Advertisement
Nyanyian Anak Bumi koreografer Hernando Putra |
“Negrai Lebong
baes taneak ne, negrai ne baes. Negrai ne aman, negrai ne baes, penan tun bumai”
pojokseni.com - Selasa, 31 juli
2018 di Pendopo Sendratasik Universitas Negeri Padang, Sumatra Barat digelar
sebuah pertunjukan tari dalam rangka Ujian Tugas Akhir Minat Penciptaan Seni
Tari Program Studi Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Padangpanjang yang
bertajuk “Nyanian Anak Bumi” dengan koreografer Hernando Putra. Karya tari yang
berdurasi 60 menit ini, didukung oleh 4 orang penari laki laki yaitu Frandi
Yutra, Aditia Warman, Ahmad Iqbal, Dendi Wadirman dan 5 orang penari perempuan
yaitu Selvia Khoiriah, Tri Dara Agnes, Rahma Nadiati Nami, Velia Wulandari, dan
Ranti Dwi Sapitri. Selanjutnya didukung oleh Rizky Dwi Kumala, Ibrahim Lubis,
Li, Diyo Puja Sukma, Budi sebagai pemusik. Tentunya dengan bimbingan dari Dr.
Susas Rita Loravianti, M.Sn dan Ediwar, S.Sn., Ph.D.
“Nyanyian Anak Bumi” merupakan sebuah karya yang
terisnpirasi dari peristiwa budaya “Kedurai Agung” yang terdapat di daerah
Topos Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu.Visualisasi karya melalui ekspresi
personal dari Hernando selaku koreografer. Karya ini merupakan reinterpreasi
dari simbol-simbol dalam persitiwa “Kedurai Agung” kemudian diekspresikan
menjadi sebuah karya tari berjudul “Nyanyian Anak Bumi”.
“Nyanyian Anak
Bumi” merupakan alunan nada yang diekspresikan masyarakat dalam memperoleh
perlindungan dari alam. Sehingga terciptalah keseimbangan antara manusia dengan
manusian sekaligus manusia dengan alam.
Kedurai Agung
adalah upacara adat yang terdapat di Lebong Provinsi Bengkulu. Upacara ini
dilaksanakan ketika ada bencana alam atau wabah penyakit yang menyerang
masyarakat setempat. Setelah melihat tanda-tanda dari alam, maka pemuka adat
bermusyawarah untuk melaksanakan Kedurai Agung. Sebelum pelaksanaan Kedurai
Agung, para pemuda pemudi yang masih suci berjumlah 9 orang (5 laki-laki dan 5
perempuan) mengumpulkan bahan makanan yang diberikan secara sukarela oleh
masyarkat. Setelah itu, nasi punjung dimasukkan ke dalamrumah yang dirumpukkan
menyerupai gunung bersama dengan Lemeu Langia yang sudah dibacakan mantra.
Kemudian jeruk tersebut disebarkan di berbagai mata air agar masyarakat
setempat mendapatkan berkah dan Nasi Punjung dibagikan kepada masyarakat
sebagai penolak bala. Berangkat dari persitiwa tersebut, Hernando selaku
koreografer mereinterpretasikan nilai-nilai yang terkandung dari peristiwa
tersebut seperti kebersamaan dan keseimbangan.
Kepada
pojokseni.com, Hernando mengatakan bahwa melalui karya ini, ia berharap dapat
memberikan penyadaran bahwa budaya di Indonesia sangat kaya, unik dan beragam.
Kreator-kreator yang melakukan revitalisasi seni tradisi seperti inilah yang
dibutuhkan Indonesia untuk memperkuat kekayaan budaya di Indoenesia.
“Semoga,
pertunjukan ini menjadi sebuah wadah apresiasi para penikmat seni. Semoga juga,
karya ini berkenan di hati masyarakat, terutama masyarakat di Kabupaten Lebong
Provinsi Bengkulu. Dan Semoga saja karya ini menjadikan penyadaran untuk kita
semua bahwa jika manusia menjaga alam, maka alam akan memelihara manusia.” Lanjut
koreografer muda lebong kelahiran 10 November
1993. (isi/pojokseni.com)