Advertisement
pojokseni.com - Teater Lampau, salah satu tunas muda teater baru di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran, akan menggelar pertunjukan bertajuk "Tak Berujung". Teater yang berdiri sejak 2016 berupaya menyuarakan sebuah kesadaran bagi penontonnya tentang apa-apa saja yang mereka rasakan dan alami dalam keseharian mereka.
Dalam tahun ketiganya, setidaknya ada tiga pertunjukkan yang telah lahir dari kelompok ini, yaitu: Parade Monolog Pahlawan (2016), Photocopy (2017), Tersisa (2018). Pertunjukan "Tak Berujung" merupakan gelaran yang dipersembahkan oleh kelompok ini sebagai penutup pada penghujung tahun 2018.
Akhirnya, Teater Lampau telah sampai pada titik di mana mereka bukan lagi meraba tentang apa ciri khas dan apa yang akan mereka suarakan, tetapi telah sampai pada titik bagaimana cara mereka untuk bisa menyuarakan cita-cita dengan lebih keras dan bulat.
Setiap tahunnya, Teater Lampau mengadakan pementasan pada penghujung tahun sebagai bentuk kontemplasi dari apa yang dirasakan pada tahun tersebut. Tahun ini, Teater Lampau membawakan naskah "Tak Berujung" karya dan sutradara H.A. Pratama. Naskah akan menyinggung seputar masalah-masalah pelik yang harus ditelan setiap saat oleh masyarakat kurang mampu.
Pementasan ini akan diadakan pada 5 Desember 2018 di Aula PSBJ FIB Unpad dan 15-16 Desember 2018 di Auditorium Bandung Creative Hub pada pukul yang sama yaitu 18.30 WIB. Selain itu, sebagai bentuk kepedulian pada sesama manusia, pementasan ini dibentuk sebagai pementasan amal karena seluruh keuntungan yang didapatkan dari pementasan ini akan disumbangkan kepada pihak-pihak yang sedang membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan penunjang fasilitas kesehatan. Sehingga selain menonton teater, penonton juga terlibat secara langsung untuk meringankan beban mereka yang membutuhkan.
Sinopsis "Tak Berujung"
Sore tadi Ibu baru saja meninggal, sedangkan hasrat keluarganya untuk menangis dan mengebumikannya terhambat karena mayat Ibu masih tertahan di Rumah Sakit. Sialnya, mereka bukanlah orang yang berada, sehingga di tengah-tengah kesedihan tersebut, mereka masih harus berpikir keras untuk menjawab bagaimana cara untuk menebus Ibu?
Seluruh keluarga kemudian menemui jalan buntu. Tidak ada satupun cara minim risiko yang masuk akal atau sedikit saja dapat masuk di akal yang bisa mereka sepakati. Sehingga mereka terus-menerus bertanya: "Ibu mau bagaimana?" lalu kemudian kembali terjebak dalam pikirannya masing-masing.
Dan sekali lagi terbentur pertanyaan:
“Lantas, Ibu mau bagaimana?”
Dalam naskah tersebut, Ibu baru saja meninggal setelah seminggu lamanya dirawat di Rumah Sakit. Namun keluarganya belumlah bisa menangis dengan lepas, karena mayat sang Ibu tidak bisa mereka bawa pulang sebelum biaya rumah sakit dibayar lunas.
Lalu, Apa yang akan mereka lakukan? (ai/pr/pojokseni.com)