Advertisement
pojokseni.com - Dijelaskan oleh Nietzche dalam bukunya berjudul "The Birth of Tragedy", manusia memiliki dua macam mentalitas dalam dirinya, berdasarkan cara memahami dunia melalui seni. Seni sejak lama memang dianggap sebagai pintu masuk menuju filsafat, untuk mencapai pengertian yang paling asli. Sebab, pengetahuan terhadap seni dan estetika, menurut Nietzhce, tidak didapatkan melalui hukum kausalitas (logis) tetap dari sebuah kepastian visi.
Dua hal mentalitas dalam perkembangan seni adalah apollonian dan dionysian. Dia hal yang selalu ada di dalam diri manusia dan terkadang saling berbenturan, meski terkadang bisa bersatu dan rekonsiliasi.
Apollonian dan Dionysian adalah dua mentalitas yang selalu bertentangan, diambil dari tragedi Yunani kuno. Keduanya sering saling mempengaruhi, meski disatukan dalam satu bentuk yakni seni. Untuk mewujudkan hal itu, keduanya dipasangkan dan disatukan menjadi sebuah seni yang menggabungkan apollonian dan dionysian secara setara.
Sekarang, secara singkat apa itu apollonian dan dionysian? Dionysian berasal dari nama dewa teater, dewa anggur, dewa mabuk sekaligus dewa pesta, Dionysius. Dia menjadi sebuah simbol ketika seseorang mabuk mistikal dan mencapai ekstase. Hal yang mendobrak arus hidup yang monoton, serta mengacaukan semua susunan norma yang sudah mapan. Dari "penolakan" tersebut, dionysian mengambil peran yang sangat dialektik. Nilai-nilai estetik yang tinggi lahir bukan dari tidak adanya konflik, tapi justru karena adanya sebuah konflik.
Seni dianggap tidak akan berkembang, apabila tidak ada konflik,serta tidak ada dialektika. Karena seni tidak berkembang, maka kebudayaan ikut mandeg. Di situ peran penting dionysian.
Sedangkan apollonian berasal dari nama dewa matahari dan ilmu pengetahuan, Apollo. Dia adalah simbol keteraturan, kedisiplinan, rasional, berdasarkan rencana yang matang. Sangat baik mungkin, tapi tidak ada gairah di sana. Semuanya akan teratur, mengalir tanpa ada arus balik.
Bisa dikatakan, dionysian adalah unsur-unsur yang bebas, dan apollonian adalah keteraturan. Dalam hidup, kita dipaksa untuk mengikuti keteraturan, tapi dari dalam diri muncul perlawanan. Ketika di sekolah semua anak diwajibkan memasukkan baju, maka akan ada anak-anak yang mengeluarkan baju dari celananya. Semua anak perempuan harus menguncir rambutnya, maka akan ada juga anak perempuan yang membiarkan rambutnya tergerai.
Perpaduan antara dionysian dan apollonian secara merata akan menghasilkan seni yang indah secara imajinatif sekaligus faktual. Perpaduan antara mimpi yang rasional dan intoksikasi. Dengan demikian jiwa manusia dapat menyentuh alam mimpinya dengan nyata.
Sikap dionysian mutlak akan menjadikan seseorang cenderung pemberontak kepada kehidupannya dengan tidak presisi. Sedangkan sikap apollonian yang mutlak akan menjadikan seseorang mengikuti semua aturan dan keteraturan, sesuai norma yang berlaku. Maka paduan keduanya akan membuat seseorang menikmati hidupnya, baik senang maupun derita. Bahkan, keberhasilan manusia menjawab kehidupannya, mengetahui persis apa tujuan penciptaannya di dunia selain mempersiapkan mati, juga memberikan arti pada kehidupan adalah hasil dari perpaduan kedua itu.
Hasilnya, hadir sebuah seni, yang merupakan piala kemenangan manusia melewati pergulatan hidup. Hal yang membuat manusia tidak lagi memikirkan bahwa hidup hanya untuk mempersiapkan kematian belaka, memikirkan kehidupan setelah kematian saja, sehingga hidupnya yang sekarang menjadi sebuah kesia-siaan. Seni adalah keindahan, dan keindahan tidak akan lahir hanya dari kebahagiaan saja, tapi rasa sanggup untuk menyelesaikan dan melewati penderitaan juga sangat diperlukan untuk mencapai keindahan yang hakiki.
Bagaimana bila hanya salah satu saja yang dipertahankan, atau salah satu memenangkan pergulatan dalam jiwa manusia. Maka secara faktual, manusia akan berubah menjadi dionysian yang baru, atau menjadi apollonian yang baru. Keduanya sama-sama tidak buruk, tapi tetap menjadikan manusia tidak dapat mengendalikan diri, atau justru dikendalikan.
Maka, menurut Nietzche, perpaduan ideal dari kedua mentalitas tersebut sangat dibutuhkan. Apollonian yang rasional menekan dan mengatur dionysian di dalam diri. Dalam satu hal, tidak akan terperangkap oleh pemikiran yang transcendental dewa-dewa atau agama, namun juga tidak terperangkap oleh mabuknya dunia. (ai/pojokseni.com)