankan equal, Brecht mengarah lebih tajam pada Stanilavsky: kontradiksi tersebut dialektis. Sebagai penulis saya membutuhkan seorang aktor yang empati, utuh dan secara absolut melakukan transformasi dirinya kedalam karakter.
Tentu saja, hal ini merupakan tujuan yang ingin diraih Stanilavsky dalam sistemnya. Namun secara bersama dan sebelum semuanya terjadi, saya menginginkan seorang aktor yang mampu berjarak dengan dirinya dan mengkritiknya sebagai cermin masyarakat. (isi/pojokseni)