Advertisement
pojokseni.com - Anda pasti kenal dengan nama penari tradisi Indonesia Didik Nini Thowok. Seniman senior satu ini punya cara yang unik dalam merawat kesenian tradisi Indonesia. Ia menari melintasi gender, menari dengan tampilan seorang perempuan yang feminim.
Nama "Nini Thowok" didapatnya setelah tampil dalam fragmen tari "Nini Thowok" yang menjadikan namanya lebih dikenal dengan nama Didik Nini Thowok. Tentunya, perubahan nama yang satu ini menandai perubahan namanya yang kesekian kali, dari nama lahir Kwee Tjoen Lian, berubah menjadi Kwee Tjoen An, lalu berubah lagi menjadi Didik Hadiprayitno hingga terakhir menjadi Didik Nini Thowok.
Pimpinan dari Didik Nini Thowok Foundation kelahiran Yogyakarta 13 November 1954 ini juga dinyatakan sebagai "maestro" oleh Kemdikbud RI dalam rangka kegiatan Belajar Bersama Maestro.
Meski demikian, penerima anugrah Kick Andy Heroes Award kategori Seni dan Budaya pada tahun 2009 silam ini juga menjadi ikon seniman lintas gender di Indonesia.
Apakah sejak awal Didik Nini Thowok mendapat dukungan dengan seni lintas gender yang ditekuninya? Jawabanya tidak! Indonesia memang "kurang ramah" dengan hal-hal berbau "lintas gender" tersebut. Jadinya, wajar bila Didik Nini Thowok memulai semua karirnya lewat cemoohan, makian bahkan hinaan. Tidak semua orang di Indonesia mampu menerima seni tari lintas gender yang dipraktekkan Didik Nini Thowok.
Nasib Seni Lintas Gender Lainnya: Setali Tiga Uang
Seperti dipaparkan oleh Didik Nini Thowok, ada beberapa seni tradisi yang terus dijaga dan dirawat hingga saat ini namun berpotensi "lintas gender" di Indonesia. Mulai dari Ludruk, Pawestren, Bebancihan, Bissu, Randai dan Wayang Wong.
Ludruk, yang merupakan salah satu kesenian Jawa Timuran dikenal dengan seluruh pemainnya adalah laki-laki. Karena seluruh pemainnya adalah laki-laki, maka peran perempuan dalam Ludruk juga diperankan oleh laki-laki. Ini menjadi penanda seni tradisi lintas gender di Jawa Timur juga Indonesia.
Berikutnya, ada Pawestren. Pawestren juga berasal dari Jawa Timur yang bermula dari nama bangunan masjid khusus perempuan. Juga berasal dari nama Pawestri yang berarti perempuan.
Bebancihan adalah nama tari dari Bali yang sangat baik untuk melenturkan tubuh. Gerakan-gerakannya juga ditujukan sebagai hiburan bagi masyarakat banyak. Istilah Bebancihan mengarah pada beberapa jenis tari Bali yang memiliki karakter antara laki dan perempuan.
Bissu berasal dari Bugis, karena Bissu adalah sekelompok pendeta yang tidak memiliki gender apapun, baik perempuan maupun laki-laki. Jumlahnya sekarang pun tinggal sedikit. Bissu dianggap sebagai kombinasi dari semua jenis kelamin, karena menurut kepercayaan tradisional Bugis, ada 5 jenis kelamin yang mereka kenal, yakni perempuan (makunrai), perempuan yang seperti lelaki (calalai), laki-laki (oroane) dan lelaki yang berpakaian seperti perempuan (calabai). Terakhir, adalah golongan Bissu. (Wikipedia).
Dalam drama tradisional asal Sumatra Barat, Randai, karakter wanita juga ditampilkan oleh seorang laki-laki. Sebab, menurut adat setempat, perempuan kurang sopan, atau bahkan negatif bila tampil dan terlibat dalam Randai. Itulah kenapa, peran perempuan dalam Randai juga diambil oleh lelaki.
Selain sederet seni tradisi dan budaya "lintas gender" di atas, masih banyak lagi beberapa kesenian tradisi asli Indonesia yang berpotensi lintas gender. Sebut saja seperti Tari Topeng, baik dari Palimanan, Indramayu maupun Losari, yang memungkinkan penarinya (perempuan) memerankan seorang lelaki.
Lintas gender yang dimaksud di atas tentunya berbeda dengan konsep "kebanci-bancian" yang sering ditampilkan di televisi dan siaran mainstream dewasa ini. Apalagi, dengan tampilan "ngondek" yang penuh diarahkan untuk lucu-lucuan (bukan komedi), menjadikan seni yang dimaksudkan menjadi hilang. Tentu saja, itu sudah bukan termasuk seni lagi, karena bicara seni, berarti bicara tentang teknik dan skill.
Melawan Isu LGBT
Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) menjadi sebuah momok yang mengerikan akhir-akhir ini. Mulai dari julukan penghuni "kerak" neraka, sampai penyebar penyakit yang membunuh menjadikan LGBT tidak hanya sekedar dijauhi, tapi juga dimusuhi.
Itu akibatnya, semua yang "berbau" LGBT mendapat perlawanan serius di berbagai tempat di Indonesia. Tak terkecuali, seni tradisi lintas gender di Indonesia. Lintas gender (cross gender) dianggap oleh sebagian pihak sebagai "transgender" dan mendukung LGBT.
Padahal, "cross gender" dengan "transgender" memiliki definisi yang sangat jauh berbeda. Bila transgender diartikan sebagai bentuk "perlawanan" seorang manusia dengan takdir (jenis kelamin) yang diterimanya, maka cross gender diartikan sebagai kemampuan untuk memerankan gender yang berbeda dari dirinya, yang tentunya memerlukan latihan, skill dan teknik yang mumpuni.
Ditambah lagi, seni tradisi lintas gender di Indonesia sudah hadir jauh sebelum isu LGBT dihembuskan di negeri ini. Bahkan, jauh sebelum negeri ini terbentuk, dan para kolonial berkunjung ke tanah yang subur ini.
Apakah seni tradisi lintas gender yang juga kekayaan kultural Indonesia harus hilang, dan dibebankan di pundak Didik Nini Thowok seorang? Terserah Anda.
Tapi, PojokSeni mengajak, mari kita menjaga semua jenis kekayaan tradisi Indonesia. Apalagi, semuanya juga memerlukan perawatan dan dukungan dari semua pihak. (ai/pojokseni)