Advertisement
Awang 5334 Celcius sutradara Conie Sema narasi T Wijaya |
pojokseni.com - Layar
tersingkap, cahaya menerangi wajah panggung dari sayap kiri. Tergambarlah nuansa
yang serba putih, panggung terbagi menjadi dua bagian dengan pembatas yang juga
berwarna putih. Seorang aktor tanpa busana dengan sehelai kain putih yang
menutupi sebagian tubuhnya masuk perlahan dari sisi kiri panggung dan kemudian
meletakkan batu-batu di tengah panggung. Sebentar kemudian suasana berubah
drastis, sebuah hiruk-pikuk glamor tiba-tiba terjadi di bagian belakang
panggung tepatnya di balik pembatas. Situasi kian kacau ketika situasi
kegaduhan di balik pembatas mulai keluar tanpa batas mengisi setiap sisi
panggung.
“Hari
ini seperti lima abad lalu, angin utara membawa jutaan burung yang kelaparan di
musim dingin dan bermimpi menjadi penguasa di gurun pasir. Sebagian lagi mereka
yang terdesak kuda-kuda bermulut panah dan pedang. Hari ini mereka tidak datang
tapi lahir dan berkuasa dengan beragam jurus silat.”
Begitulah
sebuah kisah anak rawa dalam suhu 5334 Celcius, persembahan Teater Potlot yang
bertajuk Awang 5334 Celcius.
Pertunjukan berdurasi 60 menit ini dibawah arahan sutradara Conie Sema dengan
narasi yang disusun oleh T Wijaya. Teater Potlot yang berasal dari Palembang
ini bersama Awang 5334 Celcius-nya,
merupakan salah satu dari penampil dalam acara Silek Art Festival yang
diselenggarakan oleh Komunitas Hitam Putih di Gedung Hoerijah Adam pada selasa
kemarin (20/11/2018).
Produksi
ke 34 dari teater Potlot ini mencoba menyampaikan kondisi alam Indonesia hari
ini yang telah tercengkram oleh kuku-kuku asing yang rakus. Budaya-budaya asing
yang menyergap masuk begitu membuat pribumi terlena, hingga tak menyadari bahwa
semua yang telah mereka miliki telah habis dihisap dan dikeruk. Potlot
mengusung tema kondisi lingkungan dengan mengambil fokus pada masalah yang
terjadi terhadap rawa gambut di Indonesia. Kritik teater Potlot atas kerusakan
lingkungan yang terjadi diwakili oleh orang-orang tua yang memberontak atas
situasi alam yang telah memprihatinkan.
Awang 5334 Celcius menyuguhkan peristiwa-peristiwa yang memiliki
kausalitas yang tinggi, beberapa makna dipertegas dengan penyampaian
narasi-narasi oleh para aktor. Pilihan simbol yang dihadirkan sangat
dipertimbangkan, karena dapat ditangkap maknanya tanpa merusak bentuk garapan
secara visual. Namun, ada beberapa simbol yang terasa nyinyir dan mubazir
karena disampaikan melalui penanda properti, narasi dan juga bahasa tubuh.
Sehingga makna yang disampaikan melalui simbol-simbol terkesan tumpang tindih.
Sambung
rapat antara peristiwa demi peristiwa berjalan dengan rapi dan sangat tergarap.
Pilihan musik, cahaya dan set panggung yang bernuansa putih juga menjadi daya
tarik tersendiri dari pertunjukan ini. Pilihan budaya dari wilayah barat
menjadi pilihan simbol untuk menyampaikan budaya asing dan silat menjadi
representasi dari budaya lokal.
Namun,
dalam konteks pemerananya terasa masih lemah. Narasi-narasi penting yang
sampaikan aktor tidak memiliki beban emosional, sehingga setiap kata terasa
tanpa isi. Hal ini menjadi salah satu penyebab setiap bahasa verbal yang
dihadirkan tidak komunikatif. Peristiwa-peristiwa yang mengandalkan bahasa
nonverbal juga terasa sangat lemah, karena gestur aktor belum dapat
membahasakan makna melalui tubuh mereka. Eye
contact aktor yang kosong menggambarkan kebingungan aktor tentang laku yang
sendang mereka perankan. Para aktor dalam pertunjukan Awang 5334 Celcius belum menyadari bahwa kehadiran mereka sebagai
media penting penyampaian makna.
Kelemahan
dalam konteks pemeranan inilah yang menyebabkan pertunjukan Awang 5334 Celcius
terkesan antiklimaks, karena setiap aktor gagal dalam menjaga dramatik dalam setiap
peristiwa. Namun, secara cerita Awang
5334 Celcius memiliki daya tarik
yang kuat. Garapan spektakel yang rapi juga membuat pertunjukan ini tidak
membosankan dan menarik disaksikan hingga akhir. Namun, pengolahan seni peran
perlu mendapatkan perhatian serius bagi teater Potlot untuk karya-karya ke
depannya.
Teater
Potlot dalam beberapa karya terakhir begitu serius mengkritisi kondisi
lingkungan, hal ini mempertegas eksistensi kelompok teater dari Palembang ini
sebagai kelompok teater produktif yang peduli terhadap lingkungan. Kehadiran
dari kelompok Teater Potlot ini perlu mendapatkan apresiasi yang tinggi dan diharapkan
dapat terus menjaga eksistensinya, mengingat mayoritas kelompok teater hari ini
lebih suka bergelut dengan paham-paham, teori-teori, filsafat dan
ekspresi-ekspresi tanpa batas, tanpa sedikitpun memperdulikan alam sekitarnya. (isi/pojokseni.com)